Cerita Inspiratif Perihal Makna Kemiskinan
"Semoga Tuhan tidak meringankan bebannya hari ini, tetapi memberinya, ibunya, dan seluruh keluarganya kelapangan dada."
Itulah doa yang kami (saya dan anak-anak) bahas dalam pengajian kami. Dahsyat sekali doa itu, sehingga dikala saya pertama kali membacanya dalam dongeng yang dikirim oleh Nash, teman saya, seketika itu timbul niat untuk membahasnya bersama anak-anak.
Berikut cuplikan dongeng itu:
Tadi pagi hujan lebat di Padang. Ketika kembali menuju rumah dengan jas hujan di atas sepeda motor, saya berpapasan dengan seorang anak pria berusia kira-kira 10 tahun yang berteriak nyaring menjajakan dagangannya. Sangat mengejutkan bagi saya bahwa di tengah hujan lebat ibarat ini, tanpa penahan air apapun di tubuhnya anak itu masih terus berjalan menjunjung dagangannya. Kira-kira 5 meter melewatinya, saya berbalik. Anak ini menjual 3 macam gorengan: pisang goreng, ketela rambat goreng, dan bakwan. Gorengan itu disusun seadanya di sebuah bejana plastik sedang, ditutup dengan plastik putih yang lusuh. Tidak ada pembungkus apapun untuk membawa gorengan ini pulang. Anak ini menunjukkan diri untuk pulang ke rumahnya mengambil plastik. “Rumah awak dakek, Bang”, rumahnya bersahabat katanya. Meskipun saya tidak yakin rumahnya benar-benar dekat, tapi dengan itu, saya mengerti betapa beliau sangat berharap saya jadi membeli ditengah hujan lebat ini. Saya menolak dan mencari plastik di bawah jok. Saya menemukan plastik kresek hitam yang berbau ban dalam. Setelah menyerahkan uang, dengan sengaja saya sentuh tangannya sambil berdoa dalam hati semoga Tuhan tidak meringankan bebannya hari ini, tetapi memberinya, ibunya, dan seluruh keluarganya kelapangan dada. Saya membawa gorengannya pulang sambil mengusap mata saya yang lembap alasannya ialah hujan dari langit dan hujan dari hati saya.
“Kenapa beliau tidak berdoa untuk meringankan beban sang anak?” ku pancing anak-anakku dengan pertanyaan ini.
“What do you mean?” tanya Abdih.
“The guy could have made another wish: may Allah lessen their burden. Which wish do you think is better?”
Abdih eksklusif menyimpulkan bahwa seharusnya doa yang meminta keringananlah yang lebih baik.
Hanif ternyata beropini lain: doa yang meminta supaya bebannya jangan dikurangilah yang lebih baik.
“Kenapa, Nif?” kejar saya. “So that if they become successful someday, they will not forget how difficult it is to be poor”, begitu jawabnya.
Jawaban Hanif sangatlah tipikal aliran bawah umur yang cenderung linear dan berasumsi happy-ending. Jawabannya sama sekali tidak salah, hanya mungkin tidak realistik, dalam arti jarang sekali terjadi di dunia nyata.
Sembari menjelaskan bahwa jawabannya benar, tetapi tidak berlaku secara umum, saya mencoba mengatakan balasan lain yang lebih realistis: “The guy did not ask to lessen the burden of the poor people simply because he did not want them to get less reward from Allah. Instead, he asks Allah to make them stronger to take all the burden so that there is a big reward for them that can be claimed later on”.
Di titik inilah perbincangan kami mengarah kepada kenapa alam abadi itu perlu. Sama ibarat yang dibincangkan oleh Nash dengan adiknya: Di selesai perbincangan kami, adik saya berkata bahwa untuk itulah mungkin Tuhan memberi alam abadi untuk kita. Agar mereka-mereka yang hidupnya sangat berat di dunia ini sanggup mendapat piutang keadilan yang menjadi haknya. Agar orang-orang yang berhutang keadilan di dunia ini, juga sanggup membayarnya di sana. Di akhiratlah mungkin segala piutang lebih gampang ditagih dan segala hutang lebih gampang dibayar.
“Hanif tahu apa itu piutang?” tanya saya. Dia menebak, “In debt?”
“Nope”, jawab saya, “it’s the other way around. Piutang means giving a loan to other people”.
Hanif dan Abdih agak-agak galau berusaha meluruskan logika yang agak-agak gila ini. “The poor are the ones who give the loan?” tanya Hanif.
“Yup”, jawab saya, “if they are patient. That is why the guy pray that Allah gives them strength to bear all the burden. If the poor are patient, they are actually giving out loans in this world.”
“So who are in debt?” tanya Hanif.
“It’s us”, jawab saya, “all of us who are not poor, we are the ones in debt. Remember, that some of our money actually belong to the poor. We have to return it to the rightful owner here in the world. Otherwise, we are in debt, that we need to settle later on after we die.”
Beberapa usang kami diam, melanjutkan aliran yang sama ibarat Nash:
Di dalam hati, saya merenungi ibarat apa alam abadi yang akan saya jalani nanti, bisakah saya dibangkitkan bersisian dengan orang-orang berpiutang ibarat ini?
Sumber: unknown