Ambo Upe Dan Burung Beo (Cerita Rakyat Sulsel)
Alkisah, di sebuah kampung di daerah Sulawesi Selatan, Indonesia, ada sebuah keluarga petani yang mempunyai tiga pasang kerbau. Hewan ternak tersebut digembalakan oleh seorang anak dalam keluarga itu, berjulukan Ambo Upe. Ia anak yang rajin dan suka menolong terhadap sesama makhluk.
Pada suatu hari, Ambo Upe menggembalakan tiga pasang kerbaunya di sebuah padang ilalang yang luas dan hijau. Menjelang siang, Ambo Upe melepaskan ketiga pasang kerbaunya kemudian pergi berteduh di bawah sebuah pohon asam yang rindang di tepi padang ilalang. Di bawah pohon itu, ia duduk bersandar sambil menikmati hembusan angin sepoi-sepoi. Ditengah asyik duduk memerhatikan kerbau-kerbaunya yang sedang merumput, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah benda hitam terjatuh tak jauh dari tempatnya berteduh. Oleh alasannya ialah penasaran, dihampirinya benda itu. Ternyata benda itu ialah seekor anak burung yang belum bisa terbang, bulu-bulu di badannya belum tumbuh dengan sempurna.
“Wah kasihan sekali burung ini. Badannya penuh dengan luka. Sepertinya burung ini terlepas dari cengkeraman burung elang yang menyambarnya,” gumam Ambo Upe iba.
Oleh alasannya ialah merasa iba kepada anak burung itu, Ambo Upe pun mengobati dan memberinya makan. Kemudian membawanya pulang ke rumah untuk dipelihara.
Beberapa ahad kemudian, burung itu menjadi besar. Bulu-bulunya tumbuh dengan sempurna. Tampaklah bahwa burung itu ialah seekor burung beo. Ambo Upe bahagia sekali ketika mengetahui hal itu. Sejak ketika itu, ke mana pun ia pergi, burung beo itu selalu menyertainya. Ketika Ambo Upe pergi menggembala, burung beo itu pun setia menemaninya.
Pada suatu siang yang sangat terik, usai melepaskan binatang gembalannya, Ambo Upe beristirahat di bawah sebuah pohon hingga tertidur. Baru saja terlelap, tiba-tiba seekor ular mendekatinya dan hendak menggigit kakinya. Untungnya si Burung Beo mengetahui hal itu. Ia pun segera menolong tuannya. Dengan paruhnya yang runcing, ia mematuk mata ular itu hingga berdarah. Ular itu pun merayap pergi alasannya ialah kesakitan. Selamatlah Ambo Upe dari gigitan ular itu berkat pinjaman Burung Beo.
Burung Beo itu kemudian mendekati dan membangunkan Ambo Upe yang masih terlelap. Ia mengipas-ngipaskan sayapnya pada indera pendengaran tuannya. Saat terbangun, Ambo Upe masih sempat melihat ular yang sedang melata pergi. Ia pun menyadari bahwa si Beo gres saja menyelamatkannya dari gigitan ular itu. Dengan perasaan haru, ia membelai-belai Burung Beo itu.
“Terima kasih, Beo! Kamu telah menyelamatkanku dari gigitan ular itu,” kata Ambo Upe terharu.
Demikianlah, setiap Ambo Upe pergi menggembala, si Burung Beo selalu setia menemaninya. Suatu waktu ketika animo kemarau, Ambo Upe membawa kerbaunya ke sebuah tanah lapang yang cukup jauh. Ia meninggalkan padang tempat biasanya menggembala, alasannya ialah rumputnya sudah kering jawaban kemarau panjang. Tempat itu sudah sangat bersahabat dengan hutan. Tempat itu tampak sepi, alasannya ialah sangat jarang penduduk yang lalu-lalang di sana.
Pada ketika Ambo Upe asyik memerhatikan kerbaunya merumput, tiba-tiba dua orang lelaki bertubuh kekar dan berwajah angker muncul dari dalam hutan. Kedua orang itu kemudian menghampirinya. Ambo Upe menjadi ketakutan, alasannya ialah ia tidak mengenal kedua orang itu.
“Sepertinya mereka bukan orang baik-baik,” kata Ambo Upe dalam hati dengan perasaan cemas.
Ternyata dugaannya benar. Kedua pria itu ialah perampok.
“Hai, Anak Muda! Sedang apa kau di sini!” hardik salah seorang dari perampok itu.
“Sss… sssa… saya sedang menggembala kerbau, Tuan!” jawab Ambo Upe dengan gugup.
“Di mana kau melepaskan kerbau-kerbaumu?” tanya perampok yang satunya dengan nada tinggi.
Oleh alasannya ialah takut dipukuli oleh kedua perampok itu, Ambo Upe pun menunjuk ke arah di mana kerbau-kerbaunya sedang merumput.
“Ayo, kawan! Kita ikat anak junior ini!” seru seorang perampok kepada temannya.
“Kita bawa kerbau-kerbau itu pergi,” sambungnya.
Kemudian kedua perampok itu mengikat tubuh Ambo Upe pada sebuah pohon. Setelah itu, mereka segera menggiring kerbau-kerbau Ambo Upe ke dalam hutan.
Burung Beo tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa mengawasi bencana itu. Namun, secara belakang layar ia mengikuti langkah kerbau-kerbau tuannya yang digiring oleh kedua perampok itu masuk ke dalam hutan. Ternyata kerbau-kerbau tersebut dikandangkan ke sebuah gua di tengah hutan. Maka tahulah ia tempat persembunyian kedua perampok itu.
Dengan cepat, si Beo terbang meninggalkan gua kemudian kembali ke rumah untuk melaporkan bencana itu kepada ayah Ambo Upe. Pada awalnya, ayah Ambo Upe kesulitan memahami aba-aba yang disampaikan si Beo, alasannya ialah ia jarang bergaul dengannya. Namun, pada jadinya ia pun memahami aba-aba itu bahwa ada sesuatu yang terjadi pada diri Ambo Upe. Ayah Ambo Upe kemudian segera mengikuti arah terbang Burung Beo itu. Sesampainya di padang itu, terlihatlah Ambo Upe terikat tak berdaya pada sebuah pohon. Ia pun segera melepaskan tali yang melilit tubuh anaknya itu. Ambo Upe kemudian menceritakan bencana yang menimpanya hingga keenam ekor kerbaunya hilang entah ke mana. Mereka pun pulang ke kampung untuk menyusun rencana.
Sesampainya di kampung, ayah Ambo Upe segera mengumpulkan seluruh warga. Lalu ia menceritakan perihal bencana yang telah menimpa anaknya. Warga kampung pun tetapkan untuk mencari kerbau-kerbau yang telah dirampok dan menangkap pelakunya.
“Terima kasih, bapak-bapak. Saya siap memandu bapak-bapak ke tempat persembunyian perampok itu. Saya telah menerima aba-aba dari Burung Beo saya yang telah membuntuti perampok itu hingga ke tempat persembunyiannya di sebuah gua di dalam hutan itu,” kata Ambo Upe kepada seluruh warga dalam pertemuan itu.
Warga pun merasa bangga atas pemberitahuan Ambo Upe itu. Beberapa warga kampung segera mengikuti arah langkah Ambo Upe yang dipandu Burung Beo kesayangannya. Mereka berangkat lengkap dengan senjata. Sebagian warga menggenggam tombak. Sebagian yang lain membawa badik diselipkan di depan perutnya sambil menepuk-nepuk pangulunya. Senjata-senjata tersebut siap untuk dipakai pada ketika diperlukan.
Setelah berjalan jauh, mereka pun memasuki daerah hutan yang lebat itu. Nampak dahan kecil patah dan jejak kaki kerbau sebagai menandakan tempat itu sering dilewati oleh insan dan hewan. Akhirnya, tibalah mereka di sebuah gua di tengah hutan. Warga kampung semakin tidak sabar ingin menangkap perampok tersebut. Warga yang membawa tombak sudah siap untuk melemparkan tombaknya. Demikian pula warga yang membawa badik, mereka sudah mengeluarkan badiknya dari wanoa[3]-nya untuk menikam perampok itu.
“Tunggu sebentar! Kita tidak perlu gegabah,” ujar seorang warga.
“Benar, jangan hingga mereka mengetahui keberadaan kita,” sambung seorang warga yang lainnya.
“Kita kepung saja tempat ini,” ujar ayah Ambo Upe.
Warga pun segera mengurung tempat itu sambil bersembunyi di balik pepohonan. Kedua perampok yang berada di dalam gua itu tidak menyadari hal itu. Keduanya pun keluar dari dalam gua ingin kembali merampok binatang ternak milik warga. Namun, gres beberapa langkah keluar dari verbal gua, tiba-tiba di depan mereka berdiri dua warga kampung dengan badik terhunus.
“Berhenti!” sentak seorang warga.
“Hai, orang kampung! Apa maumu tiba kemari?” tanya salah seorang perampok dengan nada menantang.
“Oh, rupanya kalian ingin mengantarkan nyawa kalian kemari,” gertak perampok lainnya dengan sombong. Ia merasa masih lebih berpengaruh daripada kedua warga kampung itu, alasannya ialah badannya lebih besar dan kekar.
Rupanya, kedua perampok tersebut tidak menyadari bila ada puluhan warga lainnya yang masih bersembunyi di balik pepohonan. Mereka mengira warga yang tiba hanya dua orang.
Tanpa mereka duga, tiba-tiba di sekeliling mereka puluhan warga kampung telah mengepungnya lengkap dengan tombak dan badik di genggaman.
“Hai, perampok tengik. Menyerahlah! Kalian sudah kami kepung!” seru ayah Ambo Upe.
“Hai, orang bau tanah bodoh! Kamu kira kami takut kepada kalian semua,” jawab seorang perampok dengan angkuhnya.
“Letakkanlah senjata kalian! Tidak mungkin kalian bisa melawan kami yang berjumlah banyak ini,” seru seorang warga.
“Cih, kalian hanya menakut-nakuti kami,” jawab kedua perampok itu serentak.
“Kami tidak ingin melukai kalian,” tambah ayah Ambo Upe.
“Eh, siapa yang menyebut kami akan terluka?”
“Kalianlah yang akan bermandikan darah. Majulah kalau berani!“ seru seorang perampok sambil memasang kuda-kuda.
“Baiklah. Kalian jangan menyesal bila badikku ini merobek tubuh kalian!” seru seorang warga dengan geram, kemudian mengibaskan badiknya ke arah perampok itu.
Melihat seorang warga menyerang, warga lainnya pun ikut membantu. Silih berganti warga menyerang kedua perampok itu. Rupanya, kedua perampok itu tangguh juga. Namun, tak berapa lama, mereka terdesak dan jadinya berhasil dilumpuhkan oleh warga kampung yang berjumlah puluhan.
Warga kemudian menggiring kedua perampok itu beserta puluhan kerbau hasil rampokan mereka ke kampung. Mereka pun menghukum kedua perampok itu dengan cara menugasi keduanya untuk menggembalakan semua binatang ternak milik warga selama sebulan. Usai menjalani hukumannya, kedua perampok tersebut menjadi jera dan tidak pernah merampok lagi. Sejak ketika itu, Ambo Upe ditemani Burung Beo kesayangannya kembali menggembalakan ketiga pasang kerbaunya dengan damai dan aman.
Ambo Upe membelai bulu Burung Beonya yang bertengger di pundaknya dengan penuh kasih sayang.
“Terima kasih, Beo! Kamu memang burung yang baik. Kamu beberapa kali telah menyelamatkanku dari ancaman bahaya,” kata Ambo Upe.
Demikianlah Ambo Upe dan si Burung Beo hidup saling menolong. Jika dahulu Ambo Upe menolongnya, sekarang si Burung Beo yang menolong Ambo Upe. Ambo Upe pun semakin sayang terhadapnya, dan senantiasa memelihara dan merawatnya dengan baik.