Koala Kumal Dan Hutan

Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh. Silakan masuk teman-teman, anggap saja rumah sendiri. Jangan heran saya bilang rumah, sebab bagi saya rumah bukan selalu wacana tumpukan batu-bata dengan atap tapi rumah yaitu apa saja yang membuatmu merasa nyaman mendapatkan dan menyambutmu kapanpun kau lelah dengan hari-harimu kapanpun kau lelah dengan kehidupan. My little home to tell some stories.
Kalian tahu tidak wacana dongeng yang digambarkan Raditya Dika dalam film Koala Kumal, film yang mengisahkan wacana perjalanan si tokoh utama, Dika, menuntaskan masa sakit hatinya. Sakit hati tampaknya pernah dialami sebagian besar orang, entah itu orang ganteng atau orang cantik, entah beliau orang kaya atau orang miskin. Sakit hati bukan wacana dongeng dramatis yang dibuat-buat dan seolah dongeng itu dongeng paling menyedihkan yang pernah ada, sebab senyuman bahagiapun sanggup saja bentuk lain dari sakit hati.
Saya pernah sakit hati, ibarat yang saya bilang tadi, setiap orang sanggup saja sakit hati, tapi saya bukannya sakit hati pada seseorang ibarat yang dialami kebanyakan orang, sakit hati dengan orang yang paling disayang misalnya, tetapi saya sakit hati dengan orang yang setiap hari kulihat, setiap hari bersamaku, bahkan saya tidak sanggup lepas darinya, beliau yaitu diriku sendiri.
Saya sakit hati dengan diriku sendiri, perasaan sakit hati yang entah hingga kapan mau menetap. Kisah ini bermula pada pertengahan semester II. Sebagai pengantar saya akan mengambil sedikit penggalan dari film Koala Kumal, yaitu pada ketika Dika dan Andrea (mantan pacarnya) berkeliling bersama melihat ekspo lukisan, ada sebuah lukisan yang diambil dari dongeng nyata, dongeng wacana seekor koala yang meninggalkan hutan habitatnya berbulan-bulan dan sesudah kembali, hutannya telah tidak ada, lukisan yang menggambarkan seekor koala ditengah-tengah batang pohon hutan yang telah gundul, mulut si koala digambarkan begitu murung seolah menyampaikan pada siapapun yang melihatnya "saat ini saya telah kehilangan". Dika mengatakan, "Kasihan yah, beliau ninggalin sesuatu yang udah nyaman untuk beliau trus pas beliau balik lagi daerah itu udah beda, jadi sesuatu yang beliau gak kenal lagi". Entah siapa yang salah, si koala atau yang menciptakan hutan itu tak sama lagi.
Saya pernah mempunyai "hutan" ibarat si koala, tapi ini bukan hutan dalam arti sebenarnya, beliau yaitu seorang gadis yang hampir sebaya denganku dengan tabiat periang hampir dalam segala hal, beliau selalu bersemangat dan tersenyum dan juga beliau yaitu "hutan" yang nyaman bagiku andai diriku si koala, dan saya menyebutnya Sanjurius. Saat memasuki awal semester II masa kuliahku, saya mulai mengenal lebih banyak sahabat di kampus hingga saya melihat "hutan" yang lebih hijau dan lebih lebat dari "hutan" yang kutempati sekarang, balasannya pada pertengahan semester saya benar-benar pindah ke "hutan" gres itu, membuatku benar-benar melupakannya.
Lanjutan dari dongeng ini kurang lebih sama dengan si koala. Saat saya sadar bahwa "hutan" yang lebih hijau dan lebih lebat tidak akan sanggup menjadi "rumah" kalau hanya sebab dua hal itu kita menempatinya, ketika kita menemukan "hutan" yang lebih hijau dan lebih lebat, maka berpindah "hutan" akan kita lakukan lagi, dan akan terus ibarat itu hingga kita sadar bahwa "hutan" yang pertama yaitu rumah yang sesungguhnya. Kita akan selalu sanggup kembali ke rumah yang sebelumnya, meskipun tidak selalu kita akan tetap sanggup masuk ke rumah tersebut dan tinggal di dalamnya.
Saat saya kembali untuk mengenal Sanjurius yang sekarang, pada ketika yang sama saya sadar semuanya tidak ibarat dulu lagi, entah saya, dia, atau keadaan yang telah berbeda, sekeras apapun perjuangan untuk menciptakan semuanya kembali ibarat dulu, sekeras itu pula pukulan yang tiba dan menghancurkan semuanya. Heraclitus sang filosof mungkin benar wacana "kita tidak sanggup melangkah dua kali ke dalam sungai yang sama, kalau saya melangkah ke dalam sungai untuk kedua kalinya, saya atau sungainya telah berubah". Saya atau beliau ketika ini benar-benar telah berbeda dan tak akan pernah ibarat dulu lagi.
Ada dua hal yang sanggup kupelajari dari sini, bahkan dari si koala dan hutannya, bahwa yang terpenting bukan wacana mencari yang terbaik, tetapi mengakibatkan yang telah ada sebagai yang terbaik. Dan juga bukan soal perjuangan untuk kembali pada dulu yang terbaik, bukan sebab tidak mungkin, selalu ada jalan kembali meskipun tidak selalu kembali pada hal yang sama tapi dengan kembali kita sanggup mengambil apa yang sebelumnya pernah "ketinggalan".