Short Story: Kemungkinan Saya Dapat Membunuh Istriku Tanpa Tertangkap Lembap (1)
Diterjemahkan oleh , -MrStar-
Sumber http://ifunnovel.blogspot.com/
Pengarang: Hiroro
□□□
‘0.061%’
Pagi hariku selalu diawali dengan menyalakan layar kacamata pintar, dan mengusut sebuah aplikasi prediksi masa depan.
“Hm, sudah sewajarnya.”
Akhir-akhir ini, saya sudah tidak pernah lagi melihat presentase itu melewati 1%.
‘Kemungkinan saya berhasil membunuh istriku tanpa ketahuan.’
Itu yakni prediksi masa depan yang sedang saya perhitungkan.
Kira-kira sudah lima belas tahun sejak teknologi komputer kami bisa melaksanakan prediksi sederhana sehabis diberikan pertanyaan. Kemampuannya sudah dipakai untuk banyak sekali hal, dan saya sudah memanfaatkannya untuk banyak sekali hal tanpa batas.
Istriku dan saya yakni pasangan dari ijab kabul politik. Ayah istriku -yang kini yakni mertuaku- memaksa kami menikah sebagai persyaratan santunan dana untuk perusahaan kakekku. Penampilanku biasa-biasa saja, dan tidak ada hal Istimewa yang kuasai, alasan kenapa gadis yang tidak pernah kujumpai ini memilihku sangat sederhana, sebab ia tertarik sehabis melihat fotoku.
“Aku tidak pernah berpikir untuk mencintaimu, tapi tidak mengapa.”
Sepuluh tahun berlalu sehabis saya menyampaikan itu. Dan akhirnya kami pun menikah. Aku tidak punya pacar atau semacamnya. Dan penampilannya juga tidak buruk. Perusahaan kakekku berhasil bertahan, dan saya ditunjuk sebagai presiden perusahaan selanjutnya. Semuanya berjalan dengan baik. Di mata masyarakat kehidupan kami berjalan dengan hening tanpa masalah. Tapi tidak bagiku.
Karena merasa telah dibeli dengan uang, saya sedikit merasa dendam padanya.
Kalau saya tidak ingin, saya hanya perlu menggelengkan kepalaku, tapi situasinya tidak memungkinkan. Perusahaan kakekku tidak akan bertahan dalam beberapa hari lagi dan dipastikan akan bangkrut, dan kakekku yang keras kepala dan egois, tidak ingin mengorbankan nyawanya. Dia bilang hanya saya satu-satunya yang sanggup menyelamatkan keluarga kami dari lilitan hutang yang sangat besar, maka dari itu saya menyetujui ijab kabul ini.
"Aku mungkin akan membunuhmu dan merampas semua hartamu. Meskipun demikian, kau tetap terima bersamaku?"
Seusai upacara ijab kabul kami, kata-kata itu kulemparkan ke kepadanya dengan nada santai. Dia tampak terkejut untuk sesaat, sebelum akhirnya tersenyum.
"Tidak masalah. Selama saya berhasil membuatmu jatuh cinta padaku terlebih dahulu."
Kata-katanya yang berani membuatnya terdengar menyerupai seorang kesatria, yang membuatku membelalakkan mataku sesaat. Dan sejak hari itu, saya selalu memasukkan pertanyaan, 'kemungkinan saya bisa membunuh istriku tanpa ketahuan,' ke dalam ‘kacamataku komputerku’. Setelah menginput pertanyaan itu, CPU kacamataku eksklusif mengolah banyak sekali variabel dan faktor kemungkinan, kemudian menawarkan hasil dalam bentuk presentase. Angka yang pertama kali keluar yakni '38.235%'. Angka mengejutkan itu membuatku tercengang selama beberapa saat. Hampir 40%! Aku ingat kalau istriku akan berpergian ke luar negeri besok lusa. Terlebih lagi, sendirian. Aku niscaya akan berhasil jikalau saya belakang layar mengikutinya dan membunuhnya.
"Mungkin saya juga akan pergi sendirian dan membunuhmu. Kemungkinan saya berhasil sekitar 40%."
"Begitu, agar berhasil. Kamu ingin buah tangan apa?"
Kata-kata balasannya yang tidak terduga itu membuatku tertarik dan tanpa sadar bertanya, "kamu pikir saya tidak bisa membunuhmu?" Dan hanya dibalas dengan, "tidak, tapi jikalau kau berhasil, itu artinya saya kurang berusaha.”
Kuantarkan ia pergi, dan kembali menghitung prediksi masa depan yang lain.
'Kemungkinan saya akan mengasihi istriku setengah tahun dari sekarang’
‘0.001%'
Ha, menyerupai dugaanku, saya mengangguk pada diriku sendiri. Walaupun saya menganggap ia perempuan yang menarik, tapi sudah niscaya saya sama sekali tidak punya perasaan terhadapnya. Tidak mungkin ada yang bisa mengubahku hanya dalam enam bulan.
Beberapa hari kemudian, kukatakan itu padanya ketika ia kembali. Aku ingin tau ingin melihat menyerupai apa reaksinya, tapi ia hanya membalas dengan, "oh, begitu." Sejujurnya, itu sedikit membuatku kecewa.
"Aku kira kau tidak membenciku."
Bukan saya yang ingin menikah dengannya, jadi kupikir ia punya perasaan suka padaku sebab ia ingin menikah denganku. Tapi ia hanya menyampaikan dua kata yang seolah-olah ia sama sekali tidak peduli. Aku tidak ingin melihat ia menangis, tapi setidaknya saya ingin melihat ekspresi sedihnya.
"...Boleh kutanya apa rencanamu untuk membunuhku selanjutnya?"
"Apa?"
"Waktu itu, sebelum saya pergi, kau bilang, ‘mungkin saya juga akan pergi sendirian dan membunuhmu?' ya kan? Padahal saya sudah menanti-nanti dirimu, berharap kau akan datang. Kalau kau datang, itu niscaya akan jadi bulan madu yang sangat menyenangkan."
"Kamu berharap untuk dibunuh?”
"Kalau bisa, saya berharap untuk dicintai olehmu."
Dia perempuan yang sulit dimengerti, pikirku. Di depannya, kunyalakan layar kacamataku, dan memasukkan pertanyaan yang sama.
'Kemungkinan saya bisa membunuh istriku tanpa ketahuan.'
'12.253%'
Jadi satu banding sepuluh, saya tidak akan ketahuan. Itu angka yang tidak mengecewakan tinggi.
Itu sebab hanya ada kami berdua di rumah pada tengah malam, jadi menurutku itu tidak mengecewakan tinggi. Tapi saya berhenti memikirkannya.
"Sekarang sekitar 12%. Aku rasa saya tidak akan melakukannya untuk ketika ini. Kalau saya ingin membunuhmu, saya akan membuang mayatmu di pinggir jalan. Supaya mereka menerka kalau kau yakni korban tabrak lari."
"Kalau begitu, saya sarankan taman di erat sini. Banyak orang yang mencurigakan keluar masuk taman itu."
"...Aku tidak mengerti apa yang sedang kau pikirkan."
"Aku hanya berusaha keras supaya dicintai olehmu."
Aku menatapnya dengan serius tapi ia hanya tertawa santai, dan menawarkan sebuah kotak, ia bilang itu oleh-oleh.
"Akan kubuang."
"Aku menawarkan itu padamu, jadi saya tidak keberatan kalau kau ingin membuangnya."
Jadi menyerupai yang ia bilang, kulempar kotak itu ke daerah sampah dengan sempurna. Kemudian melirik untuk melihat ekspresinya, dan eksklusif meratapi keputusanku. Raut wajahnya ketika itu terlihat sangat terluka ketika melihat kotak itu. Karena tidak ingin melihat matanya, saya buru-buru pergi ke kamarku.
Saat ini kami memang sepasang suami istri, tapi kamar kami terpisah. Karena saya tidak pernah berpikir untuk menyentuhnya, dan tentu saja ia tidak ingin disentuh olehku juga.
□□□
Kehidupan brutal ini terus berlanjut dan setengah tahun pun berlalu. Di ketika saya membuka mata di pagi hari, sebelum beranjak dari kasur, saya mengusut prediksi ‘kemungkinan saya bisa membunuh istriku tanpa ketahuan’. Dan begitu bangkit dari ranjang, saya mendapatkan hasilnya, dan jalan menuju ruang makan.
“Pagi ini 15%.”
“Oh, wow. Kalau begitu saya boleh merasa tenang?”
“Kamu tidak akan pernah tahu. Mungkin saja saya menaruh sianida di kopimu.”
“Padahal saya gres saja membuatnya tadi?”
“Kalau saya sudah menyiapkannya dari kemarin, mungkin saja.”
“Akan kuingat itu. Dan ini kopi untukmu.”
“Terima kasih.”
Setelah mendapatkan kopi yang sudah niscaya tidak mengandung sianida, saya duduk di kursi. Mulai dari minum kopi hingga sarapan bersama yakni kegiatan rutin kami setiap pagi.
Di awal ijab kabul kami, kami tidak bercakap-cakap sama sekali, tapi seiring berjalannya waktu, bertahap saya mulai merasa nyaman. Sarapan dan makan malam yang ia buat juga enak. Tapi itu berbeda jauh dari rasa cinta, jikalau saya ditanya, ‘apa kau mencintaiku?’ jawabannya sudah niscaya ‘tidak’.
Dua tahun berlalu begitu saja. Mungkin kami yakni sepasang kekasih yang buruk, tapi kami yakni suami istri. Mungkin sebab itu tiba-tiba ia berkata ingin pergi kencan denganku.
“Aku tidak ingin pergi.”
“Tapi saya ingin pergi. Ayo pergi ke Sea World sekarang.”
“Untuk apa? Aku bahkan tidak meyukaimu. Apalagi mencintaimu.”
“Tapi saya mencintaimu.”
‘So what?’ pikirku. Kenapa ia menerka kami bisa bersikap menyerupai sepasang kekasih sehabis semua ini? Karena frustasi, saya hanya menatapnya tanpa menyampaikan apa pun. Tapi saya hanya dibalas senyuman kecil.
“Apa kau yakin? Kamu ingin melepas kesempatan ini?”
“Apa maksudmu?”
“Kalau kau terima ajakanku, mungkin kau bisa membunuhku.”
“Aku tidak cuma ingin membunuhmu. Aku ingin membunuhmu tanpa ketahuan. Kalau saya ketahuan, tidak ada gunanya.”
“Itu dia! Kamu ingat angka untuk hari ini?”
“5.7… kayaknya.”
“Nah, bukannya akhir-akhir ini sering menurun? Kamu tidak masalah? Kalau kau sepakat pergi denganku, prediksinya akan meningkat! Kalau kita di tengah-tengah kerumunan, dan kau menikamku dari belakang dengan pisau, kau tidak akan ditangkap selama tidak ada jejak sidik jarimu. Tapi supaya berhasil, kita harus berbaur di kerumunan.”
“Kamu bersemangat sekali membicarakan planning pembunuhanmu.”
“Aku hanya ingin bersenang-senang hari ini. Jangan khawatir, kuserahkan punggungku padamu.”
“Untuk ditikam?”
“Oh, kau boleh merangkulku, kalau kau mau.”
Karena wangsit abnormal dan tawa girangnya, tanpa sadar saya sedikit tersenyum. Pada akhirnya, kami pergi kencan untuk pertama kalinya. Dan kami hampir memasuki tahun ketiga ijab kabul kami.
Bersenang-senang atau tidak, kalau kau tanya yang mana, tentu saja saya pilih bersenang-senang. Itu yakni pertama kalinya saya pergi ke Sea World sehabis sekian lama, dan saya merasa sangat bersemangat tanpa mempedulikan umurku, bahkan hingga lupa untuk melihat angka prediksi. Kemudian, kepadanya, yang sedang tersenyum di sampingku, saya berterima kasih untuk kencan hari ini.
Ketika malam tiba, kami makan malam di rumah menyerupai biasa. Tapi kali ini sedikit glamor dibandingkan biasanya, seluruh meja dipenuhi makanan kesukaanku, kemudian saya melihat kalender.
“Sekarang hari ulang tahunku?”
“Jadi kau memang lupa. Kita selalu merayakannya setiap tahun.”
Sepertinya saya pernah melihat meja makan dipenuhi makanan favoritku sekali setiap tahun. Aku menganggapnya tidak penting ketika itu dan sehabis kuingat-ingat kembali, saya sadar kalau itu niscaya hari ulang tahunku.
“Aku tidak akan berterima kasih.”
“Kamu gres saja melakukannya, jadi kau tidak perlu berterima kasih lagi.”
“Aku tidak pernah berniat merayakan ulang tahunmu.”
“Ini yakni keinginanku sendiri, jadi kau tidak perlu melakukannya.”
“… …”
“Terima kasih telah hadir dalam hidupku.”
“Hm.”
Setelah kuingat kembali, saya paham kalau ia hanya merasa malu waktu itu, tapi ketika itu saya kebingungan, apa perempuan ini baik-baik saja?
Setelah semua itu, sikapku kepadanya tidak berubah, begitu juga dengannya.
Tapi sebulan sekali, kami akan pergi bersama.
Aku pergi untuk membunuhnya. Dan ia pergi untuk kencan denganku.
Apa saya serius ingin membunuhnya? Kalau saya ditanya, saya akan menjawab, saya tidak pernah berniat melakukannya dari awal.
Memang benar saya tidak pernah menganggap dirinya, dan jikalau ia mati, maka… um, saya tidak pernah mempertimbangkannya. Tapi berani mengambil resiko tinggi menyerupai membunuhnya bukan pilihan gampang bagi pengecut menyerupai diriku.
Hanya saja, ketika kami menjadi sepasang suami istri, itu menjadi topik perbincangan yang tepat bagi kami.
Mungkin ia juga tahu itu. Dia sudah tahu itu, dan tetap menggunakannya untuk mengajak saya bicara. Dan saya pun selalu menanggapinya.
Kenapa? Aku rasa saya tahu alasannya, tapi saya eksklusif berhenti memikirkannya. Karena itu sudah usang sekali.
Dari kencan pertama itu, dua tahun berlalu, dan ijab kabul kami memasuki di tahun kelima.
“Hari ini 2.564%. Paling buruk. Angka paling rendah.”
“Syukurlah, tampaknya kehidupanku yang hening akan terus berlanjut.”
“Dari awal juga tidak pernah berubah. Kehidupanmu selalu sama.”
“Bukan itu masalahnya. Tadi saja saya terlalu usang masak ikan dan akhirnya gosong.”
“Tapi punyaku terlihat normal.”
“Aku buru-buru masak yang gres untukmu. Coba lihat ini, gosong.”
Kemudian, ia memperlihatkan ikan di piringnya, dan tersenyum sedih. Kuambil piringnya, menukarnya dengan milikku, dan melanjutkan sarapanku.
“Kamu yakin? Rasanya menyerupai arang, loh.”
“Kamu juga yakin? Mungkin saja saya sudah menaruh racun dipiringku ketika kau tidak melihat.”
“Kalau itu racun yang kau kasih, saya ingin mencobanya.”
“Kalau begitu coba saja.”
“Terima kasih.”
Ketika kami melanjutkan sarapan kami, saya melirik ke arah jam dinding yang juga memperlihatkan tanggal.
Sudah lima tahun.
Sejujurnya, saya berpikir untuk menyudahinya.
Kubuka prediksi di depannya ketika ia sedang menyantap sarapannya. Melihat angka yang ditampilkan di lensa kacamata, saya menghela nafas.
‘1.524%’
Masih sama menyerupai ketika bangkit tidur tadi. Rendah. Yang kuberi tahu kepadanya yakni hasil yang sudah ditambah 1%. Prediksi hari ini yakni ‘1.564%’. Ngomong-ngomong, embel-embel 1% tadi sama sekali tidak berguna.
Aku pernah berbicara dengan temanku, yang sangat memahami sistem prediksi masa depan, mengenai prediksi yang sedang kulakukan dan perihal kehidupan suami istri kami. Karena saya ingin tau dengan angka yang selalu menurun setiap tahun ini.
Kamu benar-benar bodoh, kata ia sambil mendesah, sehabis itu ia menawarkan klarifikasi panjang lebar.
Dari dia, pertanyaan ‘kemungkinan saya bisa membunuh istriku tanpa ketahuan’ memulai perhitungannya dari apakah si individu yang memasukkan pertanyaan memang ‘berniat membunuh istrinya’. Artinya penurunan yang terjadi setiap tahun membuktikan adanya perubahan pada perasaanku, kata dia.
Itu sangat bodoh. Kemudian saya berpikir, walaupun begitu, kau berharap apa padaku, sehabis semua perlakuanku padanya selama ini. Ini membuatnya semakin sulit. Setelah menyampaikan semua kata-kata kasar itu, tidak memperlalukannya menyerupai wanita, mengabaikan semua hari ulang tahunnya dan cuma mendapatkan apa yang ia berikan padaku tanpa berterima kasih.
Selama lima tahun. Lima tahun.
Aku harus pasang wajah menyerupai apa ketika saya menyampaikan kalau saya memedulikan dirinya?
Dan sehabis percakapan dengan temanku itu, saya tetapkan untuk tidak melaksanakan apa pun selain memikirkan perasaanku.
Tapi mari kita akhiri. Sudah saatnya untuk berhenti. Aku tidak tahu apakah saya mencintaimu atau tidak, tapi saya yakin kalau saya mengakui dirimu sebagai istriku. Kupikir itu yang akan kukatakan padanya.
Hari ini yakni hari ulang tahunmu.
Setelah selesai sarapan, dan merapihkan penampilanku sebelum berangkat kerja menyerupai biasa. Seperti biasa, ia mengantarku hingga pintu. Perlahan-lahan kubuka mulutku, dan mengeluarkan bunyi yang sangat lirih seolah-olah akan menghilang.
“Sampai jumpa lagi.”
“… …Ya. Berhati-hatilah.”
Matanya berkaca-kaca sambil tersenyum, itu membuatku merasa sedikit bahagia, kucoba lagi mengucapkan ‘sampai jumpa lagi’. Kali ini dengan bunyi yang sedikit lebih terang dari sebelumnya, dan ia terlihat seolah-olah ingin menangis sehingga saya buru-buru pergi ke kantor.
Ini yakni tempatku kembali. Kata-kata itu tidak pernah kukatakan sebab saya tidak pernah memikirkannya. Jika kau akan sangat senang mendengarnya, saya akan mengatakannya dari dulu.
Mari kita mulai dari awal.
Aku memikirkannya dengan serius. Aku akan membeli bunga di perjalanan pulang. Aku sudah memesan kue. Ayo kita rayakan apa yang tidak pernah kita rayakan sebelumnya. Aku tidak tahu hadiah menyerupai apa yang akan membuatmu senang, jadi ayo kita beli bersama-sama. Ayo kita mulai dari sana. Aku tidak tahu apa pun yang ia suka. Tapi ia sangat memahami diriku, sedang saya sama sekali tidak berkomentar mengenai itu, itu sangat memalukan. Tapi saya akan mulai berguru dari sekarang. Kita punya banyak waktu. Karena kita yakni sepasang suami istri.
Itu yakni pertama kalinya saya menghabiskan waktu lebih usang di kantor.
Setelah meninggalkan kantor dan berencana untuk eksklusif pulang, saya mampir ke toko bunga terlebih dahulu.
Aku tidak tahu apa warna kesukaannya, jadi saya pilih mawar yang biasa dan membungkusnya. Mereka bertanya berapa banyak bunga yang kuinginkan, saya asal bilang 100, menciptakan pesanan yang gila. Meski begitu, mereka bilang kalau mereka hanya punya bunga yang terbatas, dan dengan jumlah yang dikurangi 70, semuanya sudah siap.
Ketika saya mendapatkan buket bunga, kacamataku terjatuh, dan mengeluarkan bunyi berdenting. Guncangan tadi membuatnya mengeluarkan angka prediksi tadi pagi dari ‘history’.
’25.283%’
Angka yang muncul membuatku membelalakkan mataku. Buru-buru kupakai kacamataku dan melihat angka-angka prediksi yang berubah setiap detik.
’32.154%’
’38.259%’
’42.985%’
Angka-angka itu meningkat setiap kedipan, dan akhirnya berhenti di angka 50%.
‘Kemunginan saya bisa membunuh istriku tanpa ketahuan: 52.385%’
Begitu kulihat itu, saya berlari seolah-olah sebuah saklar dalam diriku dinyalakan. Aku teringat kata-kata temanku ketika saya konsultasi.
“Ketika kau sudah tetapkan untuk mengakui ia sebagai istrimu, meskipun dengan perasaan menyerupai itu, kemungkinan prediksi akan meningkat hingga 50%, jadi berhati-hatilah. Karena tidak peduli menyerupai apa perasaanmu padanya, kau akan masuk ke situasi di mana prediksi itu bisa menjadi kenyataan.”
Apa maksudmu? Ketika saya bertanya, ia hanya tertawa sambil menjawab bagaimana mungkin saya tahu.
Situasi yang menciptakan itu semua menjadi mungkin? ‘Apa-apaan itu?’ pikirku ketika berlari menuju rumah. Tiba-tiba wajahnya muncul dalam benakku, membuatku mengeluarkan keringat dingin.
Aku melewati jalan sentra perbelanjaan, dan melewati toko elektronik, kakiku terhenti di depan toko. Karena televisi di depan toko sedang menampilkan wajah istriku.
‘Kecelakaan kemudian lintas, tertabrak truk, kondisi kritis’
Aku eksklusif mencerna semua isu yang muncul dari dalam televisi. Sebagai pukulan terakhir, mereka menampilkan fotonya sekali lagi. Aku terjatuh berlutut.
Aku tidak ingat lagi apa yang terjadi selanjutnya. Dari ujung ponselku, saya bisa mendengar mertuaku meneriakkan sesuatu, tapi saya tidak bisa mendengarnya.
□□□
Kamu tertidur. Dia kasur rumah sakit dengan banyak sekali macam mesin melekat padamu.
Perban yang kulihat membuatku ingin memalingkan wajahku, tapi wajah tidurmu yang pertama kalinya kulihat sangat anggun membuatku tidak bisa berpaling.
“Selamat ulang tahun.”
Adalah kata yang pertama keluar dari mulutku.
“Aku minta maaf untuk semua perbuatanku.”
Dan pemintaan maaf keluar setelahnya.
Aku bersyukur hanya ada kami berdua di ruangan ini. Kemudian saya duduk di dingklik di samping ranjangnya, dan mengusut prediksi masa depan.
‘Kemungkinan saya bisa membunuh istriku tanpa ketahuan: 99.274%’
Sudah kuduga, pikirku. Sekalipun perasaanku menghalangi, kalau saya menyentuh beberapa tombol di sekitarku, saya yakin ia akan mati. Dan kalau itu gagal, saya cukup menekan tanganku perlahan-lahan di lehernya.
Temanku sudah mengatakannya, kalau ‘perhitungannya dimulai dari kemungkinan si individu yang memasukkan pertanyaan ‘berniat membunuh istrinya’.’ Dengan kata lain, keragu-raguan. Ketika ingin membunuh, apakah kakiku akan mengikuti instruksiku atau tidak.
Dengan kondisinya sekarang, bahkan ia bisa mati sebelum saya mulai ragu-ragu. Dia sangat rapuh.
“Hei, prediksi hari ini 0%. Ini yakni prediksi yang paling rendah.”
Aku mengatakannya sama menyerupai yang biasa kukatakan. Aku bersunguh-sungguh, prediksinya 0%. Walaupun tertera angka ‘99.358%’, saya ingin ia hidup, maka prediksinya 0%. Tidak mungkin saya bisa membunuhnya.
“Jadi, saya menjamin keselamatanmu hari ini. Makara jangan tidur selamanya, ayo bawa bekal dan jalan-jalan di taman. Aku tidak pernah bilang sebelumnya, tapi saya sangat menyukai telur manis buatanmu. Ayam goreng buatanmu juga sangat enak. Aku selalu makan makanan buatanmu tanpa berkomentar. Tapi, meskipun begitu, kau tetap tersenyum bahagia, jadi saya merasa kalau semua akan baik-baik saja jikalau saya tetap menyerupai itu.”
Dengan lembut, kuelus pipi yang hambar itu. Berharap akan berkembang menjadi merah muda yang menyerupai biasanya.
“Hari ini saya berguru untuk pertama kalinya. Mengetahui kalau kau ingin saya menyampaikan ‘sampai jumpa lagi’. Karena diriku yang keras kepala, saya tidak pernah mengatakannya padamu hingga sekarang, tapi rumah itu sudah menjadi tempatku kembali dari dulu, dulu sekali. Aku membuatu menangis, ya kan? Apa kau menangis ketika saya tidak melihat? Aku tidak akan membuatmu menangis lagi. Aku janji.”
Suara terisak-isakku mencapai kerongkongan. Nyeri di hidungku membuatku sakit kepala, dan sebab tidak sanggup lagi menahannya, air mataku mengalir.
“Aku sangat menyesal. Terima kasih untuk segalanya hingga hari ini. Sekarang saya ingin mendengar suaramu.”
Kugenggam tangannya yang putih kuat-kuat, dan menangis terisak. Aku tidak yakin apa saya bisa merangkai kata-kata. Tapi, walaupun begitu, saya merasa harus mengucapkannya.
“Aku mencintaimu. Kumohon, kembalilah, Yuri…”
□□□
Kami merayakan ulang tahun keenam ijab kabul kami di rumah sakit.
Ulang tahun Yuri dan ijab kabul kami berdekatan, jadi hampir setahun sejak Yuri dirawat. Di mata orang-orang, Yuri sudah menjadi insan sayur, yang hanya mendapatkan nutrisi dari mesin. Aku tidak ingin memakai istilah menjijikan itu untuk menggambarkan kondisinya, tapi kapan pun saya ditanyai keadaanya, terkadang saya terpaksa memakai istilah itu. Aku harus melatih kosa kataku lebih banyak lagi, saya yakin ia tersenyum lebih cerah dibandingkan sebelumnya ketika saya menyampaikan kata-kata itu padanya pada pagi itu.
Seperti semua yang pernah Yuri lakukan untukku, kali ini saya yang merawatnya. saya mengganti bunga di ruangannya setiap hari, dan berbicara dengannya mengenai banyak sekali macam hal. Aku menyeka tubuhnya, dan jikalau cuaca sedang cerah, saya membuka jendela dan kami mandi cahaya matahari bersama. Aku berguru masak dengan bimbingan dari salah satu bawahanku, dan saya sangat berharap itu akan menjadi makanan pertama yang Yuri makan ketika Yuri bangun.
“Hei Yuri, Prediksi hari ini 0% lagi. Keselamatanmu terjamin hari ini.”
’96.783%’
Aku sedikit tersenyum melihat angka yang hanya turun 3% dari tahun lalu. Tidak apa-apa, saya akan menunggu. Aku akan menanti dirimu selamanya. Makara gunakan waktumu.
Beberapa hari yang lalu, dokter mengatakan, ‘menyerahlah dan lepaskan semua mesin penopangnya, kemungkinan ia akan pulih sangat rendah’, katanya. Aku berteriak dan meninju wajahnya, tapi kemudian, saya menyesalinya. Makara Yuri, kumohon, jangan murka ketika kau membuka matamu, oke?
□□□
Setengah tahun berlalu, ayah mertuaku telah menyerah.
Tapi saya tidak. Sejujurnya saya sangat takut untuk menyerah, hasilnya saya selalu bicara kepadamu yang tidak pernah merespon dengan putus asa.
□□□
Setengah tahun berlalu lagi dan tahun ketujuh ijab kabul kami tiba.
Sambil menatap Yuri, yang tidak pernah merespon, memikirkan diriku yang selama lima tahun ini mengabaikan Yuri.
Apakah rasanya menyerupai ini? Berhadapan denganku yang tidak pernah merespon perkataanmu… apa saya menciptakan Yuri mencicipi perasaan kosong ini?
Ketika tiba hari ulang tahun Yuri, air mataku mulai mengalir dan tidak bisa kuhentikan. Tanpa menyeka air mata yang mengalir di pipiku, saya berkata padanya.
“Selamat ulang tahun, Yuri. Aku membawa bunga yang tidak sempat kuberikan padamu waktu itu. Kali ini saya berhasil membawa seratus bunga. Hebat, kan? Kita bisa pergi membeli hadiah untukmu begitu kau bangun. Hadiah untuk tujuh tahun yang kita lewati, tidak peduli apa yang kau inginkan. Karena saya sama sekali tidak tahu apa yang kau sukai. Makara beri tahu semuanya lain waktu, oke?”
□□□
“Hei, prediksi hari ini juga 0%. Kenapa kau masih tidur?”
‘92.693’
“Apa warna favoritmu? Seperti apa hobimu?”
’85.696%’
“Apa yang kau lakukan ketika saya tidak ada di rumah? Apa bunga kesukaanmu?”
’68.258%’
“Aku ingin melihat foto masa kecilmu. Kamu sekolah di Sekolah Menengan Atas mana?
’51.258%’
Setelah beberapa saat, saya terkejut. Aku tidak menyadari kalau angka-angka prediksi mulai menurun. Angka-angka itu terus menurun, menurun dan terus menurun. Detak jantungku meningkat seiring menurunnya angka-angka itu.
Tidak mungkin mustahil tidak mungkin tidak mungkin, Yuri…
’32.258%’
’20.258%’
’12.258%’
‘3.178%’
‘0.001%’
“Selamat pagi. Kamu tidur nyenyak sekali.”
Dibalik masker oksigennya, bibir mungil itu perlahan-lahan tersenyum. Matanya yang besar memantulkan siluet diriku yang sedikit gemetar.
“Selamat pagi, Masahiro.”
Suaranya tidak keluar, tapi melihat gerak bibir mungilnya, saya mulai menangis terisak-isak.
Dan sekali lagi kulakukan kebiasaanku.
‘0.061%’
Hasil untuk hari ini.
Kuangkat kepalaku dari kasur, kemudian mengelus kepala Yuri yang berada di sampingku, sedikit energi kehidupan yang ia miliki berkembang menjadi air mata dan senyuman.
-Tamat-
(TLN: Silakan membaca dongeng selanjutnya ‘Permainan Untuk Membuat Dia Jatuh Cinta’. Terima kasih telah membaca.)
-MrStar-
Sumber http://ifunnovel.blogspot.com/