Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Contoh Cerpen Remaja.

Contoh Cerpen Remaja.siapa yang tidak mengetahui cerpen karya sastra satu ini sangat seru untuk dibaca kali ini saya memberi kalian Contoh Cerpen Remaja, yang dibentuk oleh mitra sekelas saya sendiri Yaitu Alya Maghfira 
Thanks Alya ,langsung aja ya :

Contoh Cerpen Remaja.


iapa yang tidak mengetahui cerpen karya sastra satu ini sangat seru untuk dibaca kali ini  Contoh Cerpen Remaja.

Malam keajaiban
Aku duduk terdiam di depan meja belajar. Mejaku menghadap jendela yang tertutup hordeng putih. Perlahan, saya menyibakkan hordeng itu, dan saya disambut oleh pemandangan langit malam dengan berjuta bintang. Aku melihat salah satu bintang yang sinarnya paling terang di antara bintang-bintang lainnya.
            Aku tak mau beranjak dari daerah dudukku, meskipun kini saatnya jam tidur. Penaku menari-nari di atas kertas, membentuk kata-kata yang penuh makna. Sebuah motivasi. Kata-kata motivasi pertama yang kubuat sendiri. Biasanya, selalu ia yang memberiku motivasi. Tapi, kini tak lagi. Malam Minggu kali ini yakni milikku.
---***---
          Aku mengenalnya sekitar sebulan yang lalu. Saat itu, kami masuk ke kelas yang sama, kelas menulis. Aku tak punya sahabat sama sekali di kelas itu, begitu pula dengan dirinya. Jadi, kami mulai berkenalan dan mengobrol seputar menulis.
            “Oh, jadi, kau pengen jadi penulis populer di dunia?”
            “Ya,” ungkapnya mantap. “Dengan itu, saya akan mengguncang dunia dengan tulisan-tulisanku!”
            Aku pun tertawa begitu melihat ekspresi lucunya. Entah kenapa, setiap kali ia bersemangat, ekspresi semangatnya begitu lucu di mataku. Dan dia-lah orang yang pertama kali membuatku tertawa di sekolah ini.
            “Oh ya, jangan lupa, nanti SMS aku!” seruku padanya. Dia mengangguk.
            “Oke… eh, siapa namamu? Sonia?”
            Kali ini saya yang mengangguk.
            “Mungkin kita sanggup SMS-an setiap malam Minggu,” ujarnya. “Aku hanya boleh memakai handphone setiap hari Sabtu dan Minggu.”
            Ah, hanya setiap hari Sabtu dan Minggu? Wajar saja, ia murid kelas unggulan. Setiap hari selalu berguru dan belajar. Sementara aku, setiap hari malas belajar. Baru mau membuka buku saja perutku sudah mual. Tak heran, saya selalu menempati peringkat terakhir di kelasku. Anak-anak pun mulai menjauhiku sebab saya dianggap ndeso dan tak berkhasiat di kelas. Betapa menyedihkan.
            Dia pun mulai curhat denganku. Jujur, saya bahagia sebab ia sangat mempercayaiku. Dia bercerita perihal kehidupannya yang penuh impian. Karena ambisinya untuk menjadi penulis populer di dunia terlalu besar, ia hingga harus mengorbankan kebersamaannya dengan teman-temannya. Dia mulai menarik diri dari teman-temannya dan berkutat dengan tulisan-tulisan di laptopnya, yang belum ia publikasikan sama sekali.
            “Lalu, kini kau enggak punya teman?” tanyaku.
            Dia mengangguk. “Ya, terkadang ambisi sanggup mengalahkan persahabatan.”
            “Oh ya, saya juga mau curhat. Aku…”
            TEEETTTTT……TEEETTTT…….
            Bel pulang itu menghancurkan pembicaraan kami. Akhirnya, saya menyandang tasku dan berkemas-kemas pulang. Begitu juga dengannya.
            “Oke, Gama. Curhatnya kita lanjutkan malam nanti. Nanti… malam Minggu, kan?”
            “Ya,” ujarnya. “Sampai jumpa. Malam nanti aka nada motivasi dariku.”
            “Eh? Motivasi?” saya pun tertarik. Motivasi. Sesuatu yang sangat kubutuhkan di dunia yang sulit ini. Dan saya akan mendapatkannya nanti. Dari seorang Gama.
---***---
            Malam itu, saya menunggu SMS darinya. Jam sudah mengatakan pukul sembilan kurang seperempat. Sambil menunggu SMS darinya, saya mengetikkan cerpen di laptopku. Cerpen yang berkisah perihal persahabatan empat bakir balig cukup akal dalam sebuah tim.
            Drrrttt….drrrttt….handphone-ku bergetar. Mataku menangkap jam dinding yang tergantung di bersahabat jendela. Waktu mengatakan pukul sembilan malam tepat. Lalu, tanganku menyambar handphone yang tergeletak di samping laptop dengan cepat. Ada SMS dari Gama.
            Sonia, tadi kau mau curhat apa?
            Entah kenapa, tanpa kusadari bibirku menyunggingkan senyum. Aku pun membalas SMS-nya. Aku curhat sepuasnya, perihal semangatku yang hilang ketika belajar. Setiap belajar, saya tak pernah paham dengan isi buku yang kubaca. Semua isinya mirip memakai bahasa alien.
            Drrrttttt…..drrrrtttt….handphone-ku bergetar lagi. Ada tanggapan dari Gama.
            Jangan putuskan semangatmu. Ambisi sifatnya tak terbatas, jika kau mau mewujudkan itu, kau harus bersungguh-sungguh. Ambisi sanggup mengalahkan rasa malas. Tunjukkan pada teman-temanmu jika kau sanggup memimpin jauh di depan. Buka bukumu, buatlah perubahan yang besar.
            Aku tersenyum. Motivasi pertamanya hari ini.
---***---
            “Hei, awas!”
            Aku menoleh ke belakang. Kulihat Ena, gadis paling pandai di kelasku, menatapku tajam sambil berkacak pinggang. Di belakangnya, ada ketiga temannya yang sedang tertawa-tawa kecil. Maya, Natasha, dan Aya.
            “Meja kantin ini khusus untuk murid-murid pintar,” ujar Maya. “Jadi, kau tahu apa yang harus kau lakukan sekarang.”
            “Mustahil ia tahu,” Natasha membetulkan kacamatanya. “Pemikirannya lamban.”
            “Hei, bos menyuruhmu untuk pergi dari sini! Kami mau duduk!” Aya dengan kasar menarik tanganku untuk segera bangun dari bangku yang kududuki. “Pergi!!!”
            “Ayolah!” Si bos, Ena, menatapku garang. “Pergi dari sini!”
            “Enggak!” teriakku.
            Keempat orang itu memelototiku. Rahangku mengeras. Aku tak sanggup diperlakukan mirip ini. Mereka pintar, tapi tak punya hati. Mungkin ketika inilah saya harus membela diriku.
            “Tunggu! Aku mau menantangmu di Ujian Tengah Semester nanti!!!” teriakku. Mendadak, situasi hening. Tak usang kemudian, mereka tertawa.
            “Hahaha…apa katanya?” Ena menatap teman-temannya satu per satu. Aya hanya mengangkat bahu.
            “Entahlah, saya enggak dengar,” ujarnya.
            “Ah, sudahlah!” saya melepaskan tanganku dari tangan Aya dengan kasar. “Aku mau pergi. Lihat saja nanti! Aku enggak bakal jadi anak ndeso lagi di mata kalian!”
            Aku menatap mereka satu per satu dengan tajam, kemudian bangun dari bangku yang kududuki dan pergi meninggalkan kantin. Di tengah jalan, saya berpapasan dengan Gama.
            “Oh, hai Sonia,” sapanya. “Sekarang hari Sabtu, ya. Nanti malam Minggu.”
            “Jangan lupa dengan motivasinya, ya, Motivator Malam Minggu,” saya tersenyum. Dia mengangguk.
            “Ya. Tapi, kita saling curhat dulu.”
            “Kamu ada masalah?”
            “Ya. Masalah menghadapi Ujian Tengah Semester. Kamu juga ngalamin hal yang sama, kan?”
            Aku mengangguk. Kurasa, duduk kasus menghadapi UTS-ku jauh lebih jelek daripada dia.
---***---
            Malam itu, saya kembali mendapat motivasi darinya.
            Semangat untuk maju. Melakukan perubahan besar ke arah yang lebih baik. Percayalah pada dirimu sendiri. Tak ada yang tak mungkin di dunia ini.
            Aku kembali tersenyum.
            Waktu berjalan dengan cepat, secepat seekor kijang berlari. Tak terasa, UTS telah berlalu. Sore ini, menjelang pulang sekolah, ada pembagian rapor bayangan. Bu Gita selaku wali kelas membacakan nama-nama siswa yang mendapat nilai paling tinggi hingga nilai paling rendah. Jantungku berdegup kencang. Tubuhku terasa panas dingin. Aku takut nilaiku akan berada di urutan terakhir lagi. Padahal, saya sudah berguru dengan ulet dan melaksanakan perubahan pada cara belajarku. Aku mengorbankan waktu bermalas-malasanku dengan belajar.
            Bu Gita terus membacakan nama-nama siswa, hingga nama siswa yang nilainya berada di urutan kesembilan. Dan kini urutan kesepuluh. Mungkin, urutan nilaiku akan jauh di bawah itu. Aku mulai pesimis.
            “Urutan kesepuluh, Sonia Lazuardi.”
            DEG. Jantungku berdegup semakin kencang. Urutan kesepuluh?? Aku berharap saya tak salah dengar.
            Teman-teman sekelasku lebih terkejut lagi. Sebagian ada yang salut denganku, dan sebagian juga ada yang berprasangka jelek padaku. Mereka mengira nilaiku ini yakni hasil dari perbuatan curang. Padahal, saya sama sekali tak berbuat curang. Aku hanya berguru lebih ulet dari sebelumnya. Aku berusaha keras untuk mendapat apa yang kumau, sebuah keberhasilan.
            “Hebat sekali, Sonia. Pasti nyontek,” sindir Ena.
            “Yah, jika bukan dari hasil menyontek, darimana lagi? Kenapa ia sanggup berubah begitu?” Maya menatap sinis diriku.
            Sindiran mereka kuanggap angin lalu. Hari ini Sabtu dan nanti malam Minggu. Aku tak sabar untuk SMS-an dengan Gama. Kira-kira, nilainya berada di urutan keberapa?
            Selain itu, saya juga menunggu kata-kata motivasi darinya.
---***---
            Eh?? Urutan pertama??
            Dia membalas SMS-ku. Iya, Sonia. Kamu sendiri urutan ke berapa?
            Alhamdulillah, kesepuluh. Aku mengetik dengan cepat. Setelah itu, saya segera mengirimkan SMS itu. Dia membalas dengan cepat.
            Kesepuluh?? Kamu hebat!
            Tanpa sempat saya mengirimkan balasan, ia mengirimkan SMS lagi.
            Aku ada kabar baik dan kabar buruk, Sonia.
---***---
            “Gama! Gamaaa!!!”
            Pagi itu, saya berlari menghampiri Gama yang hendak masuk ke kelasnya. Gama terlihat terkejut melihat sikapku yang tidak biasa. “A..ada apa, Sonia?” tanyanya khawatir.
            “Please, Gama! Jangan pindah sekolah! Kamu satu-satunya temanku di sekolah ini…kumohon jangan pergi..,” mataku berkaca-kaca. Perlahan, air mataku turun membasahi pipi. “Bahkan kau belum kasih tahu kabar baiknya…”
            Gama malah tertawa. “Kabar buruknya, saya pindah sekolah. Kabar baiknya, saya bohong.”
            Aku hanya melongo. A..apa? “Gama!” seruku kesal. Aku pun segera menyeka air mataku.
            “Itu artinya kau masih membutuhkanku…,” ungkapnya ge-er. “Oh ya, ada kabar baik lagi, nih.”
            Dia mengatakan sebuah novel. Di situ, nama penulisnya tertera terang : Gama Bintang Saputra. “Novel perdanaku,” ujarnya. “Impianku hampir terwujud. Mungkin teman-temanku akan bangga.”
            “Teman?” nadaku terdengar sinis. “Mungkin mereka menjauhimu sebab kau terlalu fokus dengan ambisimu sekarang.”
            Kulihat Gama tertunduk pelan. Aku pun memikirkan kata-kataku tadi. “Ah, maaf, Gama. Aku terlalu sinis tadi. Aku agak sensi mendengar kata ‘teman’.”
            “Enggak apa-apa,” ia menatap mataku. “Oh ya, hari ini Sabtu, kan?”
            “Dan nanti malam Minggu…,” sambungku.
            “Kamu akan memberiku motivasi, kan?” Gama tersenyum licik.
            “Eh? Aku?”
            “Kamu bisa, kan? Pokoknya, mulai kini kau yang ngasih saya motivasi!” ia terlihat memaksa. “Hidupkan malam keajaiban itu dengan motivasi darimu!”
            “Ta..tapi…”
            Belum sempat saya melanjutkan kata-kataku, Gama sudah menghilang ke kelasnya. Tiba-tiba, saya menyunggingkan senyum. Baiklah.
---***---
            Aku menuntaskan kalimat motivasiku. Kemudian, saya mengambil handphone dan memotret kalimat yang kutulis tadi. Aku mengirimkan kesudahannya ke Gama.
            Sudah sebulan saya menunggu motivasimu setiap malam Minggu. Tapi, kali ini giliranku. Malam Minggu kali ini milikku. Dan kali ini perihal ambisi (lagi!). Jangan hingga pertemanan kita kali ini dipisahkan oleh sebuah ambisi yang besar. Tetapi, kita sanggup mengakibatkan ambisi itu sebagai media untuk menjadi bijak, di setiap rintangan yang kita hadapi ketika berusaha meraihnya. Api yang berkobar di sekitar lautan luas, menyerupai ambisi yang berkobar di tengah luasnya hati untuk membentuk sebuah pertemanan. Kamu temanku satu-satunya. Dengan malam penuh motivasi itu, malam keajaiban. –Sonia.
TAMAT



Semoga postingan saya kali ini  bermanfaat untuk kalian yang mencari Contoh Cerpen Remaja.Sekian terimakasih .Yang mau copas izin dulu ya lewat komen