Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pembentukan Sapi Indonesian Commercial Cross Mulai Digagas

Direncanakan pengembangan sapi Indonesian Commercial Cross untuk akselarasi produksi daging dan susu nasional. (Sumber: Istimewa)

“Perlunya dibuat bangsa sapi potong dan perah komersial orisinil Indonesia yang memiliki produktivitas mumpuni, namun juga memiliki daya pembiasaan yang tinggi terhadap iklim tropis di Indonesia.”

Keresahan kaum intelektual di perguruan tinggi dan forum penelitian terhadap ketiadaan merk sapi komersial orisinil Indonesia, sedikit mulai menemukan jawaban. Pertemuan ilmiah antara akademisi, peneliti dan praktisi peternakan ruminansia dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digagas Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (Fapet UGM), yang dibuka oleh Prof Dr Ir Ali Agus, selaku Dekan Fapet UGM telah terealisasi dengan baik dan menghasilkan secercah cita-cita untuk masa depan sapi potong dan perah di Indonesia.

Bertempat di Ruang Sidang Besar, Gedung H-1, Fapet UGM Yogyakarta pada Jumat, (21/12), para akademisi dan peneliti dari banyak sekali perguruan tinggi dan forum penelitian, serta praktisi dan pengusaha ternak ruminansia berkumpul, untuk menyamakan persepsi terhadap tujuan, arah dan model kombinasi untuk mendapat bangsa sapi komersial Indonesia (beef dan dairy) yang bisa menjawab kebutuhan daging dan susu di Indonesia.

Peserta akademisi berasal dari Fapet UGM, Unpad Bandung, UNS Surakarta, Unlam Kalimantan Selatan, Udayana Bali dan Kanjuruhan Malang. Sedangkan peneliti yang dihadirkan berasal dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Cibinong, BPTBA LIPI Yogyakarta, dan Loka Penelitian Sapi Potong Grati. Turut hadir pula perwakilan dari Koperasi Susu Warga Mulya Sleman dan PT Widodo Makmur Perkasa Klaten.

FGD diawali dengan pemaparan oleh Prof Dr Ir Sumadi, perihal definisi dan huruf yang dibutuhkan dalam pembentukan sapi Indonesian Beef Commercial Cross (IBCC) dan sapi Indonesian Dairy Commercial Cross (IDCC), serta potensi dan output yang diharapkan.

“Indonesia defisit satu juta ekor sapi potong yang dikala ini diwujudkan dalam bentuk impor sapi sebanyak 700 ribu ekor dan impor daging setara 300 ribu ekor. Sedangkan untuk sapi perah, kita defisit dua juta induk, kalau mengacu pada kebutuhan susu sapi nasional. Kurang lebih 70% kebutuhan susu nasional, kita dapatkan dari impor,” ujarnya.

Oleh alasannya ialah itu, lanjut dia, perlu dibuat bangsa sapi potong dan perah komersial orisinil Indonesia yang memiliki produktivitas mumpuni, namun juga memiliki daya pembiasaan yang tinggi terhadap iklim tropis di Indonesia.

Bentuk Bangsa Sapi IBCC dan IDCC
Pembentukan bangsa sapi IBCC dan IDCC sanggup ditempuh mulai dari nol (bisa mengacu pada pembentukan bangsa Kuda Pacu Indonesia), atau dengan cara pemetaan dari bangsa sapi yang ada dikala ini.

Alternative crossing yang sanggup dilakukan diantaranya dengan memaksimalkan heterosis (prestasi rata-rata anak di atas rata-rata induknya), grading up (mengubah bangsa satu ke bangsa yang lain), ataupun melalui pembentukan bangsa gres (komposit). Pemetaan bangsa sapi yang ada dikala ini, berdasarkan Prof Ir I Gede Suparta Budisatria, sanggup mengacu pada hasil-hasil riset perguruan tinggi dan forum penelitian yang mengarah ke akselerasi produksi daging dan susu nasional. Hasil-hasil riset itu perlu disinkronisasikan, dirakit, sampai didapatkan komposit terbaik yang bisa diambil sebagai solusi untuk hasil yang lebih singkat, mengingat pekerjaan breeding beresiko menghabiskan waktu puluhan tahun sampai dihasilkan generasi sapi yang diharapkan.

Terkait dengan ketersediaan bangsa sapi lokal pure yang siap dijadikan sumber indukan, berdasarkan Prof Dr Ir Sri Bandiati, telah tersedia bangsa sapi Pasundan hasil penelitian di Jawa Barat. Di lain pihak, Dr Syahruddin Said, menambahkan bahwa telah teridentifikasi genetik sebanyak 13 ekor sapi Sumba Ongole (SO) murni hasil kerja sama dengan Puslit Bioteknologi LIPI di sangkar milik PT Karya Anugerah Rumpin (KAR) Bogor. Sapi SO tersebut telah tersertifikasi SNI dan siap dipakai sebagai sumber indukan.

Sementara, dosen jurusan peternakan UNS, Nuzul Widyas, ikut menegaskan perlu juga dipertimbangkan bahwa tidak serta-merta persilangan antara Bos indicus (bangsa sapi tropis) dengan Bos taurus (bangsa sapi subtropis) selalu menghasilkan keuntungan. Sebagai rujukan pada bangsa sapi Belgian blue di Belgia yang merupakan hasil persilangan banyak sekali bangsa sapi sampai didapatkan sapi dengan double muscling, yang ternyata memiliki kekurangan berupa mengecilnya susukan reproduksi akhir pertumbuhan otot yang super, sehingga diharapkan operasi sesar dalam setiap penanganan kelahirannya. Tentu ini menambah biaya dan tenaga.

Saat ini diketahui bahwa sapi-sapi yang dipelihara di Indonesia tidak gampang lagi untuk dideteksi berapa persen darah suatu bangsa ada dalam ternak tersebut. Lemahnya recording system di tingkat peternak menjadi salah satu faktor, di samping sosiokultural sebagian masyarakat yang semakin bahagia kalau ternak mereka semakin berwarna “merah” (darah Bos taurus semakin tinggi), tanpa mereka sadari bahwa akan semakin tinggi pula biaya yang di keluarkan untuk pemenuhan nutrien pakan dan pemeliharaan kalau diinginkan produktivitasnya optimal.

Sementara terkait dengan pembentukan IDCC, Prof Dr Ir Tridjoko Wisnu Murti, menegaskan bahwa akselerasi yang dibutuhkan dikala ini bukan hanya dalam pemenuhan jumlah tonase susu yang dihasilkan, tetapi juga pada kualitas susu itu sendiri.
Saat ini di lapangan, dengan 600 ribu ekor sapi perah yang dimiliki Indonesia, hampir seluruhnya merupakan sapi Friesian Holstein (FH) dan peranakannya (PFH) yang identik dengan warna hitam dan putih. Padahal, lanjut dia, terdapat sapi FH berwarna merah dan putih yang lebih adaptif terhadap kondisi tropis, serta bangsa sapi Jersey yang juga merupakan bangsa sapi perah dengan kemampuan pembiasaan iklim tropis yang lebih baik, sehingga perlunya aliran untuk melaksanakan akselerasi dengan pendekatan breeding yang lebih terkonsep dengan baik.

Hal ini diamini oleh peternak sapi perah yang tergabung dalam Koperasi Susu Warga Mulya Sleman. Jenis sapi yang diinginkan peternak ialah sapi perah yang low cost, yaitu sapi yang dengan postur dan kemampuan produksi yang tidak superior, namun sanggup dikelola sesuai dengan kemampuan peternak.

Sebab yang terjadi selama ini adalah, peternak “dipaksa” memelihara sapi perah FH/PFH dengan tuntutan biaya pakan tinggi, alasannya ialah memang secara genetik sapi tersebut membutuhkan pakan dengan kuantitas dan kualitas tinggi. Ketika hal ini tidak sanggup dipenuhi secara kontinu, maka produksi susu akan turun jauh di bawah performa yang diharapkan, bahkan rentan terjadi metabolic diseases dengan ditemukannya sapi perah produksi tinggi yang ambruk.

Menutupi kekurangan margin perjuangan sapi perah, para peternak menyilangkan induk perah mereka dengan straw sapi potong menyerupai Limousin dan Simmental, yang akan menghasilkan anakan dengan harga jual lebih tinggi. Ini niscaya menimbulkan masalah, baik pada reproduksi maupun untuk replacement stock. Oleh alasannya ialah itu, keluhan peternak ini harus segera dicarikan solusinya. Bisa jadi IDCC sebagai salah satu solusinya.

Dengan adanya bangsa sapi perah yang lebih adaptif terhadap iklim tropis, akan memudahkan peternak dalam mengelola pakan tanpa kekhawatiran menimbulkan kekurangan nutrien, sehingga produksi susu secara optimal sanggup diraih. Satu hal yang pasti, meskipun bukan jumlah produksi susu yang superior, namun biaya yang dikeluarkan masih terjangkau peternak.

Dari kegiatan FGD tersebut, diharapkan menjadi awal inisiasi aliran seluruh stakeholder bidang sapi potong dan perah, untuk turut serta mengatasi permasalahan industri persapian. Pertemuan selanjutnya akan dilakukan pada awal 2019 di Bogor, dengan aktivitas pembentukan konsorsium sapi potong dan perah komersial Indonesia, serta penentuan langkah teknis, sampai diharapkan launching IBCC dan IDCC bisa terwujud pada 2022 mendatang.

Pengembangan bangsa sapi komersial ini membutuhkan santunan dan kerja-keras semua pihak, mulai dari pihak swasta, asosiasi/organisasi, pemerintah sebagai regulator, perguruan tinggi dan forum penelitian. ***


Awistaros Angger Sakti, M.Sc.
Peneliti di BPTBA LIPI Yogyakarta

Sumber http://infovet.blogspot.com/