Buntu Kabobong Gunung Nona Enrekang (Cerita Rakyat Sulsel)
Buntu Kabobong atau Gunung Nona yakni gunung yang terletak di Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang yang mempunyai bentuk unik dan eksotis. Cerita gunung nona ini diawali dari sebuah kerajaan di kabupaten Soppeng yang masyarakatnya makmur dan sejahtera dibawa pimpinan raja yang amat bijak.
Raja ini mempunyai putri tunggal yang anggun jelita. Kehidupan sang raja terbina dengan baik dan populer erat tabiat istiadat di tanah Soppeng. Setelah remaja sang putri akan dinikahkan dengan pangeran dari Tanah Suppa tempatnya di kerajaan Suppa, pangeran ini yakni anak sobat dari raja Soppeng. Ia yakni satu satunya pewarisan tahta kerajaan.
Kedua arang bau tanah mereka setuju untuk menikahkan anak-anaknya apalagi pada dikala itu, hukum yang berlaku untuk ijab kabul yakni hukum orang tua. Rencana ini ternyata tidak di ketahui oleh sang putri raja Soppeng. Kedua orang bau tanah mereka berkeinginan untuk melangsungkan ijab kabul yang lebih cepat.
Rencana ijab kabul ini semakin akrab informasi ijab kabul putra raja Soppeng dengan pangeran raja Suppa telah tersiar di masyarakat. Pesta akan direncanakan akan berlangsung selama tujuh hari tuhuh malam dengan banyak sekali jenis makanan, banyak sekali macam hiburan rakyat. Sementara, perasaan sang putri semakin meronta-ronta.
Satu hari sebelum pesta di langsungkan diadakan malam mapacci untuk sang putri. Setelah proses mappacci pada malam itu seisi istana sangat kelelehan sehingga mereka tertidur lelep. Keadaan ini dimamfaatkan sang putri. Ia tak sanggup menjalankan proses ijab kabul sehingga ia tetapkan untuk pergi dengan dukungan pelayannya, ia melarikan diri melalui jendela sempurna sebelum ayam berkokok. Rencananya ia akan lari kearah utara Soppeng.
Pagi pun tiba, iring-iringan dari kerajaan Suppa. Puluhan kuda, kerbau, dan majemuk lainnya mengiringi Pangeran Raja Suppa menuju Tanah Soppeng.
Berita paginya sang putri meninggalkan istana telah tersebar kemana-mana. Raja Soppeng merasa aib dan harga dirinya terinjak-injak. Apalagi penyebabnya yakni darah dagingnya sendiri. Ia berjanji tidak akan memaafkan anaknya bahkan akan membunuh dikarenakan telah dianggap mencoreng nama kerajaan. Sang raja akibatnya memanggil semua tokoh dukun dan prajurit kerajaan. Mereka ditugaskan untuk mencari sang putri melalui empat penjuru mata angin.
Prajurit yang mencari dari arah utara menemukan sang putri tetapi sang putri tidak sendirian. Ia bersama seorang pria dari Tanah Massendrempulu’ yang berjulukan Tandu Mataranna Endrekang laki barakkanna puang. Lelaki ini menyatakan kepada prajurit bahwa tidak ada yang sanggup menyentuh sang putri jikalau ia masih hidup. Melihat lelaki tubuh yang besar menciptakan prajurit mundur.
Keadaan ini disampaikan kepada sang raja, raja mengutus penghulu bersama prajurit dari Tanah Soppeng. Penghulu di utus sebagai penengah antara prajurit dan lelaki dari Tanah Massendrempulu.
Setelah melalui negosiasi panjang, penghulu berhasil menciptakan kesepakatan. Sang putri akan di bawa ke Soppeng tetapi prajurit berjanji akan mengembalikan putri dalam keadaan bernyawa. Namun dari salah satu prajurit ingkar janji. Ia menembus tubuh putri dari belakang, dikala penghulu dan Tanduk Mataranna berunding. Sekejap, Tandu Mataranna menjadi murka dan membabi buta semua prajurit yang ada di kawasan itu.
Sementara tubuh sang puteri terbagi dua. Bagian pusar hingga kepala jatuh dan terbawa arus sungai mata allo. Konon, arus sungai ini tidak melewati Soppeng alasannya yakni merupakan kawasan kelahiran sang putri. Sedangkan penggalan bawah inilah yang menjadi gunung nona di Anggeraja.
Motos di masyarakat setempat menimbulkan gunung nona dan Gunung Bambapuang sebagai kawasan pertapaan bagi pasangan yang akan menikah. Laki-laki bertapa selama tujuh hari tujuh malam di gunung Bambapuang dan wanita di gunung Nona. Konon, pasangan ini akan memperoleh petunjuk wacana pinangan mereka masing-masing.