Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kisah Debu Dzar Al Ghifari(Motivasi Islam) Bag.1.

l. MENEMPUH PADANG PASIR.


Hari panas bukan main. Panas-padang pasir yang sengangar. Tengah hari, Kabilah Ghifari itu sedang berhenti dan berkemah erat sebuah oase. Onta-onta mereka ditambatkan di pohon korma. Binatang-binatang itu sedang asyik memamah makanan. Mulutnya komat-kamit. Tak jauh dari situ sekawanan kuda sedang merumput. Sementara kawanan domba sedang menyosoh minuman di pinggir oase.

Penghuni kemah sedan g bekerja santai. Hari terlalu panas untuk mengerjakan sesuatu. Anak-anak gadis'dan wanitanya kelihatan sedang merajuk permadani.

Yang pria mengasah pedang. Sesekali diangkatnya dan diusapusapnya untuk mencoba ketajam'annya. Pedang berkilau kena sinar matahari.

Abu Dzar sedang tercenung. Tidak jauh dari tempatnya duduk, isterinya yang sedang merajut pula. Isterinya tak berani bertanya apa menciptakan Abu Dzar merenung. Karenanya ia meneruskan merajut, diam-diam.

Abu Dzar mengangkat mukanya dan berkata, "Salamah ....." "Ya, Kanda. Adakah yang merisaukan hati kanda?" tanya isterinya lemah-lembut.

"Aku ingin ke Mekkah, Dinda".

"Perjalanan sejauh itu?"

"Ya. Aku tak peduli".

"Ada apa, Kanda?"

"Kudengar di sana ada orang berjulukan Muhammad. Ia mengembangkan agama gres ".

"Agama gres bagaimana?" tanya isterinya tak mengerti.

"Agama yang lain dari biasanya. Mereka tidak menyembah dewadewa".

"Apa yang mereka sembah, Kanda?"

"Tuhan".

Isterinya tak lagi bertanya. Ia melihat, keras sekali kemauan suaminya. Rasanya tak mungkin dihalangi. Dan ia tahu Abu Dzar memang seorang yang keras dan punya kepribadian. la selalu hormat pada suaminya.

"Tapi perjalanan ke sana jauh sekali, Kanda. Dan bukankah hidup kita sudah bahagia?" Apalagi yang ingin Kanda cari?"

"Aku ingin mencari masakan bagi jiwa dan rohku", jawab Abu Dzar pasti.

"Di sini kita mendapat semua. Kita

merampok dan menyamun kafilah yang lewat di padang pasir. Dan kita hidup senang. Tak ada yang

kurang pada kita." "Bukan kesenangan lahiriah yang kumaksud,

Dinda" Jawab Abu Dzar.Isterinya tak lagi berani membantah.

"Baiklah," katanya. "Akan kusuruh bujang mempersiapkan kuda dan masakan untuk perjalanan

Kanda." "Aku akan berjalan kaki".

"Berjalan kaki?" tanya isterinya tak percaya.

"Ya," jawab Abu Dzar tanpa keraguan.

"Di tengah padan g pasir yang sengangar ini?"

"Ya. Yang kuperlukan sekantong air dan sedikit masakan untuk bekal perjalanan."

"Jangan Kanda siksa diri Kanda. Gunakanlah kuda" Pinta isterinya.

"Kau tak tahu, Dinda. Aku mesti menyamar. Keberangkatanku tak boleh diketahui siapa saja. Cukup kamu yang tahu."

"Kenapa Kanda?"

"Berbahaya".

"Berbahaya bagaimana?"

"Agama gres itu masih disampaikan dengan sembunyi-sembunyi. Orang-orang Quraisy benci pada mereka. Aku harus tiba dengan menyamar sebagai seorang musyafir".

"Baiklah, Kanda. Kapan kanda berangkat?"

"Nanti tengah malam, saat semua orang Sudah tidur. Aku akan menyelinap rahasia keluar".

Tengah malam saat semua penghuni kemah sedang tidur, keluarlah Abu Dzar secara diam-diam. Tak ada yang tahu, kecuali isterinya.

[a sengaja mengikuti arah angin semoga penjaga yang bertugas di ujung perkampungan tak mencium baunya. la berjalan mengendap-endap tanpa mengakibatkan sedikit bunyi pun. Pengalamannya sebagai penyamun yang trampil di padan g pasir membuatnya gampang saja menghilang di tengah gelap malam.

Setelah jauh dari perkemahan, barulah dipercepatnya langkah. [a harus memburu waktu. Sejauh mungkin perjalanan malam harus sanggup dicapai. Jika hari siang terlalu panas dan meletihkan.

Demikianlah berhari-hari Abu Dzar dalam perjalanan. Siang ia berteduh dan tidur di bawah pohon korma atau dalam gua batu. Malam hari ia berjalan dalam gelap. Tak menjadikan halangan baginya. Ia sudah terbiasa berpedoman pada bintang-bintang sebagai penyuluh. Abu Dzar sudah biasa pengembara. Penyamun itu yang sudah biasa bertualang. Padang pasir yaitu kehidupannya. Ia sudah hafal setiap lembah dan perbukitan pasir.

Namun alasannya perjalanan jauh Abu Dzar mulai lemah. Jalannya sudah tidak tegap lagi. Ia haus dan lapar. Dan sungguh lelah dalam perjalanan yang jauh terus-menerus. la mulai terhuyung-huyung. Hanya sinar matanya masih keras tanda kemauan hati yang tak terpadamkan.

Akhirnya hingga jugalah Abu Dzar ke kota Mekkah. Kota kawasan tujuan perjalanannya. Badannya sungguh amat letih. Tapi ia amat bahagia. Cahaya matanya hidup dan bersinar walau pun kulitnya terbakar hitam oleh teriknya matahari padang pasir. Semua itu tak dirasakannya. Tujuannya telah sampai. Rasa kegembiraannya telah mengalahkan penderitaan dirinya.

Dalam penyamarannya ia berpura-pura sebagai pendatang dari jauh yang akan melaksanakan tawaf keliling berhala-berhala di Ka’bah. Orangorang Quraisy tak mengacuhkannya. Mereka menyangka Abu Dzar seorang musafir yang sesat dalam perjalanan. Seorang pejalan kaki yang memerlukan kawasan istirahat dan menambah sedikit perbekalan.

Abu Dzar membiarkan dirinya dalam persangkaan demikian. Ia harus menjaga keselamatan dirinya. Andai kata orang-orang kafir Mekkah itu mengetahui maksud yang bergotong-royong untuk menemui Nabi Muhammad SAW, pastilah ia akan dicelakakan, disiksa atau dibunuh. Mereka sangat benci pada agama gres yang dibawa Nabi. Mereka menganggap agama gres itu mengganggu kepercayaan mereka kepada kepercayaan nenek moyang selama ini.

Sesungguhnya Abu Dzar tak takut kepada orang-orang Quraisy itu. Ia tak takut dibunuh. Baginya dibunuh atau membunuh sudah menjadi pekerjaan kafilahnya sebagai penyamun di pesawangan padang pasir. Tapi ia perlu menjaga diri semoga sanggup ditemuinya lebih dahulu. Barulah puas hatinya. Sesudah itu apapun yang akan terjadi, terjadilah.

Hatinya telah puas sanggup bertemu dengan Muhammad. Sebuah nama yang telah usang didengarnya, dengan segala sifat-sifatnya yang terpuji..Tanpa cela sedikit juga pun. Abu Dzar yakin sepenuh jiwa dan raganya akan agama yang dibawa Muhammad ini. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri akan menyerahkan hidupnya bagi agama gres itu.

Dengan menyamar sebagai musafir yang bodoh, dimasukinya kedaikedai sahi untuk mendengar-dengar wacana Muhammad. Ia berjalan di tengah keramaian pasar. Atau duduk-duduk di sekitar Ka'bah. Disimaknya secara hati-hati setiap pembicaraan.

Untunglah tak ada yang mempedulikannya. Mereka tak menaruh curiga kepadanya. Apalah artinya seorang musafir dengan pakaian perjalanan yang penuh bubuk itu.

Suatu hari didengarnya orang berbicara pelan-pelan di sebuah lepau sahi.

"Aku dengan pengikut Muhammad itu gres lima orang," kata orang yang pertama.

"Sudah bertambah juga, jika begitu“. Kata orang yang kedua.

"Beberapa bulan yang kemudian gres isterinya saja, Khadijah", kata orang pertama. "Tidak dia saja, Ada lagi. Abu Bakar namanya. Orang kaya itu." "0, Ya?" "Dia orang ketiga." "Ada lagi, si anak kecil ingusan". "Siapa pula?" "Ali bin Abi Thalib". "Puteranya Abu Thalib?" "Siapa pula lagi, jika bukan dia". "Anak sekecil itu?" "Tak apalah, masih junior dia". "Ada lagi kudengar yang lain". "Siapa?" "Usman bin Affan". "Ah, tak perlu kuatir. Penganut ajaran kepercayaan pada agama nenek moyang masih kuat". Abu Dzar mendengar dan menyimak terus sambil akal-akalan minum menikmati hidangannya, tetapi perhatiannya tak lepas sedikit juga pun dari pembicaraan kedua orang di sebelah mejanya itu. "Kau dengar-dengar nggak, di mana kawasan persembunyian Muhammad?" "Aku tak tahu pasti. Habis, ia menyampaikan
agamanya dengan berbisik-bisik".

 "Tapi ada kudengar-dengar di rumah Arkam bin Arkam".

"Mungkinjuga".

ltulah pembicaraan yang didengar Abu Dzar, dan baginya itu sudah cukup. Ia telah tahu di mana Muhammad SAW berada. [a akan ke sana secara diam-diam. Dan dengan rahasia pula ia keluar dari lepau sahi itu.

Hari masih pagi.

Ia menceburkan diri ke tengah pasar. la mampir ke sebuah toko kecil akal-akalan membeli sesuatu. Ketika penjual membungkus barangnya, sambil kemudian Abu Dzar bertanya.

"Tahukah anda rumah Arkam bin Arkam?"

Penjual itu berfikir sebentar. Dan katanya, "Kalau tak salah erat bukit Safa".

"Di mana itu?"

"Anda musafir bukan?"

"Ya".

"Pantas anda tak tahu. Itu erat Ka’bah," kata penjual itu menjelaskan.

"Terima kasih, Pak".

Abu Dzar berlalu. Pemilik toko itu memperhatikannya. Ah, seorang musafir yang kesasar, fikirnya. Kemudian dibenahinya kembali susunan barangnya di atas rak-rak.

Tidaklah sukar bagi Abu Dzar untuk mendapat rumah Arkam bin Arkam. Ada beberapa rumah di sekitar Ka’bah. la merasa tentulah rumah Arkam yang pintunya tertutup itu. Bukankah agama gres itu disampaikan secara sembunyisembunyi?

Abu Dzar bangun di depan pintu. Ia mengetuk. Tak Iama kemudian pintu terbuka.

"Saya ingin ketemu Muhammad, penyiar agama baru." Abu Dzar membuka percakapan.

"Beliau ada di dalam," jawab Arkam bin Arkam. "Silahkan masuk."

Abu Dzar melangkah masuk. la harus merunduk saat me lewati pintu. Badannya tinggi kekar.

Di dapatinya Nabi Muhammad SAW sedang duduk sendirian. "Andakah yang berjulukan Muhammad?" tanya Abu Dzar.

"Ya".

"Selamat pagi kuucapkan, wahai kawanku sebangsa Arab!" Ujar Abu Dzar.

"Alaikum salam, wahai sahabat, "jawab Rasulullah.

Kata Abu Dzar kepada Nabi SAW. "Bacakanlah kepada saya hasil gubahan anda!"

"Ia bukan syair yang sanggup digubah, melainkan ayat-ayat yang mulia. Petunjuk untuk semua umat manusia. Pembawa isu bangga dan pengantar," Sabda Rasulullah.

"Baiklah, bacakanlah jika begitu!" kata‘ ' Abu Dzar pula. _

Maka dibacakan Rasulullah beberapa ayat yang telah diturunkan Allah. Abu Dzar mendengarkan dengan penuh perhatian. Alangkah indahnya susunan kata dan iramanya. Belum pernah ia mendengar kalimat-kalimat seindah itu dalam hidupnya dan dalam perjalanan yang sudah jauh. Syair apa pulakah ini? Ini terang bukan syair!

Begitu Nabi SAW simpulan membaca, Abu
Dzar berseru dengan semangat penuh keyakinan : "Asyhadu alla ilahaIllallah wa asyhadu anna Muhammadan abduhu wa rasuluh."

"Anda kini telah jadi seorang Muslim,“ sabda Nabi.

"Itulah tujuan kedatangan saya dari jauh, Rasulullah", kata Abu Dzar.
“Dari mana asal Anda?" tanya Rasulullah. “Dari Ghifar“, jawab Abu Dzar.

Maka terbukalah senyum lebar dari bibir Rasulullah disertai wajah yang penuh kagum dan takjub. Seorang lelaki dari kabilah Ghifar yang telah berjalan sejauh itu hanya untuk mengaku lslam. Alangkah hebatnya langsung insan yang satu ini.

Kabilah Ghifar yaitu suatu suku pengembara yang populer berpengaruh berjalan jauh. Rintangan panas di siang hari dan hirau taacuh di malam hari tidak merupakan rintangan bagi seorang Ghifar. Dan celaka bagi kabilah lain yang sanggup jatuh ke tangan kabilah penyamun ini. “Saya sengaja datan g dari jauh ke Mekkah ini untuk menemui Anda, ya Rasulullah. Dan untuk memeluk agama yang Anda bawa". Demikian Abu Dzar menceritakan sebagian kisahnya.

Tak putus-putusnya Nabi memandang orang Ghifar ini dengan ta’jub. Lalu sabda beliau, “Sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada siapa yang disukai-Nya.

Benar, Allah menunjukl Siapa yang di” kehendaki-Nya. Abu Dzar salah seorang yang dikehendaki Allah untuk beroleh petunjuk. Orang yang dipilih-Nya untuk memperoleh kebaikan.

Bersambung....