Netoge No Yome Cuilan 1 B. Indonesia
Bab 1 - Shin Kopi Darat: Imagine
Penerjemah :
Editor : Cucundoweh
Setiap sebulan sekali diadakanlah apel untuk seluruh murid di tempatku bersekolah, yakni Sekolah Menengan Atas prefektur Maegasaki.
Sambil menunggu dimulainya program di dalam gedung olahraga, kusapa sahabat yang berbaris di sampingku ini.
"Sekilas info. Diriku alhasil mendapat seorang istri."
"Wah, tahun ini sudah yang keberapa kali, Nishimura?"
Jawab sahabat sekelasku dengan ekspresi jengkel.
Nishimura ialah namaku di duta.
Tidak, maksudku, itu memang namaku, tidak perlu ditambah di duta segala.
Bukankah telah berkembang menjadi kebiasaan kalau menambahkan kata di duta untuk hal-hal berkenaan dengan dunia konkret bagi orang-orang yang sudah terlalu membenamkan diri di internet?
"Dengarkan dulu dan kau akan terkejut. Dia ini yang pertama."
"Sudahlah, bohongmu itu kelihatan jelas. Kamu berganti istri setiap tiga bulan sekali."
Aku berusaha mengatakannya dengan sangat serius, namun sekeras itu disangkal.
Hmm, bagaimana kalau menunggu sebentar sebelum menjawabnya?
Tidak harus blakblakan mirip itu juga, 'kan?
"Memangnya kau tidak punya tanggapan lain? Yah, seperti, Kamu benar-benar sudah menikah?! contohnya."
"Tidak."
"Padahal saya bisa saja terkena serangan jantung kalau kau bilang sudah punya pacar."
"Aku justru bisa lebih kaget lagi kalau dua puluh tahun mendatang kau menghubungiku dan bilang akan menikah."
"Itu tidak bisa kubantah, tapi bukankah ada cara yang lebih baik untuk mengatakannya?!"
Lalu teman-teman sekelas yang lain ikut bergabung mengiringi komentar yang sangat mengerikan tadi.
Salah satu dari mereka mengerutkan keningnya dengan tatapan bingung.
"Memangnya yang dimaksud istri tadi siapa?"
"Istri yang sedang dibahas itu hanyalah sosok aksara yang mereka sukai."
"Ya, ya, itu soal waifu."
"Ih, menjijikan."
"Hentikan! Rasanya sakit sekali dikala kau mengatakannya dengan wajah datar begitu!"
Kupegangi kepalaku dan bertindak berlebihan seolah terkena damage.
Meski begitu, gerakan terluka tadi hanyalah akting. Tidak benar-benar separah itu.
Ini ialah ..., yah, sebuah variasi dari asam garamnya kehidupan.
Rata-rata orang di setiap kelas dalam suatu sekolah niscaya punya yang namanya karakter. Iya, 'kan?
Atlet dari klub olahraga, anak grup musik yang tahu banyak perihal musik, tipe ketua kelas dengan nilai bagus, berandalan yang agak vulgar, semacam itulah.
Tapi nilaiku rata-rata di antara rata-rata, saya kepingan dari Klub Pulang ke Rumah dengan bermain gim daring sebagai hobi. Seorang anak Sekolah Menengan Atas biasa tanpa satu elemen penting pun untuk bersosialisasi dengan riajuu.
Kupikir saya akan berusaha keras dalam membuat aksara untuk bertahan di kelas, dan alhasil—
"Nishimura, kau ini memang otaku, ya ...."
"Terserah. Aku menikmati hidup dengan caraku sendiri."
"Ya, sudah, lain kali perkenalkan saya pada waifu-mu tadi."
"Yang penting dia harus mencari cara dulu untuk keluar dari monitor."
Ya, saya ini otaku yang terbuka.
Biarpun demikian, tidak disangka ini cukup menyenangkan. Otaku ialah aksara vital, jadi saya bergaul di kelas tanpa perlu menahan diri.
Betul, misalnya,
"Oh, iya, Nishimura, kudengar pelawak Jumbo Satou melaksanakan siaran pribadi secara daring. Apa itu benar?"
"Ah, ya, itu benar. Kemarin juga begitu"
"Ah, masa? Acaranya bagus, tidak?"
"Kamu niscaya paham kalau menontonnya sendiri, yang terperinci itu membosankan."
"Benar, 'kan?! Sudah kuduga!"
Kelihatannya untuk topik mirip ini, keberadaanku tidak akan tergantikan.
Khususnya sebagai otaku yang terbuka untuk memenuhi kebutuhan kalau ingin membahas topik itu, bicaralah dengan orang ini.
Individu yang mau mendapatkan pembahasan aneh, seseorang yang sanggup menawarkan rasa nyaman terhadap hal tersebut.
Dalam percakapan perihal siaran pribadi melalui internet, teman-teman sekelasku ikut menambahkan, merasa lega, mungkin lantaran saya bisa begitu saja menjawab, "Aku menontonnya," pada mereka.
"Orang itu hanya bisa mengomentari dirinya sendiri, ya?"
"Betul, betul, tanggapan yang dia berikan selalu sama. Itu jumbo! salah satunya."
"Pasti ada banyak komentar di sana."
"Tapi anehnya, hal tersebut kadang bisa membuat ramai meski yang dia lakukan hanya itu-itu saja."
Dan sahabat sekelasku yang lain pun ikut masuk ke dalam percakapan. Mereka niscaya menyaksikan sendiri siaran langsungnya.
Namun supaya tidak dicap sebagai otaku lantaran ikut membahas hal semacam ini, mereka sengaja mengarahkan pembicaraan melalui diriku.
Lagi pula, selama berbicara denganku sambil menyatakan semua hal yang aneh, mereka akan dimaklumi.
Dengan alasan, mengikuti arah pembicaraanku lantaran saya sendiri tidak punya topik lain untuk dibahas.
"Siapa yang peduli dengan pelawak yang hanya bagus dalam hal menyindir. Ah, saya ingin punya pacar."
"Jangan bahas hal yang sensitif."
"Kalau waifu juga masuk hitungan, saya punya satu."
"Jangan bahas hal yang sensitif, Nishimura"
Tentu saja, topik normal juga ikut bercampur mirip ini.
Tidak perlu menyembunyikan diri dan ada banyak topik dalam subkultur. Bahkan kalau diriku tidak bisa mengikuti pembahasan riajuu, tidak masalah, inilah karakterku.
Secara pribadi, kupikir diriku telah tetapkan tempat yang cukup bagus untukku sendiri.
Satu-satunya kasus adalah— mungkin pandangan gadis-gadis terhadapku.
"Menjijikkan ...."
Dan bunyi itu terdengar dari arah samping belakangku.
"Terus saja mereka membahas hal-hal hina. Otaku memang menjijikkan. Jangan dekat-dekat. Aku serius!"
Aku kemudian menoleh. Itu mereka, para gadis di kelasku — melihatku dengan tatapan dingin.
Peran seorang otaku terbuka diiringi dengan sebutan sporadis menjijikkan dan menjengkelkan yang sudah bisa ditebak. Ini agak menyebalkan, tapi begitulah sikap gadis-gadis SMA.
Gadis itu berjulukan Segawa siapalah kalau saya tidak salah.
"Memangnya ada apa, Segawa? Jangan hantam rata ke semua otaku dan menganggap mereka menjijikkan. Di dunia ini ada juga otaku yang berpengetahuan luas contohnya dalam hal anggur atau bunga. Kamu sudah melecehkan mereka."
Mata Segawa semakin memicing sehabis saya menjawabnya tanpa formalitas.
"Tepatnya, kau yang menjijikkan, Nishimura"
"Itu tidak bisa kubantah, jadi hentikan!"
"Ah, Nishimura, betapa menyedihkan. Kebenarannya sungguh menyakitkan, ya?"
"Kita tahu kalau dia memang menjijikkan, tapi kau tidak perlu sejelas itu menunjukkannya, 'kan?"
"Kalian justru lebih kejam!"
Yah, beginilah adanya, saya tidak akan pernah mendapatkan pacar atau apa pun itu.
Jujur saja, saya sudah menyerah. Yang kubutuhkan hanyalah gim-gimku.
"Tetap saja, andai dia menjaga ucapannya, Segawa bisa terlihat lebih manis."
"Kamu belum dengar, ya? Maeda yang duduk di sampingnya ternyata sudah menyatakan cinta padanya, dan seketika itu pula dihabisi."
"Astaga. Heroik sekali."
"Padahal dia sendiri cukup aneh. Oh, iya, Segawa itu tipemu, 'kan, Nishimura? Lihat, wajahnya lumayan, dia juga mungil, belum lagi dengan gaya rambut twintail-nya."
Bisikan teman-teman sekelas mendorongku untuk mengalihkan pandangan pada gadis tadi.
"Eng, kalau tsundere tidak masalah, tapi dia hanya tsun saja, sih .... Waduh ...."
Tatapanku bertemu dengan sepasang mata yang dipenuhi dengan niat membunuh yang nyata.
"... kau cari mati, ya?"
"Ampun!"
"To-tolong ampuni Nishimura! Satu-satunya kejahatannya ialah rasa cintanya terhadap twintail! "
"Menjijikkan sekali .... bisakah kau jangan menghirup udara yang sama denganku?"
"Aduh, sakitnya!"
Tidak perlu hingga sekejam itu, 'kan?!
Tubuhku kemudian tersentak dan pundakku terdorong oleh seorang gadis dari kelas sebelah.
"Kyaa ...."
"Ah, maaf. Kamu tidak apa-apa?"
"Ah, tidak, saya ...."
Gadis itu mundur seolah takut kemudian bolak-balik menggelengkan kepala. Wajahnya tidak begitu bisa terlihat lantaran dia menunduk dan tertutupi poni yang panjang, tapi tampaknya dia benar-benar takut.
Apakah otaku semenakutkan itu?
Kurasa begitu, maaf lantaran saya berada di dekatmu.
Yah, mirip itulah pandangan mereka di masyarakat umum.
"Apel akan segera dimulai. Semua harap tenang."
Ucap malas seorang guru yang bertugas dari depan kelas. Seorang guru perempuan berumur dua puluhan yang masih lajang. Aku tidak akan berkomentar mengenai kurangnya semangat dia meskipun masih muda, tapi dia — Saitou-sensei — ialah seorang guru Bahasa Jepang yang sangat biasa.
Diiringi dengan jawaban, "Baik," yang terdengar cuek, kelas pun mulai menenang.
{Selamat pagi, teman-teman. Saya Goshouin, ketua OSIS kalian. Sekarang akan kita mulai apel sekolah.}
Suara tenang ketua OSIS bergema dan apel pagi pun dimulai. Sambil fokus menatap sang ketua OSIS yang kabarnya terpilih lantaran kecantikan dan sikap percaya dirinya itu, saya pun sedikit menghela napas.
Sungguh, nasibku tidak pernah baik kalau bekerjasama dengan gadis di kehidupan nyata.
Sungguh, kenyataannya tidak pernah sama sekali.
Namun tetap saja ....
Fakta bahwa saya mempunyai seorang istri itu benar, sungguhan dan nyata.
††† ††† †††
Sambil dengan tenang melihat garis ukuran life point yang melayang di atas nama karakterku — [Rusian] — berkurang, kuoperasikan kibor dengan cukup santai.
Kudengar erangan monster saling bersahut-satuan dari headphone di telingaku.
Karakter yang kukendalikan — [Rusian] — berlari menembus ke dalamnya sebuah dungeon dengan segenap tenaga.
Tidak hanya satu. Ada cukup banyak monster yang mengejar hingga memenuhi layar.
"Aah, sial .... Menjengkelkan sekali."
Salah satu monster berhenti dan meninggalkanku dari jangkauan deteksinya sembari saya terus berlari.
Aku pun berbalik sehabis berputar-putar di sekitar gerombolan musuh, sayangnya proses itu memangkas lebih banyak life point-ku — garisnya berkurang lagi.
Biasanya gaya bermain ini hampir tidak memerlukan banyak usaha dan saya tidak akan pernah berbuat kesalahan di situasi begini.
Namun semenjak awal ini sudah menjadi rentetan kesalahan. Hal yang bagus kalau bisa kembali ke sekutuku dengan life point setidaknya tersisa delapan puluh persen, tapi kini justru sudah lenyap separuh. Aku niscaya kurang berkonsentrasi.
Dan saya tahu penyebabnya.
Itu lantaran percakapan di antara para anggota guild -ku yang membanjiri jendela dialog di kepingan bawah layar.
Semua gara-gara itu. Ini bukan salahku. Bukan saya yang harus disalahkan.
◆ Ako: Lalu saya mengajak Rusian untuk ikut denganku ke tempat kami pertama kali bertemu dan menyatakan perasaanku di sana.
◆ Apricot: Akhirnya. Aku selalu ingin tau kapan hal itu akan terjadi, tapi tidak pernah kusangka kalau yang menyatakannya duluan ialah kamu, Ako.
◆ Schwein: Sampai butuh waktu selama ini, ya? Astaga, dia pengecut sekali, wkwkwk.
◆ Ako: Tapi Rusian sempat menolakku ....
◆ Apricot: Serius? Maksudmu, dia sempat bilang, tidak, padamu, Ako? Apa mentalnya sedang terganggu?
◆ Schwein: Huh, orang sepertiku ini tidak akan pernah berbuat begitu kalau di posisinya, wkwkwk. Kenapa bisa ada orang sebodoh itu, wkwkwk?
◆ Ako: Kesedihan mendalam di luar imajinasi terliarku telah mendera diriku ....
"Orang-orang ini ...."
Mungkin sebaiknya kuhabisi mereka yang berkata seenak jidatnya itu bersama dengan rombongan musuh ini.
Aku kemudian berlari dalam kecepatan penuh diiringi pikiran buruk ke tempat sekutuku. Bukan untuk membunuh monster, melainkan untuk menghentikan dialog tersebut.
◆ Ako: Tapi Rusian kemudian berkata, "Tidak perlu menyia-nyiakan uang untuk hal mirip itu," sewaktu saya bersiap melaksanakan enchant pada sebuah cincin. Dan sehabis mengatakannya, dia pun menawarkan cincin berharga sekitar dua puluh juta yang mempunyai imbas peningkatan di setiap statistik ketahanan.
"Uoowaaaaah, cepaaaaaaat!"
Aku berlari sekuat tenaga mendekati sekutuku sebelum gadis itu mengungkapkan lebih banyak hal lagi.
Karakterku dulunya ialah pengguna pedang besar namun kini kebalikannya, pengguna perisai besar, dan mulai berperan sebagai akseptor serangan musuh.
◆ Rusian: Ayo semuanya, mangsa sudah di depan mata!
Serangan bertubi-tubi mengarah padaku selagi saya bertahan. Life point yang berangsur pulih pun pribadi terkikis, dari yang garis ukurannya berwarna hijau kini menjadi kuning.
◆ Schwein: Si penggerutu itu biarpun terus mengomel tapi masih mau mengurusi semuanya, ya, wkwkwk.
◆ Apricot: Lelaki tsundere memang unik.
◆ Rusian: Jangan mengobrol dikala ada yang membawa rombongan monster pada kalian! Ayo urus mereka, Shiu!
Oi, saya yang babak belur di sini, tahu?! Aku bisa mati, tahu?!
◆ Schwein: Jangan ceramahi aku, dasar suami penggerutu, wkwkwk.
Pesan itu muncul dan rekanku dengan pedang besarnya, Shiu — tepatnya, Schwein — mulai menghujani musuh dengan serangan.
◆ Rusian: Bagaimana dengan semua musuh yang kubawakan padamu ini, kampret?
◆ Schwein: Pikirmu serangga-serangga kecil ini bisa membunuh Schwein yang hebat, hah?
Kenapa dia berlagak sombong begitu, padahal dia sendiri tidak akan bisa bertahan dari separuh rombongan ini.
◆ Ako: Selamat datang, Rusian.
Dan waifu-ku, Ako sang Cleric dengan bahagia hati menyapaku.
Tidak, hei, kau ialah healer. Itu bukanlah profesi yang punya waktu bersantai dan mengetik dialog dikala bertempur.
◆ Rusian: Sudahlah, heal saja! Heal, Ako!
Susah payah saya mengurangi jumlah musuh disertai rasa kesal pada rekan-rekanku yang begitu santai.
Meski begitu, garis ukuran yang melayang di atas karakterku ini terus terkikis dengan cepat.
Penanda bahwa life point kurang dari separuh, warnanya berubah dari kuning menjadi merah.
"Oi, oi, oi, heal, ayo, heal!"
Tanda kritisnya kehidupan muncul pada aksara Rusian yang kukendalikan. Kondisinya sudah di ujung tanduk.
◆ Ako: Maaf, Rusian, akan segera kulakukan. Tunggu sebentar!
"Banyak skill yang bisa kau gunakan ketimbang menghabiskan waktu untuk mengetik obrolan!"
Beberapa detik berlalu selagi saya lanjut menggerutu. Kemudian imbas cahaya hijau berkelap-kelip di layar.
Skill penyembuhan bekerja dengan baik.
—tepat di tengah gerombolan musuh.
◆ Rusian: Kamu ini sedang apa?!
◆ Ako: Ma-maaf, Rusian!
Kalau begitu kendalikan karakternya ketimbang mengetik mirip tadi!
Tepat ketika saya pasrah akan kematian, sebuah gelembung dialog muncul di aksara laki-laki berjubah yang berdiri di belakang Ako.
◆ Apricot: Ha-ha-ha, tidak perlu khawatir. Saksikanlah, kekuatan tongkat yang diperkuat seharga 150 ribu yen ditambah magic booster sekali pakai berharga tiga ratus yen yang gratis satu kalau membeli satu set berisi sepuluh!
◆ Rusian: Kenapa menggunakan item berbayar yang jelas-jelas mengeksplotasi penggunanya?!
Itu sangat boros! Lebih baik hentikan!
Meski pikiran mirip itu terlintas, sihirnya terlanjur diaktifkan tanpa sempat dihentikan.
Sebuah ledakan dengan imbas khusus yang unik dari item berbayar, lebih mengesankan daripada yang biasa, ditambah pula imbas bunyi yang menakjubkan. Jumlah damage yang tidak masuk budi menutupi layar.
◆ Ako: Luar biasa, Master. Monster-monsternya hingga berserakan!
◆ Apricot: Ha-ha-ha, inilah kekuatan dari tongkat legendaris!
Atau kekuatan uang — sebuah legenda memalukan.
Tapi dengan item berbayar yang menambah kekuatan pada tongkat berbayar yang sebelumnya sudah punya daya serang tinggi, meteorit yang menghantam area tadi telah meluluhlantakkan seisi gerombolan monster tersebut.
◆ Apricot: Fu-fu-fu, Dalam game ini tidak ada yang lebih menyenangkan selain menghabisi lawan dalam sekali serang.
◆ Rusian: Wah, kau bisa menghabisi monster-monster di sini dalam sekali serang?
Mengetahui seberapa banyak serangan untuk membunuh musuh — terlepas dari sisi keberuntungan — ialah salah satu faktor dalam memaksimalkan efisiensi perburuan monster, terlebih kalau itu hanya butuh satu serangan.
Tapi hal tersebut bukanlah sesuatu yang harus dikejar dalam sebuah area perburuan di suatu tingkat kesulitan.
Apricot-shi, master dari guild -ku — Alley Cats — ialah pengguna barang berbayar kelas berat, bahkan melebihi orang-orang yang ada di guild kelas berat sekali pun.
Jujur saja, hatiku perih hanya dengan menyaksikannya. Memang bukan uangku yang berkurang, tapi masih terasa sakit seolah saya sendiri yang kehilangan.
◆ Apricot: Tentu saja. Item berbayar tadi bukan hanya untuk dipamerkan. Camkan ini, masing-masing meteorit tadi setara dengan tiga puluh batang umaibou.
◆ Rusian: Tiga puluh batang. Satu batangnya seharga sepuluh yen ....
◆ Schwein: Makara rentetan serangan tadi lebih berharga daripada Rusian? Wkwkwk.
◆ Rusian: Aku tidak semurah itu, tahu?!
Seberkas cahaya hijau menyelimuti karakterku selagi kami berbicara.
Efek sihir penyembuh yang telah lama ditunggu. Garis ukuran life point-ku kembali berwarna hijau.
◆ Ako: Maaf. Barusan jadi tertunda lantaran saya mengobrol.
Karakter perempuan berbusana putih yang menundukkan kepalanya berulang kali itu ialah istriku, Ako.
Syukurlah saya tidak hingga mati. Meski begitu, dia masih belum banyak berkembang. Padahal sudah hampir setahun semenjak dirinya mulai bermain.
◆ Rusian: Yang penting jangan asyik mengobrol sewaktu berburu, ya?
◆ Schwein: Amat sangat disayangkan kalau yang mati ialah diriku, tapi kalau Rusian, siapa yang peduli?
◆ Apricot: Bukankah sebagai suami yang baik, seharusnya kau lebih pemaaf? Lain kali berikanlah dia keleluasaan.
Karakter Ako dengan bahagia menepuk tangannya lantaran kata-kata tak bertanggung jawab dari kedua orang tadi.
◆ Ako: Aku mengerti. Kalau begitu, jangan terlalu serius, Rusian!
◆ Rusian : Jangan dianggap remeh! Heal dengan cekatan!
Waduh, serius, ya ampun.
Ini akan bisa lebih kalem kalau healer-nya agak mumpuni.
◆ Schwein: Hei, Rusian, bukankah ucapanmu tadi sudah kelewatan terhadap istri sendiri?
◆ Apricot: Betul, itu bisa dianggap KDRT.
◆ Rusian: Yang tersiksa itu aku! Lagi pula, KDRT itu hanya bekerjasama dengan dilema rumah tangga di duta saja!
Aku bahkan mulai mengomel sambil marah-marah! Mereka terlalu baik pada gadis itu hanya lantaran kami sudah menikah!
◆ Rusian: Omong-omong, sebentar lagi akan kugiring beberapa musuh kemari. Ako, kau tidak perlu memaksakan diri. Usahakan saja supaya saya tetap hidup.
◆ Ako: Baiiik. Aku akan berusaha semampuku.
Jawab Ako dengan bahagia hati.
Tepat sebelum diriku pergi, sebuah bunyi *pikon♪* terdengar diiringi dengan jendela dialog yang terbuka.
◆ Ako: Terima kasih, Rusian.
Lalu dilanjutkan dengan kalimat lain.
◆ Ako: Aku mencintaimu.
Singkatnya, saya tidak bisa menolak.
Sebenarnya saya tidak sanggup untuk kembali menikah lantaran trauma akhir melamar seorang gadis gadungan, namun dia berusaha keras menepis semua alasanku dan menjadikanku seorang pecundang.
Akhirnya saya punya istri di dalam gim.
††† ††† †††
◆ Rusian: Ah, lelah sekali ....
◆ Apricot: Rusian, apa EXP-mu naik?
◆ Rusian: Yah, kurasa begitu.
Kami bahu-membahu kembali ke kota dan kini berkumpul di sebuah kafe yang sudah kami anggap sebagai tempat rapat.
Mebel dengan kayu ukir berkualitas tinggi dan BGM yang damai. Ini ialah salah satu tempat favoritku yang punya suasana menyenangkan.
Seolah merupakan hal wajar, Ako duduk tepat di samping karakterku — Rusian — yang sebelumnya telah duduk di salah satu dingklik kafe tersebut.
◆ Ako: Kerja bagus. Aku sangat menyesal telah membiarkanmu terbunuh berulang kali, Rusian.
Karakter Ako memperlihatkan gelembung dialog selagi kepalanya mengangguk-angguk.
Yang tertulis pada gelembung tadi ialah kata-kata Ako. Tentu saja, gelembung yang muncul membuat setiap orang melihat kata-kata yang sama.
◆ Apricot: Hari ini memang lebih berbahaya dari biasanya, ya?
◆ Ako: Ya-yah ....
Sebuah imbas bunyi lembut *pikon♪* berdering sehabis mengeluarkan kata-kataku. Jendela gres terbuka di layar game pada dikala bersamaan.
Rupanya dialog modus bisikan dari Ako.
Bisikan, wis, tell, ialah istilah bagi orang-orang terhadap jendela percakapan pribadi antara dua pemain yang tidak bisa dilihat orang lain. Berbeda dengan mengobrol menggunakan gelembung percakapan, di sini tidak perlu cemas orang lain akan mengetahuinya.
Ako sering mengirim pesan dialog bisikan bahkan dikala kami sedang bersama orang lain.
◆ Ako: Yah, saya ingin mengobrol lebih banyak denganmu, Rusian, jadi ....
"Lagi-lagi dia melakukannya ...."
Kawan baikku, Ako, yang sudah kukenal selama hampir setahun dalam gim.
Dia ialah istriku.
Bisa saja kusebutkan kasus apa saja yang muncul atas hal tersebut, hanya saja, dia memang istriku.
Kira-kira sudah setahun semenjak pertemuan pertama kami. Kami berkenalan sewaktu saya menawarkan beberapa saran sederhana kepada Ako yang benar-benar tampak mirip pemula. Yah, hal mirip cara log out dan semacamnya. Pemula yang tidak tahu bagaimana mengakhiri gim bekerjsama cukup umum. Tidak selangka itu.
Namun gadis ini — sang pemula sungguhan — melekat padaku layaknya anak ayam yang menganggap hal pertama yang dilihatnya ialah sosok orang tua.
Tepat sehabis agresi bunuh diri pada Nekohime itu, saya meninggalkan guild lamaku dan bermain sebagai seorang solo player yang merana. Lalu entah bagaimana kini tanpa sadar saya menjadi sosok penjaga Ako. Segalanya menjelma mirip ini.
◆ Rusian: Ako, kita sudah menikah, jadi kau tidak perlu berbisik, 'kan? Kita tidak harus merahasiakannya, katakan saja pribadi di depan umum.
Setelah membalasnya melalui bisikan, saya kemudian mendapatkan jawaban Ako selang beberapa saat.
◆ Ako: Sekarang saya ... berbicara pribadi ... ke dalam ... hatimu ....
◆ Rusian: Oooi, Ako?!
◆ Ako: ... ini tidak sama ... mirip mengobrol dengan ... anggota guild lain .... Perhatikan istrimu .... Istrimu .... Istrimu ....
◆ Rusian: Perhatikan aku!
Yah, dia terbawa pikirannya sendiri. Tapi faktanya, saya tidak pernah bosan dengannya.
Baik ketika dia sedang punya masalah, menemukan sesuatu yang menarik, tertarik akan sesuatu atau punya hal untuk dibicarakan, dia akan menceritakannya kepadaku. Itulah tipe aksara perempuan miliknya.
Bukan perempuan dalam arti harfiah, namun hanya sekadar aksara perempuan.
Aku tidak tahu mirip apa individu yang memainkannya.
Terus terang, saya yakin kalau itu bisa saja seorang lelaki.
Sebaliknya, saya yakin tidak ada gadis sungguhan dalam sebuah gim daring.
Tidak, saya sadar mereka ada di suatu tempat dalam dunia gim daring yang luas ini, tahu? Mungkin saja ada satu di sekitarku. Iya, 'kan? Tentu saja, ada kemungkinan kecil kalau Ako memang seorang gadis. Iya, 'kan? Tapi saya tidak ambil pusing. dalam gim, saya ialah Rusian dan Ako ialah Ako. Bukan seorang perempuan, melainkan aksara perempuan.
Gim dan duta ialah hal berbeda. Sama sekali tidak berhubungan. Itulah sebabnya ada aksara laki-laki dan aksara perempuan di sana, bukanlah laki-laki dan perempuan dalam arti sebenarnya. Begitulah dalam benakku.
Ini yang terbaik untuk kami berdua, sekaligus untuk kesehatan mental kami.
—Lagi pula, tidak mungkin saya akan serius menyatakan perasaanku pada seseorang yang ternyata di dalamnya ialah lelaki.
◆ Schwein: Tetap saja, Rusian, perkembanganmu akan melambat kalau melawan beberapa musuh saja sudah nyaris mati, wkwkwk.
Begitulah, Shiu menyatakannya dengan gembira sekembalinya kami dari menghitung item yang sudah dikumpulkan.
Dia selalu saja menyombongkan dirinya atau semacam itu, walau ternyata dia ialah sosok tekun yang bisa menangani pembagian item sehabis kami selesai berburu. Sisi seriusnya yang sesekali muncul itu kadang menggemaskan.
◆ Rusian: Dasar lisan besar, bagaimana kalau kau gantikan posisiku?
◆ Schwein: Eh, kau serius? Kamu serius bilang begitu? Lihatlah nanti dan pelajari, akan kupancing mereka semua di kesempatan berikutnya.
Ujar Schwein sembari melaksanakan gerakan penuh semangat.
Ako pun dengan antusias bertepuk tangan.
◆ Ako: Sang penahan serangan sudah serius! Sekarang kita bisa menang!
◆ Schwein : Tidak, saya tetap menggunakan pedang.
◆ Rusian : Ako, apa kau serius menyampaikan itu?
Ya. Tidak mungkin ada seorang gadis berkata mirip tadi.
Intinya, gim daring dan kenyataan itu berbeda. Aku tidak begitu ambil pusing.
"Yah, sudah kuperkirakan."
Kuterima kepingan jarahan dari perburuan kali ini sambil menghela napas.
Terus saja mirip ini. LA memang tidak cukup bersahabat bagi para pemula. EXP akan terus berkurang akhir penalti kematian. Kami mengalahkan semua monster hari ini, namun penalti final hayat merampas semua EXP yang kuperoleh. Yang kudapatkan hanyalah uangnya saja.
Bukannya saya terlalu peduli dengan yang diriku dapatkan, lantaran tujuanku ialah bermain dengan semua orang.
◆ Apricot: Astaga, kalian berdua terus saja melekat hari ini.
Master berbicara dengan pandangan yang mengarah ke aksara kami.
◆ Rusian: Menempel? Bukankah biasanya juga begitu?
◆ Apricot: Jika itu sudah biasa, berarti ini semakin menandakan rasa saling mengasihi kalian. Benar, bukan? Sudah hampir setahun semenjak kita semua saling mengenal, tapi kalian berdua selalu seakrab ini. Bisa-bisa jadi sungguhan.
Master mengangguk di layar. Hentikan, ini akan terasa memalukan kalau mulai berbicara soal cinta dalam gim yang mempunyai sistem pernikahan.
◆ Rusian: Ini tidak mirip itu. Aku serius.
◆ Schwein: Kenapa kau jadi malu-malu begitu? Huh, dasar riajuu sialan.
Selesai dengan pembagian emasnya, Schwein mengucapkan itu sambil mengangkat pedangnya.
Dia sedang apa? Entah kenapa sistem ijab kabul dalam gim bisa mendapat perlakuan mirip itu.
◆ Rusian: Kamu ini bicara apa? Yang mirip itu tidak lebih sekadar pencapaian dalam kehidupan gim daring.
◆ Schwein: Benar juga ..., eh, tunggu dulu. Aku nyaris menjadi mirip mereka. Soalnya ada yang menyatakan perasaannya padaku beberapa hari lalu.
◆ Apricot: Oh, terdengar menarik.
◆ Rusian: Serius?! Shiu, jangan-jangan kau memang seorang lelaki tampan?!
Aku jadi iri. Dia memperoleh nasib yang jauh lebih baik daripada diriku.
Sial, lelaki ganteng sebaiknya mati saja—
◆ Ako: Argh, Shiu-chan, sebaiknya kau mati saja.
◆ Rusian: Eh?
◆ Schwein: A-Ako?
Tidak mirip biasanya, Ako yang di sampingku ini tampak emosi.
Bahkan dia melanjutkan perkataannya tanpa menghiraukan kebingungan kami.
◆ Ako: Kenapa semua riajuu sialan itu tidak mati saja? Kenapa mereka masih berada di gim ini kalau sudah mendapat pernyataan cinta? Mereka harus segera enyah dari gim ini. Ada di sekitar mereka saja sudah membuatku depresi. Argh, tidak bisakah orang-orang itu punah saja dari muka bumi? Mereka tidak ada gunanya bagi dunia, fufufufufufufufu.
◆ Rusian: Ako, tenang, tenanglah!
◆ Schwein: Aku tidak mengiyakannya, saya menolaknya! Aku tidak peduli dengan hal-hal berbau romansa!
◆ Ako: Fuhi fuhi fuhihihihi.
◆ Rusian: Sadarlah!
Aku membujuk Ako untuk menenangkan diri.
Ya, benar, istriku terkadang bersikap aneh.
◆ Rusian: Sama sepertimu, saya juga membenci para riajuu, tapi jangan hingga tertuju ke rekan sendiri.
◆ Ako: I-iya, saya minta maaf.
Ako sedikit menundukkan kepalanya.
◆ Schwein: Aku juga begitu, kok, wkwkwk.
◆ Apricot: Aku paham sekali maksudmu.
Kami hingga pada kesepahaman yang luar biasa.
Kenapa kami semua malah bersatu lantaran cemburu terhadap mereka yang riajuu? Arah dan pandangan guild ini sudah menyimpang.
Tapi justru lantaran itu kami bisa akrab. Mereka semua orang yang baik. Mungkin kami hanyalah sebuah guild yang berisi empat anggota, tapi berkat merekalah saya bisa menikmati game ini.
◆ Apricot: Kesimpulannya, di antara kita, Ako dan Rusian-lah yang paling dekat, bukan?
◆ Ako: Tidak mirip itu juga. Pada awalnya itu sangat kacau. Dengarkan saya dulu!
Ako pribadi bereaksi.
Karakternya berbalik menghadapku kemudian mengeluarkan sebuah pesan dialog sambil mendekapkan kedua tangannya di dada, seolah ingin menarik perhatianku.
◆ Ako: Rusian menolak pernyataan cintaku berkali-kali. Sampai-sampai umurku terkikis akhir stres!
◆ Rusian: Tapi alhasil kuterima juga, 'kan?
◆ Ako: Ini perihal proses, bukan tujuannya!
Oh, rupanya istriku pintar bicara.
Tapi saya sudah punya cara sendiri kalau hal tersebut terus dibahas.
◆ Rusian: Baiklah, saya mengerti. Kalau begitu, kita ulangi saja dan mulai kembali ke awal status hubungan kita.
◆ Ako: Aku tidak serius, maaf, jangan ceraikan aku. Kumohon, jangan campakkan aku!
Ako mengalah dalam sekejap.
Meski begitu, saya suka cara dirinya menampakkan kepribadian aslinya.
◆ Schwein: Ya, inilah masalahnya.
Gelembung dialog Shiu muncul seakan ingin melindungi Ako.
◆ Schwein: Rusian, kau bilang kalau kau sempat menolak lamaran Ako? Kamu serius? Aku sadar kalau saya bukanlah orang yang pantas berkata mirip ini, tapi yang masuk akal ialah kau tidak akan bisa mendapatkan gadis ini kecuali penghasilanmu berkisar milyaran. Paham?
◆ Ako: A-aku tidak sehebat itu ....
Ako pun meringkuk di balik gelembung besar lantaran malu.
Kenapa dia malah malu-malu? Lagi pula tidak ada yang memujinya. Justru dia diperlakukan mirip aksara perempuan mata duitan.
◆ Apricot: Aku juga penasaran. Apa yang menghalangimu, Rusian? Bukankah selama ini kalian selalu dekat?
Master ikut bergabung dalam tanya jawab ini.
Jujur saja, saya lebih suka tidak menceritakannya.
Tapi rasanya tidak sopan kalau tidak menjawab dikala ditanya. Aku kemudian mengetik di kiborku.
◆ Rusian: Aku tidak membenci Ako, sistem ijab kabul dalam gim ini maupun hal semacamnya. Maksudku, ini hanya sebuah gim, paham, sebuah gim. Ini bukanlah kehidupan konkret atau semacamnya.
Karena itu saya sempat menolaknya.
Aku tidak membantah kalau saya juga memikirkan Ako yang bekerjsama hanya ingin memperdalam hubungan kami lewat lamaran tersebut, tapi tetap saja, saya jadi ragu kalau itu berkaitan dengan pernikahan. Yah, contohnya yang menyangkut Nekohime-san dikala itu.
◆ Schwein: Apa maksudmu berbeda dari kehidupan nyata? Bukan berarti kau mungkin akan menikah juga di duta, setidaknya kau akan mendapatkan pengalaman itu di sini, Rusian.
◆ Rusian: Bagaimana kalau itu menyangkut batas-batas yang tidak boleh kau langgar?!
Ada hal yang bisa dikatakan, dan ada pula yang tidak!
Aku juga punya sisi sensitif, tahu?!
Dan seakan ingin menahan argumenku, pesan dialog dari Ako muncul di layar.
◆ Ako: Oh, iya, ternyata itu. Aku mendengar ini dari Rusian, dan rupanya dulu dia pernah melamar seorang pria.
◆ Rusian: Ap—
◆ Schwein: Wah, wkwkwk.
◆ Apricot: Yang benar?!
Waduh, Ako?! Kamu sungguh mau menceritakannya?! Semudah itu?!
Kamu akan mengungkap malu suamimu begitu saja, hah?!
◆ Schwein: Tidak kusangka kalau dia homo, wkwkwk. Jangan khawatir, saya tidak akan berpikiran sempit hingga mengucilkanmu lantaran hal tersebut, wkwkwk.
◆ Apricot: Aku pun berpikir demikian. Tidak masalah, Rusian, kau tidak perlu resah. Kita ialah rekan. Ah, tunggu, jaga jarakmu, kalau tidak, akan kukeluarkan kau dari guild.
◆ Rusian: Mana hati nurani kalian?!
Shiu dan Master berbicara dengan penuh tawa hingga memenuhi layar.
Ah, sial, ini menyebalkan. Mereka menerimanya begitu saja hingga membuatku merasa tidak nyaman!
◆ Rusian: Bukan begitu. Hanya saja, yah, beginilah.
◆ Schwein: Begini?
◆ Rusian: Hmm, yah, itu.
◆ Apricot: itu?
◆ Rusian: Itu bukan hal penting.
◆ Schwein: Kami tidak akan tertawa. Ceritakan saja.
◆ Apricot: Semua akan baik-baik saja, tidak perlu cemas. Percayalah pada master guild -mu
◆ Ako: Tidak apa-apa, Rusian, semuanya akan mendengarkan.
Master, Shiu dan Ako, masing-masing mendesakku.
Ah, saya tidak ingin menceritakannya. Aku tidak mau, tapi apa boleh buat. Iya, 'kan?
◆ Rusian : Yah, itu hanya ..., dulu saya memang pernah melamar seorang hode kemudian ditolak mentah-mentah. Begitu ....
◆ Schwein: Wkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwk.
◆ Apricot: Wkwkwk.
◆ Rusian: Sudah kuduga kalian akan tertawa!
Dan saya pun ditertawai hingga membuat diriku cukup tertekan segera sehabis mengetik hal tersebut.
Aaargh, seharusnya saya memang tidak usah menceritakannya!
◆ Schwein: Ini di luar perkiraanku. Perutku benar-benar jadi mulas. Wkwkwk, sulit mengetik sambil tertawa begini, wkwkwk.
◆ Apricot: Ini pertama kalinya saya memuntahkan kopi di duta. Kamu hebat, Rusian. Tidak kusangka kau menyembunyikan sesuatu semenakjubkan ini.
◆ Rusian : Makara kalian anggap ini lucu?!
◆ Schwein: Makara kau benar-benar melamar seorang hode? Ini sudah lebih parah dari segala kekhilafan remaja, tahu?
◆ Apricot: Sebuah kenangan masa muda, ya?
◆ Rusian: Kumohon, lupakan itu!
◆ Schwein: Mana bisa?
◆ Apricot: Aku terlanjur mengambil tangkapan layarnya.
Kalian memang busuk!
Kembalikan perasaan hangat dan nyaman yang kurasakan sewaktu memikirkan kebaikan kalian!
◆ Schwein: Akan kusimpan gambar ini dengan judul [7.13 Insiden Lamaran Rusian Hode].
◆ Rusian: Oi, itu bukan insiden yang terjadi hari ini! Cepat hapus!
Kampret, kenapa malah terdengar mirip saya hode -nya?!
Tetap saja, matinya kebenaran itu terasa menyakitkan.
Seleraku sama normalnya dengan mereka, jadi ketika menyangkut ijab kabul ataupun asmara, penting bagiku kalau pihak lawanku itu berbeda gender. Sulit rasanya membisikkan kata-kata cinta kepada seseorang yang mungkin bekerjsama ialah lelaki.
Tapi tetap saja, saya sepakat untuk menikah dengan Ako berdasarkan obsesiku terhadap anggapan kalau gim dan duta itu berbeda.
Syok yang kualami sehabis serius melamar seorang hode dua tahun kemudian begitu membekas hingga membuatku pribadi meninggalkan guild dan menentukan solo play selama hampir setahun.
Ada satu kebenaran yang memacuku untuk mendapatkan kembali tekad di tengah semua itu.
"Itu ialah ... prinsip siapa yang peduli asalkan dia manis!"
Kukepalkan tinjuku di depan layar.
Seperti itulah agungnya sebuah kebenaran itu.
Bahkan kalau pihak lain ialah lelaki di duta kemudian berakting sebagai perempuan dalam gim, siapa yang peduli asalkan dia manis? Akan kunikmati kemanisannya itu hanya dalam gim. Bahkan kalau itu berasal dari seorang hode.
Ya, saya tidak akan terpedaya. Diriku telah tercerahkan oleh kebenaran ini di dalam gim!
—yah, lantaran alasan itulah saya pun berkompromi dalam hati. Gim dan duta itu berbeda. Sepenuhnya tidak terkait. Itulah prinsipku sekarang.
Tidak adil kalau saya menggunakan logika, Hode, ya? Jelas saya tidak mau menikahimu, iya, 'kan? Ako ialah Ako, jadi meski dia lelaki di duta, kenapa saya harus melihatnya sebagai lelaki?
Pada alhasil saya bisa mengatasi rintangan ini.
Di samping itu,
◆ Ako: Rusian, kau marah, ya? Apa seharusnya saya tidak menceritakan hal ini?
*pikon♪* Obrolan modus bisikan dari Ako pun muncul.
◆ Rusian: Ah, jangan khawatir. Sebenarnya saya sudah siap untuk diolok-olok.
◆ Ako: Terima kasih, Rusian.
Sambil menunggu sebentar sehabis pesan dialog itu terpampang,
◆ Rusian: Aku mencintaimu.
Tepat ketika kata-kata itu ditampilkan, beberapa ikon hati melayang dari Ako.
Maksudku, lihatlah, kemanisannya saja sudah cukup. Iya, 'kan?!
"... te-tenang, tenanglah, diriku. Kamu sudah pernah mengalami ini. Kamu akan menyesalinya kalau terlalu terbawa perasaan ....!"
Tarik napas, hembuskan, tarik lagi, hembuskan.
Tarik napas dalam-dalam kemudian tenangkan diri.
Gadis berambut hitam dengan jubah putih itu sedang duduk di samping karakterku. Ini hanya avatar, tidak lebih dari sebuah bentuk representasi dalam gim. Tidak sehat kalau jantungmu dikala di duta berdetak lebih cepat lantaran hal tersebut.
◆ Apricot: Begitu. Rupanya itu yang membuatmu sempat ragu, ya?
Dengan sikap yang tenang lantaran mungkin sudah puas tertawa, Master menyampaikan itu sambil mengangguk.
Aku tidak begitu ambil pusing. Siapa yang peduli dengan duta? Jujur saja, saya memang tidak terlalu peduli perihal itu.
Maksudku, tentu kurasa akan lebih baik kalau orang yang memainkannya ialah perempuan sungguhan. Kalau memang dia bukanlah lelaki, akan kuanggap Ako ialah seorang gadis yang baik. Kalau memang dia bukanlah lelaki, ini akan menjadi perasaan menyenangkan lantaran ada gadis yang menyukaiku, bahkan kalau itu hanya di dalam gim. Kalau memang dia bukanlah lelaki— tapi niscaya bukan itu. Pikir realistisnya saja. Apa memang ada gadis yang menggunakan, "Fuhihihihi," sebagai tawanya?
Bahkan kalau ada kemungkinan satu banding sejuta bahwa dia ialah perempuan, apa mungkin kami berdua seumuran?
Lalu kubayangkan gadis-gadis di kelasku bermain gim daring .... Ya, itu mustahil.
Ah, dilihat dari sisi mana pun, itu mustahil.
◆ Ako: Tapi saya dianggap sebagai perempuan, 'kan?
Sanggah Ako yang mungkin membaca suasana di sini.
Hei, apa maksudnya dengan dianggap tadi?
◆ Ako: Aku memang seorang Cleric di LA, tapi dalam kehidupan nyata, saya semacam gadis kutu buku.
◆ Schwein: Oi, tunggu. Memberitahukan hal itu di percakapan terbuka bisa melanggar hal paling tabu dalam gim daring.
Tegur Shiu.
Informasi mengenai duta, apalagi mengingat dia seorang perempuan, terperinci akan menjadi salah satu tindakannya yang paling tidak bisa diterima.
◆ Ako: Begitukah?
◆ Rusian: Benar. Sebaiknya jangan kau ulangi lagi.
Aku ikut menasihati Ako yang kini menatap kosong.
Syukurlah kafe tempat kami berada kini bertempat di wilayah sepi meski letaknya ada di kota.
◆ Apricot: Siapa peduli kalau itu tabu? Aku gres saja akan mengungkap kalau diriku ini seorang gadis Sekolah Menengan Atas di duta.
Ujar Master sambil tertawa mendengus.
Gadis Sekolah Menengan Atas di kehidupan nyata— Master ternyata seorang murid SMA.
Pengguna barang berbayar kelas berat yang konyol ini, yang sepenuhnya menggunakan perlengkapan berbayar, yang melaksanakan power up dengan banyak sekali item berbayar selama pertempuran dan si pemboros item pemulih berbayar sewaktu nyaris mati itu ialah seorang gadis SMA?
◆ Rusian: Master, itu tidak mungkin.
Karena sulit memercayai betapa mengerikannya hal itu, saya melontarkan jawaban jujur.
◆ Apricot: Tidak kusangka akan ditanggapi mirip ini, padahal saya telah mengumpulkan keberanian hingga melanggar hal yang tabu. Namun entah kenapa ini terasa bagus.
◆ Schwein: Master, itu mustahil.
◆ Apricot: Kamu juga, Schwein?
◆ Ako: Master, itu sungguh tidak mungkin.
◆ Schwein: Semuanya tidak memercayaimu, tahu?
Pemakaian barang berbayar seekstrim itu tidak mungkin berasal seseorang yang biasa. Gadis Sekolah Menengan Atas macam apa yang dia maksud tadi? Jangan konyol.
Pikirnya seorang perempuan yang bisa seenaknya menghabiskan lebih banyak uang ketimbang lelaki, yang biasanya bisa merogoh uang sebesar itu akan membuat diriku yang murid Sekolah Menengan Atas ini iri?
◆ Apricot: Biarpun begitu, saya mengerti. Aku paham kekhawatiranmu, Rusian.
◆ Rusian: Tidak, saya tidak menyampaikan apa-apa?
◆ Apricot: Ya, ya, saya sadar semua orang akan berpikiran begitu.
Dari tadi tidak ada yang membahas itu.
Sambil dengan santainya mengabaikan pendapatku, Master kemudian melanjutkan,
◆ Apricot: Baiklah! Mari kita adakan!
Kemudian kata-kata berukuran besar muncul di atas kepala Master.
[Kopi darat ke-1 Guild Alley Cats ... Telah Diputuskan ...?]
Dengan ekspresi hampa, kubaca kata-kata tersebut.
Omong-omong, ada kembang api yang meletus berbarengan kemunculannya. Padahal kami sedang di dalam ruangan.
◆ Apricot: Mari tepuk tangan!
◆ Rusian: Master, pesan dialog yang besar dan kembang api tadi itu item berbayar, 'kan?
◆ Apricot: Mari tepuk tangan!
*prok prok prok* Semua orang mulai melakukannya tanpa sadar.
Eh, tunggu, kopi darat?
Kopi darat itu ... maksudnya bertemu kenalan daring secara luring, atau dengan kata lain, bertemu di duta?
Kenapa bisa mengarah ke situ? Apa itu serius?
◆ Apricot: Menurutku kita harus mengadakan program untuk memperingati satu tahun berdirinya guild kita. Bagaimana kalau kita memanfaatkan kesempatan ini dengan mengadakan kopi darat pertama?
◆ Schwein: Yah, walau dimintai tanggapan— tetap saja ini sudah diputuskan. Iya, 'kan?
Master kemudian berbicara sehabis Shiu menyela pesan obrolannya.
◆ Apricot: Begitulah!
◆ Schwein: Wah, apa ini sebuah kediktatoran?!
Master ialah Master, memang mirip itu adanya.
Tetap saja, tetapkan secara sepihak masih bisa dibenarkan, tapi ....
◆ Schwein: Hmm .... Omong-omong, apa semuanya ikut?
Shiu mengatakannya dengan sedikit gusar.
Suasana hatinya tergambar terperinci lewat kata-katanya dalam dialog tadi.
◆ Ako: Kopi darat, maksudmu, bertemu dengan semuanya?
Entah kenapa Ako tampak ragu. Kecurigaanku selama ini terwakili lewat kata-kata barusan. Sosok orisinil di balik sebuah aksara akan terungkap kalau saling berkomunikasi langsung. Iya, 'kan?
Meski begitu, saya sendiri belum cukup siap untuk ini.
Soalnya, yah, saya tidak peduli apa Ako bekerjsama lelaki atau perempuan. Gim dan duta itu berbeda. Bagiku itu sebuah prinsip mutlak. Karena alasan itulah saya menikahinya.
Namun itu tergantung hasrat diriku yang ingin mengetahui kebenarannya atau tidak. Iya, 'kan?
Andai saya harus memastikan bahwa istriku memang seorang hode dan kebenaran di balik itu ialah hal terpenting ..., maka tingkat kesulitannya mungkin terlalu tinggi untuk diriku yang masih remaja ini.
◆ Rusian: Bukankah kita semua tinggal di tempat yang berbeda? Akan sulit kalau mau mengumpulkan orang-orang, 'kan?
Ragu-ragu saya menentangnya dengan kesan pesimis.
Guild ini jarang membahas perihal duta. Sebisa mungkin kami menghindari dilema duta — terutama yang berkaitan dengan jenis kelamin. Aku sendiri hampir tidak pernah menyinggungnya, dan saya juga tidak ingat kalau Ako, Shiu maupun Master berusaha untuk mendekati topik itu.
Akan tetapi, Master berkata,
◆ Apricot: Fufufu, jangan remehkan diriku. Aku sudah memperkirakannya berdasarkan reaksi kalian terkait dengan perubahan cuaca atau topik di televisi lokal. Pertama, kalian semua terperinci berada di wilayah Kantou.
Ucapnya dengan tegas.
Ya, benar, saya memang tinggal di wilayah Kantou.
Benar, dialog kami semua mungkin saling terhubung setiap kali cuaca sedang hujan ataupun ketika terjadi gempa bumi dan semacamnya.
◆ Schwein: Hei, saya tidak akan mau ke tempat semacam Akihabara meski kau paksa.
◆ Rusian: Betul. Sulit kalau kau mengadakan kopi darat di Tokyo.
◆ Apricot: Aku tahu. Ini sesuai perkiraanku kalau kalian semua masih murid sekolah.
Hmm, jadi itu sudah diperkirakan juga, ya? Yah, mungkin saya telah menyebutkan hal-hal mirip waktu login-ku yang tidak teratur lantaran ahad depannya ada ujian dadakan.
◆ Rusian: Tidak kusangka kau begitu memperhatikannya, Master .... Rasanya agak menakutkan.
◆ Apricot: Itu masuk akal bagi seorang master guild. Jangan khawatir, dengan wewenangku sebagai master, kuperintahkan untuk mengadakan pertemuan di stasiun yang paling dekat dengan tempatku.
◆ Ako: Kamu otoriter, Master!
◆ Apricot: Terserah mau bilang apa. Kita akan mengadakannya ahad ini! Datanglah ke Stasiun Maegasaki pada hari itu kalau kalian mau.
"Dekat sekali!"
Tanpa sadar saya mengucapkan itu di depan monitor.
Mengejutkan. Itu juga stasiun yang paling dekat dari rumahku. Aku bisa hingga ke sana dengan bersepeda.
Tapi saya ragu akan ada orang selain Master dan saya yang mau berkumpul di stasiun sesepi itu — yang mungkin terasa lebih tenang. Setidaknya dia bisa saja akan mentraktirku makan.
Kuketik kiborku dengan suasana hati yang entah kenapa mulai terangkat.
Segera sehabis menekan tombol Enter, muncul gelembung di atas aksara Ako, Shiu dan diriku secara bersamaan.
◆ Rusian: Pasti itu dekat rumahmu, Master. Aku bisa ke sana.
◆ Schwein: Aku tidak keberatan. Tapi tetap saja itu tidak pernah berjalan lancar.
◆ Ako : Aku sepakat saja. Tapi apa kau yakin kalau diadakan di tempat itu?
.... eh?
◆ Rusian: Eh?
◆ Schwein: Eh?
◆ Ako: Menyeramkan.
Sekali lagi, tiga pesan dialog kami muncul di waktu bersamaan.
◆ Apricot: Baiklah, semuanya setuju. Senang mendengarnya.
◆ Schwein: Eh, tunggu .... Berarti semuanya di sini tinggal berdekatan?
◆ Schwein: Tidak kusangka ....
Ini bukan lelucon, 'kan?
Aku pribadi terbengong, tampak keheranan.
Serius? Bisa saja kita pernah saling berpapasan di stasiun atau semacamnya?
Internet itu ternyata sempit, ya?
◆ Apricot: Baiklah, lantaran sudah setuju, pastikan kalian datang, ya?!
◆ Ako: Ba-baik. Aku ialah seorang laki-laki yang memegang kata-katanya. Aku akan bertanggung jawab atas apa yang diriku ucapkan!
Kata-kata itu muncul pada gelembung yang terpampang di atas Ako.
◆ Rusian: Eh, yang barusan itu ....
◆ Ako: Tidak, itu hanya kiasan saja!
Aku mendengar sesuatu yang berbahaya. Sesuatu yang benar-benar berbahaya.
Ah, saya jadi tidak mau pergi.
◆ Apricot: Istrimu akan datang, jadi sang suami juga akan ikut, bukan?
◆ Rusian : A-ah ..., baiklah.
Tidak mau. Aku benar-benar tidak mau. Aku amat sangat tidak mau. Tapi itu sudah tidak bisa ditarik lagi. Aku hanya perlu meneguhkan tekadku.
◆ Apricot: Tentu saja saya juga akan datang, jadi jumlahnya sudah tiga orang. Lalu bagaimana denganmu, Schwein?
◆ Schwein: Tidak, saya ..., argh ..., apa itu harus? Apa kita memang harus melakukannya?
◆ Apricot: Kamu tidak usah terlalu merepotkannya, Schwein. Kalau mau, datanglah. Kalaupun tidak mau, kami tidak akan menjelekkanmu. Tapi tidak ada ruginya pula kalau kau ikut, bukan?
◆ Schwein: Eng ..., sial. Baiklah.
Bahu Shiu pribadi terturun sewaktu dirinya mengangguk.
Yah, seharusnya dia baik-baik saja kalau masih punya ketenangan untuk menggerakkan karakternya. Barangkali begitu
◆ Apricot: Dan mempertimbangkan kesibukan kalian sebagai murid sekolah, kita akan berkumpul pukul 12 siang hari Minggu ini. Biar saya yang menentukan tempat mengobrol setelahnya. Fufufu, saya sangat menantikan ini.
◆ Rusian: Oke ....
Kami membalas kata-kata ceria Master tersebut dibarengi perasaan sedih.
Kami akan bertemu?
Kami akan benar-benar bertemu?
Apa saya benar-benar harus bertemu — dengan istriku?
††† ††† †††
Akhir pekan pun tiba.
Hari kopi darat pertama untuk guild Alley Cats.
Aku tidak tahu cara menata rambutku dengan benar layaknya murid Sekolah Menengan Atas yang pintar bergaul dikala berdiri di depan cermin sebelum menuju ke tempat pertemuan.
Entah apa ini lantaran peduli terhadap kesan mereka atau lantaran rasa gugup hingga membuatku tiba lebih awal dari jadwal sehabis beberapa menit bersepeda.
"Baiklah, terserah apa yang akan terjadi nanti. Yang penting ..., saya sudah hingga ke sini."
Lalu kukirim pesan ke semua orang dengan ponsel-ku.
[Aku sudah sampai. Hubungi saya kalau kalian sudah di tempat.]
Setelahnya, kupandangi lingkungan sekelilingku. Ini ialah stasiun kecil, tapi tetap saja, ada beberapa orang yang tampak sedang menunggu layaknya hari Minggu pada umumnya.
Apa laki-laki mencolok di sana? Atau laki-laki dengan jas? Atau mungkin lelaki dengan seorang gadis itu? Atau bisa saja gadis berambut twintail di sana.
Dan jawaban tiba disertai bunyi *pikon♪*.
Sepertinya yang lain sudah dekat. Rupanya mereka juga sudah sampai.
Be-begitu. Makara mereka sudah di sini. Di dekat sini.
Apa pada alhasil kami memang harus bertemu? Rekan-rekan yang bertarung di sisiku selama setahun ini?
Begitu pula istriku.
Bukan, istriku — yang mungkin seorang lelaki.
Tapi, bukankah situasi ini terlalu aneh? Kenapa saya malah takut bertemu istriku — yang mungkin seorang lelaki — untuk pertama kalinya?
Aku ingin menelepon, tapi malah jadi gugup. Ah, yang penting kabari saja yang lainnya.
[Aku menggunakan kemeja putih dengan celana jin, sepatuku cokelat muda. Aku ada di depan stasiun dekat patung .... Selesai]
Aku mengirim pesan itu diiringi detak jantung yang kencang.
Balasan tiba tidak lama setelahnya. Dari ketiga orang pada dikala bersamaan.
Aku gundah menentukan pesan siapa yang harus kulihat terlebih dulu. Akhirnya kuputuskan lebih baik menentukan istriku saja, Ako.
Pesan Ako berbunyi, [Aku mengenakan mantel hitam dengan kemeja putih, rok—]
Terasa sensasi seseorang menepuk punggungku sewaktu saya hendak menggulir layar ponsel untuk membaca kelanjutannya.
Dengan diiringi bunyi lembut,
"Eng ..., Rusian?"
"Eh ..., wuaaah ...."
Suaranya bening bagaikan dering lonceng.
Seorang gadis. Itu bunyi seorang gadis.
E-eeeh, ada gadis di guild -ku?! Siapa?!
Dan yang barusan itu, sial, rasanya benar-benar memalukan dipanggil dengan nama aksara gimku!
Bisa mati saya kalau ada sahabat sekelas yang melihat dan mendengarku dipanggil dengan nama kebarat-baratan tadi!
"I-iya, saya Rusian ...."
Dengan kaku saya berbalik diiringi rasa gelisah.
"Se-selamat siang."
Berdiri di sana, seorang gadis yang memandangku dengan agak ketakutan.
Rambutnya hitam sepanjang bahu, dan meski wajahnya tersembunyi lantaran poninya yang panjang, saya bisa melihat cerminan diriku melalui matanya yang besar dan gemetar lantaran kegelisahan. Dia terlihat lebih cocok membaca buku di suatu perpustakaan daripada bermain gim ataupun pergi keluar di hari libur begini.
Dirinya mengenakan mantel hitam dengan blus putih dipadu rok berwarna putih.
"Eng ..., a-aku Ako"
Ucap gadis itu dengan terbata.
Ako, ah, jadi dia Ako. Aku selalu bertanya apa memang guild kami punya anggota perempuan, namun tidak disangka itu Ako. Sungguh mengejutkan, rupanya ini istriku.
—tunggu, bukan itu!
Ako memang istriku, 'kan?
"Ako? Ako?! Eeeh?!"
Ako? Dia? Perempuan ini?!
Tanpa sadar saya menilik pesan yang tadi.
[Aku mengenakan mantel hitam dengan kemeja putih, rok putih, dan sudah hingga juga.]
O-oh.
Jika tidak ada om-om yang tiba kemari dengan berpakaian mirip waria, maka gadis ini memang Ako.
".... ka-kamu benar-benar Ako?"
"I-iya."
Se-serius? Dia benar-benar seorang gadis di kehidupan nyata?!
Dan, wuaaah, kalau dilihat lebih dekat sekarang, dia punya wajah manis yang tersembunyi dari balik poninya itu. Bagian-bagian pada wajahnya tampak menarik terlepas dari tubuhnya yang ramping. Caranya menatapku dengan sedikit ketakutan, membuatnya terlihat begitu imut mirip hewan kecil yang perlu dilindungi.
Gadis ini, istriku?
Orang yang tertawa bersamaku dikala membahas hal-hal terbelakang dan saling bertukar lawakan konyol di tiap harinya?
Orang yang pergi berburu monster denganku dan terkadang, malah diburu oleh mereka?
Orang yang pernah kumarahi, orang yang juga pernah murka padaku, orang yang kumanjakan, orang yang menangis dikala kuabaikan?
Dan orang yang selalu memberi tahu bahwa dirinya mencintaiku — itu ialah Ako?
Gadis ini?
"Ti-tidak-tidak-tidak, tenang, tenanglah, diriku"
Gumamku belakang layar sembari mengalihkan pandangan menjauhi Ako yang sedang menengadah ke arahku.
Jangan, tetaplah tenang, diriku.
Dia memang istrimu, tapi itu hanya dalam gim, ini hanyalah pertemuan pertama kalian. Benar, dia gadis yang pertama kali kau temui. Sekarang bersikaplah sopan dan berusahalan menanggapinya mirip seorang pria.
"eng, bahagia bertemu denganmu, Ako-san, aku—"
"Jadi ini Rusian .... Rusian-nya hidup!"
Kata-kata gadis itu membenamkan ucapanku.
Hi-hidup?!
"Apa maksudmu hidup?! Terdengarnya mirip saya ini biasanya mati!"
"!"
Gadis itu gemetar lantaran jawaban spontanku.
Ah, saya mengacaukannya — atau begitulah pikirku sejenak sebelum gadis itu menenang.
"Itu, yah, biasanya itu lewat monitor, jadi ... rasanya mirip Rusian setengah beku."
"Kenapa saya malah terdengar mirip sherbet setengah beku?!"
"Aku juga suka es krim yang agak meleleh"
"Kenapa jadi mengarah ke sana? Ah, pusing!"
Kenapa saya malah berdebat dengan gadis yang gres saja kutemui?!
Ah, ini Ako! Tidak ada lagi yang bisa mengabaikan kata-kataku dengan sebegitu luar biasanya!
Mungkin orang lain pun akan percaya. Tubuh Ako mulai lepas dari ketegangan dan mulai tersenyum kecil.
"Wah, ini Rusian! Ini benar-benar Rusian!"
"Tolong jangan sebut nama itu berkali-kali, sungguh, saya mohon padamu."
Bunuh saja diriku, saya tidak tahan dengan rasa malu lantaran nama aksara gim daring-ku berulang kali disebut di depan stasiun ini.
Aku gres saja memikirkannya, namun kalau ada sahabat sekelasku melihat ini—
"Ru-Rusian ...?"
"Iiih?!"
Sebuah bunyi terdengar dari sebelahku. Suara yang cukup dekat di telinga.
Aku menoleh dan melihat seorang gadis berambut twintail dengan ekspresi yang benar-benar tercengang.
"Se-Segawa?"
"Nishimura ..., 'kan?"
Ini sahabat sekelasku, Segawa.
Segawa yang tanpa ragu mengataiku menjijikkan atau menjengkelkan.
Tamat sudah. Kenapa harus dia yang menyaksikan hal ini?
"A-ah ..., aaaah ...."
Suara gila tergagap keluar dari tenggorokanku sewaktu mencoba mencari kata-kata yang tepat.
Wuaaah, saya ketahuan dipanggil dengan nama karakterku di tempat ramai iniii!
Siaaaaaaal!
Te-tenaaang, tenanglah, diriku!
Carilah alasan. Supaya esok hari tetap bisa menjalani kehidupanmu di kelas!
"...?"
"Ah ..., eh?"
Ako yang berdiri di sampingku tiba-tiba melihat ke arah Segawa.
"Kamu kenal dia?"
Tidak mirip sebelumnya, tatapannya kini mirip pelototan yang menyeramkan.
"E-eng, saya kenal, tapi ...."
Segawa kehilangan ketenangan sewaktu pandangannya beralih ke Ako.
Yah, saya paham perasaannya. Dia akan terganggu kalau diajak bicara oleh seorang gadis dalam situasi ini.
Eh, tunggu. Biarpun begitu, ini ialah waktu yang tepat, 'kan?!
"Ti-tidak, tidak, dia hanya sahabat sekelas. Se-sepertinya kau menemukanku di tempat yang memalukan, Segawa. Jangan beri tahu siapa-siapa di kelas, ya? Ha-hahaha"
Aku berbicara seolah membuat dalih terhadap Ako di sisiku.
Beralasan mirip itu, sejujurnya, ini sangat mirip mirip citra seorang lelaki yang bersama pacar manjanya.
Benarkah? Sungguh? Apa saya terlihat mirip itu?
"O-o-o-oh, begitu. Baiklah."
Segawa gelagapan tanpa memperhatikan kegelisahanku dan entah kenapa, dia mengangguk dengan canggung.
"Jadi kau juga punya yang mirip itu, ya? As-astaga, jangan hingga gadis ini tertular minat anehmu, ya, a-ahahahaha."
"Be-benar juga, hahahahaha."
Dia tertawa, tegang layaknya sebuah papan. Aku pun demikian.
Entah kenapa, kami jadi saling tertawa kaku.
"Ya, sudah, saya pergi dulu ...."
"I-iya. Sampai jumpa."
Segawa mundur dengan tersendat-sendat. Hore, kembali juga. Dan tolong lupakan semuanya.
Kupandangi kepergian Segawa yang penuh niat itu hingga seseorang menepuk bahunya dari belakang.
"Eh?"
Segawa berhenti dan menoleh. Jelas dalam penglihatanku, seorang murid Sekolah Menengan Atas yang tidak asing bagiku mengenakan seragam sekolah kami.
"Ah, anu ...."
Kupikir gadis tersebut ialah kenalan Segawa, tapi tampaknya dia juga tampak kebingungan.
Siapa dia? Aku yakin pernah melihatnya di suatu tempat.
Awalnya saya menerka kalau dia sahabat sekelasku, tapi ternyata bukan. Pitanya tidak berwarna merah yang dikhususkan untuk murid kelas satu mirip kami, melainkan berwaena biru untuk murid kelas dua.
".... Ketua OSIS."
Ucap Ako dengan tatapan gelisahnya.
Ah, benar, itu dia. Tentu saja saya pernah melihatnya, dia ialah ketua OSIS. Kami melihatnya dikala apel tempo hari.
"Ya-ya, Ketua. Apa ada masalah?"
Jelas dengan kakunya Segawa bertanya pada senior kami. Ketua OSIS sendiri entah kenapa menampakkan seringai yang aneh.
"Salah, bukan itu."
Dia gelengkan kepalanya dengan pelan.
Sambil mencengkeram pundak Segawa kemudian mendorongnya ke arah kami, dengan tegas dia berbicara.
"Kini saya bukan ketua OSIS. Aku seorang master guild. Hmm, tampaknya semua sudah berkumpul."
"Hah?"
"A-apa?"
"Eh ...."
Sambil memandang kami bertiga yang memiringkan kepala, sang ketua OSIS pun tersenyum.
"Kurasa ini kali pertama kita bertemu langsung, bukan? Aku ialah master guild Alley cats, Apricot."
Ti-tidak mungkin.
Rasanya seolah bunyi hati setiap orang di sini selaras dengan kata-kata tersebut.
"Jadi yang di sana itu Rusian dan yang melekat padanya itu Ako, ya?"
"Ah, iya."
"Master, selamat siang."
Aku hanya bisa mengangguk hampa sementara Ako menyapanya dengan nada yang lebih hangat.
Kurasakan adanya nuansa perselisihan dikala melihat kedua orang ini.
"Eh, tunggu, Ketua, katamu tadi semua orang sudah berkumpul ...?"
Itu berdasarkan dari apa yang kulihat.
Dengan pundak dicengkeram ketua OSIS — Master, Segawa terdiam dan tampak memucat sewaktu saya menatapnya.
"Eh, kau ... Shiu?"
Tanyaku sembari tercengang.
"Ah, rupanya kau Shiu-chan?"
Ujar Ako lega.
"Apa, jadi kau belum memberi tahu mereka, Schwein?"
Ucap Master sambil terkekeh.
"Ja-jangan panggil saya dengan nama itu!"
Dan Segawa — Schwein — menutupi kepalanya sambil meringkuk.
"Tidak mungkin ...."
"Harusnya saya yang bilang begitu!"
Mengabaikan Segawa yang memelototiku dalam keputusasaan, Master berbicara dengan nada biasa yang dipenuhi keyakinan.
"Sekarang, mari kita mulai kopi darat bersejarah guild Alley Cats yang pertama."
††† ††† †††
Dipandu oleh Master, kami pun memasuki sebuah ruangan pribadi yang rupanya telah dia pesan di sebuah restoran.
Restoran ini tampak glamor dari luar. Jelas memperlihatkan bahwa tempat ini tidaklah murah, dan kepingan dalamnya juga ikut mewakili hal tersebut selaras dengan desain yang mencerminkan kenyamanan dan selera tinggi pemiliknya. Entah kenapa saya menjadi gugup, semoga saja uangku cukup.
Tapi itu kasus lain. Ada sesuatu yang lebih penting.
Mula-mula, ini seharusnya menjadi kopi darat yang menjijikkan antara empat orang lelaki — dan kenyataan yang ada di hadapanku kini ialah tiga orang gadis. Masing-masing dari mereka tampak manis, bahkan bisa dibilang cantik. Jika orang luar melihat hal ini, mereka mungkin saja akan merasa iri.
Jika diminta pendapat, jujur saja, ini canggung. Amat sangat canggung.
Pertama, ada Segawa yang duduk menyilang di hadapanku pada sisi seberang meja. Dan dia benar-benar memelototiku. Segawa yang biasanya menyebutku otaku ataupun menjijikkan. Aku yakin suasana hatinya sedang tidak baik sama halnya denganku.
Selanjutnya, ada ketua OSIS yang gres saja memesan dengan tata kramanya yang khas. Kami terbiasa menengadah dikala melihat dia sedang berdiri di atas podium termasuk dari sudut yang sekarang. Kesan tenang dan teratur itu tercermin dari gaya bicaranya, seseorang berkepala dingin, si bagus yang keren. Aku sulit untuk tenang dikala dia berada di dekatku.
Dan yang terpenting, ada seorang gadis yang duduk di sampingku, berpegangan erat mirip halnya dalam game — Ako.
"...."
"...?"
Perlahan kulepaskan sedikit gandengannya itu dari tubuhku kemudian memisahkan diri, dan dia memperpendek jarakku dengannya seolah itu sudah biasa.
Dia membalas dengan senyum ceria ke arahku dikala saya meliriknya.
Ah, ini Ako. Kumpulan kasih sayang yang tidak terkendali ini ialah Ako.
Ini Ako, tapi .... Aku tahu, ini Ako, tapi ....
Ini aneh. Maksudku, ini memang aneh, 'kan?
Soalnya, Ako ini manis. Dia memang Ako, tapi manis.
Rambutnya yang halus dan posturnya yang mungil. Sosok rampingnya itu membuat dia tampak cocok sebagai pengunjung tetap suatu perpustakaan, tapi ketika melihat senyum yang dia tujukan padaku itu, rasanya tampak menggemaskan.
Aku merasa pernah melihatnya di suatu tempat, tapi tidak ingat di mana persisnya. Aku ragu bisa semudah itu melupakan gadis semanis ini.
"Hei, hei, Rusian"
Aku terus memandanginya, dan entah kenapa Ako menoleh padaku dengan gembira kemudian mendekatkan tangannya ke arahku.
"A-ada apa?"
"Eng ...."
Tangan itu memegangku, menyentuh bahuku, dadaku, pipiku ..., tung-tunggu, sedang apa dia?
"Wah, Rusian, kau benar-benar hidup, ya?"
"Maksudnya apa?!"
Dan itulah kata-kata yang alhasil dia ucapkan.
Memangnya mirip apa saya ini di pikirannya?
"Jangan berkata seolah hal gila kalau saya ini hidup."
Sambil menahan kepala Ako yang mulai mendekat, saya pun mendorongnya ke belakang.
"Kyaaa—"
Ako terdorong berbarengan rengekan itu.
Ah, gawat, sikapku tadi terlalu akrab. Aku memperlakukannya demikian lantaran Ako menjadi Ako yang biasa kukenal, padahal ini pertama kalinya kami bertemu. Dia terperinci akan menolak untuk disentuh.
"Ma-maaf, kau tidak apa-apa?"
Apalagi sikapnya yang terlihat mirip tipe anak pendiam, tindakan tadi niscaya sudah di luar batas. Bukankah itu bisa membuat dia membenciku sekarang?
Ako mengabaikan kecemasanku tersebut.
"Hehehe .... Kamu memang Rusian."
Dan entah kenapa dia tersenyum senang.
Ini ialah kebiasaanku yang sama mirip dalam gim. Tidak peduli berapa kali saya memperlakukannya dengan buruk, dia akan terkekeh dan mendekat untuk dimanjakan layaknya kucing yang terlampau jinak. Namun kini dia ada di sini dalam tubuh aslinya, bukan sebagai avatar sebuah gim.
Meski Ako bertingkah mirip di dalam gim, reaksiku sama sekali berbeda dari biasanya. Jantungku mulai berdetak lebih cepat dan— tunggu, tidak, tidak, tidak. Bermesraan dengan seorang gadis yang gres saja ditemui seolah itu hal wajar, saya ini sedang apa?
Aku sungguh merasa bersalah, seolah telah memanfaatkan hubungan kami di dalam gim.
"Kenapa kau menolaknya dengan rasa bahagia begitu? Seharusnya kau itu diasingkan di sini."
Ucap Segawa dengan bunyi jengkel selagi mendesah.
Apa dia harus berkata mirip itu? Aku sadar kalau diriku ini aneh.
"Hei."
"A-apa?"
Meski Segawa meringkuk sesaat, mirip takut dengan tatapanku, dia tetap melihatku tanpa mengalihkan pandangannya.
Dia memang menyebalkan. Mengatai orang sebagai otaku dan semacamnya, tapi dia sendiri seorang penggila gim daring — meski sementara ini saya tidak akan mengungkapnya. Apa susahnya bersikap sedikit lebih lembut?
"... ada apa?"
Tanya Segawa tanpa menghiraukan pandangan Ako yang tertuju pada dialog kami.
"Tidak apa-apa ...."
Dengan bunyi pelan.
"Minumannya sudah datang. Pertama-tama .... Ya, mari kita mulai dengan perkenalan diri."
Setelah sebelumnya terlibat percakapan dengan pegawai restoran, ketua OSIS membagikan gelas kepada kami selagi dia berbicara.
Dengan pandangan tertuju ke segelas jus di depanku ini, saya menghela napas.
Perkenalan diri, ya?
Terdengar konyol mengingat hubungan kami selama setahun berjalan, tapi tetap saja ini ialah pertemuan pertama kami.
Master meletakkan gelasnya disertai dentingan kecil, kemudian berdiri dari kursinya dalam gerakan lembut dan bertata krama.
"Aku ialah master guild Alley Cats, Apricot. Profesiku ialah adalah Law Wizard dan saya yakin kalian sudah tahu betapa percaya dirinya saya terhadap kekuatan seranganku. Namaku Goshouin Kyou, murid kelas dua Sekolah Menengan Atas Maegasaki sekaligus merangkap sebagai ketua OSIS. Hari ini saya tiba pribadi dari sekolah, jadi maaf soal seragamku."
Sebuah nada penuh kepercayaan diri. Kepribadian orang ini tidak berubah, ya?
"Hari ini akan menjadi pertama kalinya kita bertemu langsung. Namun di sisi lain, kita ialah rekan dekat. Kenapa tidak kita nikmati saja hubungan menyenangkan sekaligus rumit ini dengan sebaik-baiknya?"
Dengan pidato yang akan cocok kalau dipaparkan di atas panggung itu, ketua sedikit membungkuk sebelum duduk di kursinya.
Tepuk tangan yang ringan berbunyi.
"Baik, selanjutnya."
Shiu mengalihkan pandangan dikala melihat tatapan Master mengarah padanya. Mata itu kemudian berpaling padaku— waduh, seram, dia benar-benar melotot. Ini bukan berarti saya punya salah atau semacam itu.
"Silakan, Schwein, kini giliranmu."
"Huh ...."
Segawa terhuyung-huyung. Kesan bahwa dirinya malu lantaran dipanggil Schwein telah melampaui batas yang bisa ditahannya.
"Aku .... Aku Segawa Akane, Sekolah Menengan Atas Maegasaki, kelas satu."
Ucapnya dengan bunyi pelan yang tidak mirip biasanya. Apa ... dia gugup?
"Dan, eng ...."
Gumaman itu tidak mirip dirinya.
Ekspresi yang muncul memperlihatkan betapa merah wajahnya.
Saat melihat ke arahnya, saya sadar bahwa dia ialah tipe gadis yang dikagumi oleh para otaku. Rambut cokelatnya sepanjang bahu, posturnya mungil, baik dari tinggi tubuh ataupun yang lain, ditambah, penampilannya yang manis.
Tentu akan sulit untuk menyampaikan gim daring sebagai hobi selagi berpenampilan demikian, namun tetap saja, keluhan brutalnya perihal para otaku yang menjijikkan ialah kasus lain.
Entah mirip apa caranya meredam ketegangan Segawa, tapi,
"Ya, saya mengerti perasaanmu, Schwein, masuk akal kalau merasa malu dipanggil Schwein di hadapan orang lain."
"Eng ..., eng, Master?"
Master mendadak bicara sambil mengangguk seolah berempati dengannya.
Dia kemudian melanjutkan dengan emosi yang dalam.
"Lagi pula, Schwein ialah bahasa Jerman untuk babi. Halo, namaku Babi, salam kenal, niscaya memalukan bagi seorang gadis untuk menyampaikan hal semacam itu."
"Be— eh, apa?"
Segawa — Schwein — si babi tercengang dengan lisan ternganga.
Setelah jeda beberapa detik, wajahnya memerah sembari dia bertanya kepada Master.
"Apa, eh, tidak mungkin. Itu serius? Babi? Schwein?"
"Begitulah .... Apa jangan-jangan kau menggunakan nama itu tanpa tahu artinya?"
"Tentu saja saya tidak tahu! Siapa pula yang mau menamai dirinya mirip itu?! Bukankah sudah terperinci saya menggunakannya lantaran terdengar keren?!"
"Shiu-chan .... Aku turut berduka cita ...."
Dia mungkin sudah tahu, tapi Ako menundukkan pandangannya dengan ekspresi sedih.
"Tunggu, Master, kenapa kau tidak memberitahuku?!"
Tampaknya ini benar-benar di luar dugaannya hingga Segawa alhasil memanggil Master dengan cara yang biasanya.
Ah, kelihatannya energi gadis itu telah kembali.
"Aku sempat memikirkannya, namun kucoba menahan diri mengingat kalau mengungkapnya akan sangat memalukan lantaran kau menentukan nama itu mungkin tanpa mencari artinya terlebih dahulu. Yah, bahkan di luar ekspektasiku kalau itu akan terungkap di tempat mirip ini ...."
"Waah, sudah, hentikan!"
Segawa mengayunkan tangannya dengan gelagapan.
Master pun tersenyum bahagia sembari mengabaikannya.
"Ayo, Schwein, haha, segera lanjutkan perkenalanmu."
"Jangan selantang itu ucapkan, Haha, yang seharusnya berada dalam tanda kurung! Apa kau selalu mirip itu membacanya kalau di depan monitor?!"
"Shiu-chan, kau tidak perlu merendah begitu. Tidak ada yang keberatan dengan sikap normalmu. Makara kenapa tidak kau katakan, Akulah Schwein yang hebat!, mirip biasanya?"
"Jangan bilang keras-keraaaaas!"
Segawa hancur, dihabisi oleh komentar Ako.
A-apa dia baik-baik saja? Yang barusan itu terlalu berlebihan.
"Ku ku ku .... Jangan pribadi berkecil hati, Schwein. Inilah saat-saat di mana biasanya semua wkwkwk mulai berterbangan."
"Kalau dipikir lagi, bagaimana orang-orang biasanya mengeja wkwkwk?"
Apa dia sungguh membahas soal wkwkwk itu?
Betul. Tidak ada yang benar-benar membacanya ataupun tahu mirip apa mengeja goresan pena itu meski sudah sering digunakan.
"Itu akronim dari wedang jahe kalengan."
Jawab Master seolah dirinya tahu segala hal. Tidak, itu sudah terperinci salah.
"Bukan itu artinya, 'kan? Bukankah itu memperlihatkan kesan sedang tertawa terbahak?"
"Wah, Rusian memang hebat."
Ako bertepuk tangan.
Harus mirip apa sikapku terhadap kebanggaan itu? Lagi pula, apa ada jawaban yang benar?
"Duh, ya ampun, kenapa kalian semua mengabaikanku?!"
Dibarengi menggebrak meja, Schwein kemudian menarik napas dalam-dalam.
"Fiuh ..., hah ..., aah, saya Schwein. Aku bermain sebagai Sword Dancer di LA. Jika mulai ada yang memanggilku babi, akan kutebas menjadi dua. Terlebih, kalian menambahkan wk lagi pada wkwkwk hingga jadi lebih panjang, tapi justru tidak bisa diartikan secara harfiah. Aku tidak akan membenarkan hal lain. Itu saja!"
Segawa menyampaikan semua yang perlu dia katakan, kemudian duduk.
Entah kenapa tepuk tangan yang lebih ceria tertuju kepada dirinya. Mungkin lantaran sudah nrimo merelakan insiden ini, ekspresinya menjadi lebih tenang meski masih terlihat masam.
"Satu hal lagi, saya sendiri membacanya wuakaka."
"Tidak ada yang bertanya soal itu"
"Oh, maaf kalau begitu."
Senyuman yang sempat sekilas ditujukan pada Segawa tadi terasa lembut.
Apa dia sengaja melakukannya supaya gadis itu kembali bersikap mirip biasanya? Jika memang mirip itu, hebat, master guild kami memang bisa diandalkan.
"Baik, berikutnya, Rusian."
"Siap."
Setelah dipersilakan, saya pribadi berdiri.
Dan Ako yang melekat di lenganku, mengikutinya.
"Eng ..., Ako."
"Iya?"
Ako menatapku seolah tidak ada yang aneh.
Dia menggemaskan bagaikan kucing yang terlampau jinak, tapi kami tidak boleh begini.
"Aku sedang memperkenalkan diri, jadi duduklah"
"Baiiik."
Seperti biasanya, dia masih bisa dibujuk dengan alasan. Ako dengan patuh duduk.
"Kenapa kalian malah bermesraan?"
"Tidak, itu bukan keinginanku."
Tunggu, bukan waktunya mencari-cari alasan.
Aku menarik napas dalam-dalam dan menatap masing-masing dari mereka.
"Aku Rusi ..., Rusian. Di LA, aku, eng ..., eng ..., saya bermain sebagai Armor Knight .... Fiuh, memperkenalkan diri dengan nama aksara gim itu terasa memalukan."
Bukannya saya menyampaikan sesuatu yang penting, tapi rasa malu membuat kata-kataku tersedak.
"Kamu ini bicara apa? Keberadaanmu itu sendiri memang sudah memalukan, tahu?"
"Berisik."
Segawa menyela. Seperti biasanya— tidak, gres beberapa dikala tadi, kata-kata itu bisa membuatku kesal.
Aku heran kenapa diriku tidak sedikitpun merasa ingin membalasnya sekarang. Hanya ada rasa nyaman yang biasanya tiba dikala saya berdebat dengan Shiu di dalam gim.
"Pertama-tama, hal perihal babi tadi lebih memalukan— maaf, saya tidak akan mengungkitnya lagi. Eng ..., saya bersekolah di Sekolah Menengan Atas yang sama dengan ketua— eh, maaf, Master. Haruskah saya bersikap formal sesuai posisi kita ...? Baiklah. Eng ..., saya masih kelas satu. Namaku Nishimura Hideki. Ikut bergabung dalam Klub Pulang ke Rumah dan tidak punya talenta khusus untuk dipertunjukkan. Hobiku, yah ..., gim daring. Salam kenal, semuanya."
Terdengar tepuk tangan yang ringan.
Bagaimana menjelaskannya, ya ..., ini mirip itu, paham, tidak? Setahun kami bersama bukan sekadar isapan jempol. Entah kenapa saya bisa tahu yang Master dan Segawa ingin katakan hanya lewat tatapan mereka sewaktu perkenalanku tadi.
"Lalu, yang terakhir, Ako."
"Iyaaa"
Ako berdiri berbarengan ucapan, "Yak," yang pelan.
Karena dia berdiri tepat di sampingku, kaki rampingnya yang tertutupi rok itu terpampang di depan wajahku.
Entah kenapa jantungku mulai berdetak lebih cepat, berbeda sewaktu perkenalan diri tadi.
Selanjutnya, aroma harum nan manis yang menyerbak mengguncang pikiranku.
Ini bukan waktunya mempersoalkan itu, tapi nyatanya dia ialah seorang gadis. Iya, 'kan?
"Eng ..., saya Ako. Seorang Cleric di LA. Aku tidak pintar memainkan gim dan selalu menjadikan kasus bagi orang lain .... Aku sangat menyesal."
"Tidak apa-apa, tidak masalah," kata Shiu.
Yah, tentu saja praktis mengatakannya, lantaran hidupnya jarang mendapat ancaman gara-gara kemampuan gadis itu!
"Aku bersekolah di Sekolah Menengan Atas Maegasaki mirip yang lainnya, saya anak kelas satu."
"Eh, jadi kita satu angkatan?"
"Ya, kita satu angkatan."
Dan ternyata kita semua satu sekolah? Internet itu memang terlalu sempit, ya?
"Maaf, saya tidak tahu. Walau seangkatan, tapi saya tidak kenal gadis dari kelas lain."
"Hehehe, saya juga."
Baiklah. Baru beberapa bulan semenjak penerimaan murid baru, saya tidak mempunyai kenalan dari kelas lain lantaran tidak bergabung pada klub mana pun. Ako terlihat mirip tipe penyendiri, jadi dia mungkin bukan jenis orang yang bisa praktis akrab.
Ako melanjutkan tanpa terlalu memerhatikan hal tersebut.
"Nama lengkapku Tamaki Ako. Panggil saja saya Ako mirip biasanya."
"Eh, jadi itu nama aslimu?"
"Iya .... apa ada yang aneh?"
Jelas aneh, lah.
"Bukan begitu, ini semua soal penulisan di media digital, jadi yang mirip itu .... yah, terserahlah, bukan masalah."
"Hahaha, itu memang terasa mirip Ako."
Segawa memperlihatkan wajah cemberut seakan merasa bahwa metode penamaan Ako terperinci merupakan pandangan gres buruk selagi Master tertawa dengan nada santai.
Hal tersebut terjadi dalam suasana hangat dan lembut.
"Aku tidak bergabung dalam klub mana pun. Aku juga tidak punya sahabat di sekolah."
"?!"
Semuanya menegang seakan dunia membeku.
E-eng ..., Ako? Apa kau bilang tadi?
"Aku jarang keluar rumah, jadi setiap kali berangkat sekolah, semua orang jadi khawatir terhadapku."
"O-oh ...."
Bahkan Segawa pun tampak tidak bisa membalas ucapan gadis itu.
Aku memandang ke arah Segawa dan Master dengan impian supaya bisa mendapat saran mengenai yang harus kulakukan, tapi wajah mereka benar-benar terkejut sehabis Ako mengungkapkan hal semenyedihkan itu sambil tersenyum. Apa bekerjsama motivasi dia menceritakan hal itu barusan?
"Ja-jangan khawatir! Meski saya ketua OSIS, tapi saya juga tidak punya teman!"
Itukah cara dia berempati atas hal tersebut?
Entah angin apa yang membuat dia menentukan kata-kata itu, tapi Master mengucapkannya sambil mengangguk tegas.
Tidak, tidak, kami tidak menginginkan pembahasan yang semenyedihkan ini sekarang!
"A-Ako, bukankah kami ini temanmu?"
Segawa kemudian ikut mengiyakan dengan ekspresi datar sehabis perkembangan situasi yang kacau.
"Betul! Kini kau punya lebih banyak teman!"
"Semangat, Ako-chan!"
"Sudahlah, hentikan!"
Ako terkikik melihat kelakuan dan ucapan konyol kami.
"Ya, itu sebabnya .... saya sungguh bahagia mempunyai sahabat mengobrol mirip ini"
Kata-kata itu terdengar sedikit bergetar.
Aku juga bisa mencicipi kaki dan pundak Ako agak gemetaran sewaktu di sebelahnya.
Kopi darat ini membuatnya gugup .... dia sempat mengatakannya sewatu di LA, 'kan?
"Semuanya, mohon bantuannya dari sekarang."
Ako kembali duduk dengan diiringi tepuk tangan.
Pemandangan para anggota serikat yang saling bersahutan berbicara terwakili oleh Ako, Segawa dan ketua OSIS ini tampak terperinci di hadapanku.
Dan akhirnya, kopi darat kami pun dimulai.
††† ††† †††
"Yang kumaksud ialah menghabiskan uang untuk memperkuat zirahku itu sama saja dengan ikut melemahkan diriku."
Ujar Shiu dengan gembira sambil mengaduk cangkir kopinya dengan sendok.
"Maksudku, bukankah sudah terperinci lebih efektif menggunakan dana tersebut untuk memperkuat senjataku? Efisiensi dalam perburuan itu terfokus pada daya tempur, segalanya hanya ada pada daya tempur. Lalu menggelontorkan dana yang berharga tersebut untuk penguatan zirah? Itu tidak lain hanya kepuasan diri semata. Hanya orang terbelakang yang mau melakukannya."
"Tidak, sudut pandang itu terlalu subyektif."
Bantahku pada gadis yang meyuarakan opininya dengan menggebu-gebu di seberang mejaku ini.
"Aku paham maksudmu kalau daya tempur itu penting. Tapi ada tempat yang niscaya tidak akan bisa kau jadikan lahan berburu tanpa mempersiapkan pertahanan hingga di tingkat tertentu, dan kau harus melakukannya kalau sungguh menginginkan efisiensi. Lihatlah faktanya. Kamu tidak bisa berburu di Laboratorium Scion menggunakan perlengkapanmu, 'kan? Padahal ada banyak Sword Dancer selevelmu yang bisa dengan praktis berburu di sana."
Terus kukejar ratifikasi Shiu dengan menatap matanya.
Tapi gadis itu justru dengan kalem mengangkat pundak dan berdesah.
"Itu artinya kau membutuhkannya sebagai persyaratan saja, 'kan? Yah, bisa dibilang mirip tidak ada gunanya memperkuat zirah melebihi kebutuhan."
"Intinya tidak hanya hingga di situ kalau bicara soal zirah. Terlebih, tidaklah praktis dalam prosesnya. Mula-mula, kalau kau bicara perihal persyaratan, bukankah itu berlaku juga untuk senjata? Efisiensimu nyaris tidak akan berubah meski kau mengganti senjata yang lebih hebat padahal seharusnya itu sudah cukup. Harga untuk efisiensi tersebut sudah tidak wajar."
"Jangan meremehkan pentingnya senjata. Orang sepertimu yang hanya menentukan tempat berburu berisikan monster yang mati dalam sekali atau dua kali serang saja akan terus mendiami tempat membosankan itu."
"Apa katamu, Si Hebat?"
"Kubilang jangan memanggilku begitu!"
"Sudah, sudah, tahan dirilah, kalian berdua."
Dari sisi berlawanan, Master menyela ke dalam percekcokan kami yang tidak kunjung henti.
"Dengar, ada cara yang lebih sederhana dan praktis dipahami untuk mengatasi kasus itu dengan sempurna. Biar kujelaskan. Bayangkan bila kalian bisa mengisi kekurangan kalian itu dengan menggunakan uang tunai. Kalian akan tahu bagaimana serangan dan pertahanan kalian akan sangat berpengaruh dengan cara ini."
"Bisa tidak, pemikiran itu kau simpan untuk dirimu sendiri, wahai pengguna barang berbayar kelas berat? Kami sedang melaksanakan dialog pemain biasa di sini."
"Topik. Seputar menindas Master."
Master pun seakan terbelah menjadi dua.
"Tunggu, saya juga punya pendapat!"
Yang berikutnya menyela ialah Ako.
"Aku percaya kalau uang itu penting untuk penampilan. Tidak kasus sekuat apa perlengkapan kita, yang perlu dilakukan ialah membiarkan orang lain mengalahkan semua musuh. Makara kurasa itu bukan hal besar."
"Sudah, jangan asal bicara."
"Cari gara-gara, ya?"
"Hiiik?!"
Ako mundur ketakutan, dipelototi oleh Shiu dan diriku.
Penampilan apanya? Dasar bodoh. Jika punya waktu untuk memikirkan pakaian, kemudian kenapa tidak dipakai supaya bisa lebih lama bertahan atau lebih banyak melaksanakan penyembuhan?
"Ako-san, apa kau paham kalau profesi penyembuh itu harus tetap hidup hingga akhir?"
"Eh, tapi Rusian mati sebelum saya berbuat apa-apa ...."
"Biar kuberi tahu, perlengkapanku sudah sangat tepat sebagai penahan serangan utama, kau paham?!"
Seperti itukah cara dia memandang diriku selama ini?!
Aku menenggak semua jusku.
Dia sama sekali tidak mengerti, kalaupun harus membelanjakan uang, pastinya itu untuk zirah, astaga.
"Dengar, ya, yang niscaya kau akan mati tanpa zirah yang bagus. Ternyata healer kita sangat payah."
"Ya, saya tidak bisa membantahnya."
"Itu sudah jelas. Tidak ada celah untukmu membantah."
"Waduh, waduh, saya tidak bisa mendengar apa-apa!"
Dimulai dengan diskusi mengenai gim beserta permasalahannya tadi, percakapan kami pun bergonta-ganti topik sesukanya.
Misalnya, hingga ke dongeng lama.
"Heal milik Ako dikala itu benar-benar membunuh, ya? Tidak kusangka dia mengabaikan Rusian yang hampir mati dan justru merapal beberapa heal ke pihak musuh."
"Terlebih, yang dia rapal ialah musuh yang sudah hampir kuhabisi."
Itu terjadi beberapa hari lalu. Rasanya dikala itu saya sudah tidak sanggup lagi meneruskannya.
"So-soalnya dikala itu kukira harus merapal pada yang garis ukurannya mengikis."
Master menepukkan tangan sewaktu Ako menggumamkan alasan tersebut.
"Ah, saya mengerti. Roh cahaya-lah yang patut dipersalahkan."
"Roh cahaya?"
Ah, saya ingat, yang itu!
"Oh, semua berawal dari dikala itu, ya? Ako tidak tahu bagaimana cara menggunakan skill dan salah satu NPC memberitahunya untuk meminjam kekuatan dari roh cahaya, jadi dia terus berdoa kepada para Roh di setiap obrolan!"
"?!"
Ako mengibaskan tangannya seolah ingin mengusir sesuatu ketika kami membahas kepingan dari kenangan lama.
"Bu-bukan begitu! Maksudku, orang gereja itu bicara mengenai cara mereka menyembuhkan luka dengan meminjam kekuatan Roh Cahaya!"
"Lebih baik itu tidak usah dipercaya ...."
Atau contohnya lagi, untuk topik duta yang sama sekali tidak kami singgung sebelumnya.
"Sebenarnya saya tidak sedewasa itu, dana daring-ku pun awalnya diberikan oleh orang tuaku. Mereka terlalu protektif meski cenderung mengabaikanku, kalian tahu, mereka menyampaikan hal-hal konyol yang sudah tidak cocok untuk zaman sekarang, mirip harus bijak dalam menentukan teman. Itu tidak akan terjadi andai saya tidak diperbolehkan menggunakan uang dalam gim yang bisa kumainkan di rumah."
"Oh, rupanya kau seorang gadis terhormat dari keluarga baik-baik, ya, Master?"
"Kesan yang terasa darimu memang begitu, ditambah, kau juga sangat cantik."
Sambil menyipitkan matanya, Master menyeringai pada Ako yang menyampaikan hal tadi.
"Tidak juga."
"Sungguh rendah hati ...."
Ren-rendah hati? Rasanya itu patut dipertanyakan.
"Diriku tidak cukup layak dikatakan demikian. Meskipun kaya, saya bisa berkembang melalui pinjaman awal yang kusebutkan tadi, dan keluargaku hanya mempunyai beberapa perusahaan dan sekolah saja."
Eh, dia tidak menyangkal di kepingan bagus sebelumnya.
Aku memang tidak menemukan celah untuk membantah ucapannya tadi, tapi terperinci tidak ada kerendahan hati di dalamnya.
"Hmm, beberapa sekolah .... Jangan-jangan itu ...."
"Itu termasuk Sekolah Menengan Atas Maegasaki. Itulah salah satu alasan saya bersekolah di sana."
"Tidak mungkin. Itu luar biasa! Berarti bisa jadi kau putri pemilik sekolah!"
"Aku memang putri pemilik sekolah."
"Wah, mengagumkan. Kedengarannya seolah kau punya kuasa untuk meningkatkan nilai pelajaran atau semacamnya. Aku jadi iri."
"Meningkatkan? Ini bukan statistik. Otakmu itu sudah terlalu karam ke dalam gim daring, ya?"
Ujar Shiu dengan nada jengkel. Berisik, saya yakin kalau dia berpikir mirip itu.
Kualihkan pandanganku sambil mendesah dan disana terdapat Ako yang tersenyum diiringi kegelapan pada matanya.
"Waah .... Orang kaya dengan masa depan cerah dan terjamin harusnya mati saja ...."
Eng .... A-Ako-san?
"Ako, Ako?!"
"Tenanglah, Ako, itu ialah Master! Jangan-jangan tanda-tanda itu terjadi juga di sini?!"
Sadar, sadarlah. Kugoncang pundak Ako.
Sambil terombang-ambing, kesadaran Ako pun kembali sehabis sekitar sepuluh goncangan.
"Maaf, saya terlalu banyak bicara."
"Kata-katamu tadi sudah berlebihan .... Lagi pula, bukankah kau harus menjaga setiap ucapan dan sikap layaknya putri pemilik sekolah yang merangkap ketua OSIS?"
"Yah, saya tidak bisa menyangkalnya"
Ucap Master dibarengi senyum masam.
"Aku tidak begitu pintar menerangkan perihal kepribadianku di awal percakapan hingga yang lain merasa nyaman, terlebih mengenai beberapa persyaratan untuk bisa menjadi temanku. Namun jangan khawatir, mataku terbuka sehabis bermain gim daring dan bekerjasama pribadi ke dunia maya. Aku pun alhasil mendapat persetujuan dari orang tuaku supaya bisa berteman dengan siapa saja sehabis berdebat panjang"
"Ooh."
Semuanya saling bersahutan kagum.
Ada yang menemukan kebenaran dalam internet — teladan sukses dari hal tersebut?
Ya, betul, syukurlah, sungguh.
"Sayangnya itu sudah terlambat."
Tiba-tiba semua menjadi senyap.
"Mas-Master?"
".... huh. Meski tanpa sahabat di sisiku sekalipun, saya tetap akan berjuang seorang diri."
"Master, mari berjuang bersama menghadapi pergaulan!"
"Bagus, Ako, kita ialah rekan seperjuangan."
Tangan Ako dan Master saling menggenggam erat, melintasi batasan tahun angkatan.
"Hanya melihat ini perutku jadi sakit."
"Aku jauh-jauh kemari bukan untuk melihat program jabat tangan ...."
Baik Shiu dan saya sama-sama menyeka air mata.
Dan membahas perihal topik duta itu ternyata jauh lebih menyenangkan meskipun kami tidak pernah melaksanakan ini sebelumnya. Begitu menyenangkan hingga membuatku heran kenapa tidak semenjak dulu saja.
Biarpun begitu, kesempatan mirip ini tidak akan tiba andai kami tidak mengadakan kopi darat. Yah, kalau niat awalnya baik, segalanya niscaya akan baik.
Sesuatu terlintas di benak kami sewaktu membahas perihal duta.
"Kalau tidak salah, tempo hari saya mendengar gosip tentangmu, Segawa ... eh, Shiu."
"Hah? Apa?"
"Sebuah gosip yang harus kau klarifikasi. Bukan begitu, Si Hebat?
Aku mendengar dongeng perihal Maeda atau siapalah itu dikala apel tempo hari. Aku ingat kalau Shiu sendiri sempat membahasnya.
"Ha-haah? Kenapa itu malah jadi gosip? Makanya bagiku semua anak lelaki itu—"
"Padahal kau sempat menyombongkannya sewaktu dalam gim, 'kan? Aku masih ingat, tahu?"
"Itu ... ya itu."
Dan ini ya ini, begitu?
Aku tidak begitu peduli — meski saya tidak yakin yang lain juga berpikir begitu.
"Begitu rupanya. Makara Schwein ialah salah satu dari orang sukses yang berbeda dari kita, begitu? Aku sangat paham sekarang. Baiklah, saya perlu seseorang untuk meninju sebuah tembok rata!"
Jari-jari master berderak.
Seolah menanggapi, Ako berpose dengan kedua tangannya diangkat ke atas.
"Agen peninju tembok rata siap melayani Anda! Kami akan meninju tembok rata apa pun di sekitar Anda! "
"Dia kutolak! Sudah kubilang kalau saya menolaknya, 'kan?"
Shiu bergegas mengakhiri panasnya situasi sewaktu Ako mengepalkan tangannya.
"Kamu menolaknya begitu saja apa lantaran tidak tertarik pada hal-hal semacam itu, Shiu? Atau mungkin kau sudah punya orang yang disukai?"
Entah kenapa kuajukan pertanyaan seputar privasi tersebut yang membuatku bimbang apa saya sudah melampaui batas. Biasanya saya tidak pernah bisa mengajukan pertanyaan itu, tapi entah kenapa hal ini bisa terlontar begitu saja.
"Tidak, itu ..., hmm ...."
Dan pihak yang ditanyai — Shiu — tampak mulai memikirkan jawaban dengan memperlihatkan kegelisahannya.
Segawa tidak begitu modis. Posturnya pendek, atau tepatnya, seluruh tubuhnya mungil. Dia mungkin tidak feminin. Twintail-nya bisa dianggap kekanakan ataupun menggemaskan tergantung sudut pandang yang melihatnya, dan mungkin saja ada yang berpikir sebaliknya.
Meski begitu, paling tidak paras yang dimiliknya lebih menonjolkan dirinya. Secara obyektif, saya lebih menganggapnya manis.
Dan ini bukan berarti sisi dirinya yang lain tidaklah penting — atau begitulah menurutku.
"Soalnya kalau niatku memang ingin berpacaran, maka saya harus selalu meluangkan waktu untuk hal itu, 'kan?"
Ujar Shiu dengan tenang sehabis sedikit merenung.
"Yah, benar juga. Kamu butuh waktu untuk berduaan dengan pacarmu."
"Benar, 'kan? Dan itu berarti, saya hanya punya sedikit waktu untuk gim daring. Iya, 'kan?"
"Yang benar?!"
Gadis itu justru menambahkan sesuatu yang tidak perlu!
"Itu sungguh akan mengurangi waktu untuk bermain gim daring, ya?"
Dan entah kenapa, Ako dengan terperinci menampakkan sikap setujunya.
"Benar!"
Segawa pun melanjutkan sehabis mendapat seorang simpatisan.
"Soalnya kalian akan benar-benar menentangnya, 'kan?"
"Aku niscaya akan menentangnya!"
"Menolak merupakan pilihan yang sangat tepat."
Ako dan Master pribadi ikut sepakat tanpa sempat mempertimbangkannya.
"Kalian ini serius, tidak, sih ...."
Padahal saya sendiri ingin punya pacar. Sekumpulan orang ini sudah berlebihan dalam menyikapi hal tersebut.
Shiu memelototiku sehabis saya terang-terangan mengutarakan keherananku.
"Apa? Masalah buatmu?"
".... tidak. Aku merasa lebih bahagia dirimu yang ini ketimbang sewaktu di sekolah."
"Itu terperinci bukan pujian, 'kan?"
Berbeda dengan kata-kata kasarnya tadi, Shiu kini tertawa pelan.
Aku tidak pernah bisa mengobrol mirip ini ataupun membicarakan hal-hal barusan dengan seorang Segawa, tapi ini menjadi praktis ketika lawan bicaranya ialah Shiu.
Kata-kata yang biasanya menyebalkan kini jadi tidak terasa menusuk.
Entah kenapa saya justru merasa senang.
Dan andai pemikiranku ini benar, Shiu juga terlihat menikmatinya.
"Kalau begitu, coba ubah pemikiran tadi! Bagaimana kalau kau juga mencari pasangan mirip yang kulakukan dalam gim, Shiu-chan? Kalian bisa bersama tanpa kehilangan waktu bermain gim. Benar, 'kan?"
Ucap Ako sambil mengandeng tanganku.
Tidak. Aku dan Ako menikah hanya di dalam gim, dan itu sungguh tidak ada kaitannya dengan pernyataan cinta di duta. Sedikit pun tidak ada.
"Eng ..., seorang pacar yang bisa bermain gim daring bersama, ya .... Tidak. Itu mustahil. Yang ada malah terdengar menjijikkan."
"Hei."
Jangan menyampaikan itu sambil melihatku! Seharusnya dia berkaca dulu, 'kan?
Dan begitulah, kami membicarakan segala hal. Kami pun tetap bertahan di ruangan pribadi itu dari siang hingga malam tanpa berpindah ke tempat lain. Kopi darat ini sendiri ternyata menyenangkan tanpa ada hal yang membosankan.
††† ††† †††
Saat mentari sudah terbenam, kami meninggalkan restoran dan kembali ke stasiun meski rasanya enggan untuk berpisah.
"Seandainya ada lebih banyak waktu, saya ingin kita bisa makan malam bersama. Maaf, izin yang kudapatkan dari keluargaku tidak bisa lebih dari ini."
"Tidak apa-apa, saya juga bisa dimarahi kalau tidak kembali dikala makan malam."
Shiu pribadi mengangguk pada Master yang sedang menundukkan kepala. Bukankah posisi mereka kini terbalik?
"Yang tadi seru sekali. Lain kali ..., lain kali, ayo lakukan ini lagi."
Sebagai orang yang terakhir meninggalkan restoran, Ako dengan murung menyampaikan, tampak mirip masih enggan pergi.
"Tidak perlu. Meski kau bilang begitu, kita sendiri satu sekolah, jadi kita bisa melakukannya kapan saja, 'kan?"
"Oh ..., begitu! Betul!"
Aku sama sekali tidak kepikiran! ialah ekspresi dari mata Ako yang berkilauan.
Begitulah, Master mengangguk seolah memberikan hal tersebut.
"Baik, bagaimana kalau kita tetapkan ini sebagai program mingguan?"
"Aku tidak sanggup kalau kita melakukannya setiap minggu. Rasanya mirip sisi gelap yang kupunya akan terbawa dalam kehidupan sehari-hari kalau terus mengikuti sikap kalian."
"Kata-katamu itu terlalu berlebihan. Apalagi hingga menyebut sisi gelap."
"Ups, gawat, itu berbahaya. Otaku itu menjijikkan, menjijikkan, menjijikkan, menjijikkan."
Apa itu? Semacam mantra?
Terasa menyenangkan hingga akhir, bahkan sesampainya kami di stasiun.
Seakan ingin meredakan ketegangan ketika semuanya saling memandang wajah masing-masing, udara hangat yang lembut berembus seolah akan menyelimuti kami selamanya.
Kami menunggu dikala yang tepat untuk berpisah sewaktu berada di kerumunan orang-orang yang berdempetan melewati gerbang tiket— tanpa sadar mulutku terbuka.
"Entah bagaimana mengatakannya, tapi saya minta maaf."
Kata-kata yang kulontarkan ialah ajakan maaf.
"Kenapa kau meminta maaf, Rusian?"
Ako menatapku penasaran.
Istriku mendekat hingga ke jangkauan tanganku, lebih dekat ketimbang jarak yang bisa dianggap sahabat tanpa khawatir sama sekali.
Benar, dia juga kepingan dari alasannya.
"Begini, sejujurnya, saya sempat menerka kalau kalian semua anak lelaki."
"Oh, begitu?"
Master kemudian memperlihatkan senyuman lembut yang jarang diperlihatkannya, kemudian perlahan mengangguk.
"Padahal saya sudah pernah berkata bahwa saya ialah gadis Sekolah Menengan Atas sungguhan di duta, tapi rupanya kalian sedikit pun tidak memercayainya."
"Ya, jelas, lah!"
Siapa juga yang bisa pribadi percaya hal itu?!
"Saat awal tadi penampilanmu sudah meyakinkan."
"Sebagian besar itu gara-gara kamu."
Shiu juga mengejutkan.
Tidak kusangka dia selalu menggunakan sifat besar kepala dan kelelakiannya.
"Ditambah, kupikir rasanya akan jadi canggung sehabis kita berkumpul begini."
"Apa saya bisa ikut mengobrol mengingat hanya saya saja lelaki di sini? Apa saya pergi saja, ya? mirip itukah yang kau pikirkan?"
Master tersenyum.
"Ya. Awalnya saya benar-benar gugup. Tapi ... ternyata menyenangkan."
Sembari mengingat betapa menyenangkannya separuh hari ini, saya sedikit melirik ke langit senja yang mulai menggelap.
"Yah, kupikir apa pun yang terjadi dalam gim seharusnya tetap dipendam di sana, begitu pula dengan yang ada terjadi duta, itu dua hal yang sungguh berbeda. Sebaiknya jangan menggabungkan keduanya, dan sebisa mungkin memisahkan hal tersebut. Maksudku, orang yang bagus di dalam gim bisa menjadi buruk dikala di duta, atau yang bagus di duta bisa menjadi dikala dalam gim. Cerita mirip itu seringkali kudengar."
Itu memang sering terjadi.
Beberapa dari mereka berpikir secara rasional sewaktu di duta namun apa pun bisa terjadi dikala di dalam gim, atau mereka yang praktis memuji sesamanya ketika dalam gim justru menjelma bajingan sehabis bertemu muka secara langsung. Ada terlalu banyak macamnya untuk dihitung.
"Tapi sehabis bertemu sungguhan mirip ini, saya merasa sangat menikmatinya. Dalam pikiranku, Wah, rekan-rekanku memang yang terbaik, baik di gim maupun di duta."
Setelah perlahan berbalik, saya kemudian membungkuk ke hadapan rekan-rekan di sekitarku.
"Itu sebabnya— maaf lantaran sempat tidak memercayai kalian. Dan juga, terima kasih."
Shiu tiba-tiba tertawa mendengar kata-kata seriusku.
"Menjijikkan! Hina pula!"
"Bukankah itu sudah kelewatan?!"
Yang dia lontarkan barusan merusak suasanya yang sudah kubangun.
"Tidak. Reaksiku padamu akan tetap sama entah itu dikala di duta ataupun dalam gim."
"Maksudku, tentu, bisa jadi memang begitu, tapi tetap saja!"
Sial, seharusnya saya tidak perlu meminta maaf tadi.
"Bhh ... fufufu, wuahahahaha."
"Master, tawamu terlalu berlebihan!"
Dia juga tidak ada bedanya.
"Ti-tidak, tidak. Aku tidak akan menyalahkanmu. Saat pertama kali melihatmu, Rusian, saya juga sempat meragukanmu, bertanya-tanya apa kau tipe lelaki yang menatap mesum ke sembarang gadis. Kita impas."
Ucap Master tampak seolah sedang menahan tawa.
Memangnya saya ini dianggap apa? Astaga.
"... tapi."
Shiu kemudian menarik kerahku ke hadapannya kemudian berbicara dengan pandangan apatis yang membuatku merinding.
"Kalau hingga kau mencoba bersikap dekat padaku di sekolah, saya tidak akan segan-segan padamu. Ingat itu. Paham?"
"Jadi kau tetap bersikap mirip itu di sekolah .... Ba-baik."
"Bagus."
Sambil berpaling dariku, Shiu mengubah ekspresinya menjadi senyuman.
Nya-nyaris sekali. Wajahnya tadi terlalu dekat. Dia sungguh manis ketika dilihat dari jarak sedekat tadi. Maksudku wajahnya.
Pikiranku yang dilanda kebingungan lantaran berada sangat dekat dengan senyum seorang gadis, ditarik mundur oleh sebuah sentakan.
"Wuah."
Lalu, sesuatu yang lembut mendekap belakang punggungku.
Hangat, lembut, dan sangat harum.
"Huh!"
Suara cemberut itu terdengar tepat di atasku.
E-eng ..., Ako-san?
Dia sedang apa? Atau tepatnya, kenapa melotot ke arah Shiu?
"Ah, Ako?"
"... huh!"
"Tidak, saya tidak akan merebut suamimu, jadi tidak perlu mengancam mirip itu."
Aku tidak butuh dia, Shiu mengalihkan pandangannya ke arah Master sehabis mengisyaratkan hal itu.
"Sungguh?"
"Tentu."
Setelah saling tersenyum masam, keduanya berjalan menuju gerbang tiket bersama.
"Sampai jumpa lain waktu. Kalian boleh memanggilku Master kalau bertemu di sekolah!"
"Tidak, saya tetap akan memanggilmu ketua OSIS! Baiklah, dah!"
Mereka mengucapkan selamat tinggal kemudian berlanjut ke stasiun.
Keduanya lenyap dari pandangan kami sebelum alhasil Ako melepaskanku. Selagi diriku merasa lega lantaran terlepas dari ketidaknyamanan tubuhku yang setengah membungkuk, rasanya sedikit disayangkan berpisah dari sensasi yang dihadirkan Ako.
—jadi, eng ..., Ako-san. Kenapa dia memandangiku?
Aku balas memandanginya kemudian Ako berbicara dengan bunyi pelan,
"Rusian, apa kau sungguh menerka saya ialah lelaki?"
"... maaf, jujur saja, saya bahkan menerka kalau kau ialah om-om."
"Kok bisa?!"
Ako berteriak disertai amarah terkejam dari yang pernah ditunjukkannya sepanjang hari ini sehabis kuutarakan pendapat jujurku. Teriakannya itu tidaklah begitu keras mirip halnya penampilan tenang yang dikesankannya, namun kekuatan dari teriakan tersebut tetap membuatku termundur.
"Sudah kubilang kalau saya seorang gadis, 'kan?! Kenapa kau tidak percaya?!"
"Itu, yah ..., itu terlintas begitu saja dan saya tidak terlalu memedulikannya."
"Sekarang pun kau tidak memedulikannya, 'kan?!"
"Ma-maaf."
Ta-tapi, asal tahu saja, kupikir ada beberapa hal di mana saya tidak bisa disalahkan lantaran berpikir demikian.
Tidak ada seorang pun yang akan begitu saja menganggap istri mereka ialah seorang gadis manis, terlebih, saya juga mempunyai trauma lama. Ini lebih cocok bagi kesehatan mentalku dengan menganggapnya lelaki. Iya, 'kan?
Meski begitu, Ako tidak memperlihatkan tanda-tanda akan tenang dan justru mengajak berdebat.
"Pertama, Rusian, kenapa kau sepakat menikah kalau kau menganggapku lelaki?"
"Itu, yah ..., kupikir begitu juga tidak apa-apa."
"E-eeeh?!"
"Tidak, tidak, tidak dalam pengertian semacam itu!"
Jelasku pada Ako yang kebingungan dengan mata terbelalak.
"Aku sungguh berpikir kalau duta dan gim itu terpisah. Itu sebabnya, meksi kau ialah lelaki di luar gim, kupikir bukan kasus bagiku lantaran kau tetaplah Ako di dalam gim."
Hanya inilah yang kupikirkan dikala mengatakannya, tapi tampaknya itu tidak begitu memberi dampak.
Ako mungkin akan menganggapku aneh— atau begitulah pikirku.
"Apa itu ... lantaran kau mengasihi diriku"?
"... yah, begitulah."
Apa dia perlu menanyakan hal itu?
Sadar lantaran wajahku memerah, saya mengalihkan pandangan dari Ako dan mengangguk.
Wah, ini sangat memalukan. Kenapa saya dipermalukan di tempat mirip ini?
"Kalau begitu, Rusian, apa maksudmu itu ialah jatuh cinta pada diriku tanpa memandang asalku, usiaku, wajahku, ataupun jenis kelaminku? Hanya diriku?"
"I-iya, benar."
Itinya memang begitu.
Ako menatapku tajam sehabis mendengar jawabanku yang malu-malu — kemudian memperlihatkan senyum lega yang mengembang.
"Rusian, saya juga!"
"O-oh?!"
Ako kemudian menggenggam erat kedua tanganku dan berulang kali mengayunkannya dari atas ke bawah.
Tangan Ako benar-benar hangat ... dan lembut.
Kehangatan itu menyebar melalui tanganku seakan ingin mencairkan kebekuannya, menyelimuti keduanya.
"Aku ingin bersamamu, Rusian, lantaran kau ialah dirimu. Meski dirimu bukan lelaki sebayaku yang tinggal di sekitarku, meski kau benar-benar berbeda dari bayanganku, saya niscaya akan tetap mencintaimu! Sungguh, percayalah padaku."
"Te-terima kasih, Ako."
Ako menyampaikan hal itu sambil berlinang air mata, tampaknya dia benar-benar senang.
Eh, harus mirip apa saya menanggapinya?
Ako akan mencintaiku meski saya berbeda dari Rusian yang ada dalam pikirannya .... Apa itu berarti saya tidak jauh berbeda dengan diriku yang ada di bayangannya?
Bahkan kalau saya berbeda, dia akan tetap mencintaiku—
"Bukan, bukan mirip itu. Tenanglah dulu. Gim dan duta itu berbeda, gim dan duta itu berbeda, gim dan duta itu berbeda ...."
"...? Rusian?"
Pelan-pelan kulepaskan genggaman Ako dan berkata, "Tidak apa-apa," padanya.
Rasanya memalukan, apalagi kini orang-orang memandangi kami lantaran kehebohan sebelumnya.
"Sudah malam. Ayo pulang."
"Tapi saya masih ...."
"Aku harus segera pulang. Ayo."
Ako mengeluh tidak puas, namun alhasil mengangguk patuh.
"Rusian, hingga ketemu besok ..., eh, bukan, nanti! Hari ini saya akan berusaha supaya tidak menjadi beban!"
"I-iya. Berhati-hatilah dalam perjalanan pulang."
"Iya. Kalau begitu, :melambai:!"
"Melambai yang itu tidak usah diucapkan keras-keras kalau di duta!"
Ako kemudian pergi ke stasiun, tangannya melambai tanpa henti.
Lagi-lagi melambai, saya ingin tau apa dari sisi lain kami terlihat mirip sepasang kekasih. Kurasakan beberapa tatapan tertuju pada kami disertai cekikikan.
Diriku dan Ako tidaklah mirip itu. Ini pertama kami kalinya kami bertemu.
Dan terlepas dari itu, rasanya seolah kami memang sudah dekat—
Dalam hatiku bertanya, ada apa dengan kegelisahan yang menggelitik ini?
Jika digambarkan, ya, ini mirip saya menginjak sebuah ranjau darat yang sangat besar.
"A-aku harus cepat pulang. Betul, waktunya pergi"
Aku segera bergegas seakan mengalihkan mataku dari suatu hal.
††† ††† †††
◆ Schwein: Hahaha, permainan Ako malah lebih buruk dari biasanya, wkwkwk.
◆ Ako: Padahal saya sudah berusaha keras ....
◆ Apricot: Ada kalanya usaha kita tidak membuahkan hasil. Jangan terlalu dipikirkan, Ako.
◆ Schwein: Aku juga tidak begitu peduli, wkwkwk. Tidak kasus bagiku, wkwkwk.
◆ Rusian : Ya, begitulah, jangan khawatir. Paling-paling dampaknya ialah EXP-ku yang terus merosot lantaran penalti kematian.
◆ Ako : Maafkan aku, Rusian.
◆ Rusian : ... hanya bercanda, jangan dimasukkan ke hati.
Malam selepas program kopi darat, kami berkumpul dan berburu mirip biasa, tapi permainan Ako terperinci lebih buruk dari biasanya. Aku merasa iba pada karakterku yang harus menderita karenanya.
Meski begitu, ini masih berada dalam batas tingkat kesalahan Ako yang biasanya, walau itu tidak lagi menghibur. Lagi pula, dikala saya memikirkan Ako Tamaki-san yang menangis dari balik monitor, rasanya saya bisa memaafkannya.
Terlepas dari diriku yang sering membenarkan diri lewat ucapan kalau gim dan duta itu berbeda, saya malah cenderung ingin menyenangkan diri sendiri.
Setelah menuntaskan perburuan, kami pun kembali ke kota, duduk di dingklik yang biasa, ditemani Ako yang selalu di sebelahku.
◆ Ako: Kerja bagus, Rusian.
◆ Rusian: Eng ..., sama-sama.
Itu memang rutinitas kami yang biasanya, tapi jantungku jadi berdegup lebih kencang ketika mengingat gadis yang duduk di sebelahku hari ini.
Tenang, tenanglah, yang itu Ako versi duta dan yang ini istriku, Ako.
Tapi sedikit mengejutkan lantaran kami bisa bermain mirip tidak ada yang berubah.
Setelah benar-benar bertemu dan saling mengenal secara pribadi, mengetahui kalau usia dan angkatan kami ternyata sama, kusadari kalau kami mungkin tidak sanggup terus menganggap satu sama lain sebagai rekan, istri ataupun suami.
Kami menjaga ruang yang nyaman ini lantaran tidak saling mengenal di duta. Dengan bertemu dan tahu bahwa tempat tinggal kami tidak berjauhan, emosi seseorang bisa cukup untuk mengubah segalanya— itulah yang kucemaskan.
Lalu sebuah gelembung muncul di atas aksara Master.
◆ Apricot: Baik, sudah waktunya saya pergi. Ada urusan yang harus kukerjakan besok pagi.
◆ Schwein: Maksudmu urusan sekolah? Eh ..., ups.
◆ Apricot: Tepat sekali.
Master mengangguk tanpa terlihat keberatan terhadap topik duta yang tidak sengaja disinggung Shiu.
◆ Apricot: Walau orang-orang menganggap kalau saya tidak terlalu sibuk sebagai ketua OSIS, tapi ada kalanya saya memang sibuk. Kalian boleh memanggilku Master kapan pun kalian bertemu denganku di sekolah.
◆ Schwein: Memangnya saya tidak punya malu apa?!
◆ Rusian: Hei, Shiu, sifat aslimu alhasil keluar!
◆ Schwein: O-orang sehebat diriku ini tidak mungkin berbuat konyol! Ha-hal yang bodoh!
◆ Rusian: Tenang! Ucapanmu mulai meracau!
◆ Apricot: Hahaha, terima kasih atas komedi pengantar tidurnya. Baiklah, lain waktu kita bertemu lagi.
Menyampaikan yang harus dia katakan, Master pun tetapkan sambungannya tanpa basa-basi.
Orang itu benar-benar tidak berubah. Ketenangannya sungguh luar biasa.
◆ Ako: Aku mau mandi dulu kemudian tidur.
Kata-kata dari Ako tersebut membuatku mengkhayalkan sosok Tamaki-san yang sedang mandi — pikiran itu muncul sesaat sebelum saya mengembalikan kesadaranku.
Duta dan gim itu berbeda, duta dan gim itu berbeda.
◆ Rusian: Terima kasih untuk hari ini.
◆ Schwein: Pastikan kau membilas semua lumpur dari tubuhmu.
◆ Rusian: Dia bukan babi sepertimu, Schwein-san.
◆ Schwein: Jangan sebut si Hebat ini sebagai babi! Argh, menyebalkan!
◆ Rusian: Sikapmu jadi kacau.
◆ Schwein: Se-semuanya jadi sulit sehabis kau tahu wajahku!
Yah, terserahlah.
Aku jadi tidak bisa berhenti menyeringai setiap kali membayangkan wajahnya ketika berbicara dengan angkuh.
◆ Ako: Baiklah, selamat malam.
◆ Rusian: Oke.
Seusai melihat kepergian Ako yang menghilang sambil melambaikan tangan, Shiu tiba-tiba angkat bicara.
◆ Schwein: Ah, dengar ini. Seperti yang kubilang, kalau kau mencoba dekat denganku hanya lantaran kini kita lebih saling mengenal, saya akan benar-benar membunuhmu, paham?
◆ Rusian: Aku sangat paham. Aku tidak akan memberi tahu siapa-siapa, dan sikapku terhadapmu juga tidak akan kuubah.
◆ Schwein: Sungguh? Aku pegang janjimu, ya?
Ucap Segawa dengan rasa cemas, atau mungkin tidak puas.
Cara bicaranya benar-benar kacau sekarang.
Apa-apaan itu? Apa dia punya sedikit kepercayaan terhadapku?
◆ Rusian: Gim dan duta itu berbeda. Hanya lantaran saya dekat dengan Shiu di dalam gim, bukan berarti saya akan dekat dengan Segawa di duta.
◆ Schwein: Oh? Baguslah kalau begitu.
◆ Rusian: Ya, jangan khawatir.
Setelah membuat Rusian membungkuk berlebihan, Segawa membuat Shiu mengangkat pundak dan sebuah pesan dialog muncul,
◆ Schwein: Kenapa kau berkata sok kalem begitu, mirip paham segalanya saja? Menjijikkan!
◆ Rusian : Terserah!
Bagaimana menjelaskannya, ya? Kata-kata agresif tadi memang ciri khas dari Segawa.
Tapi tetap saja, itu, yah, tidak menggangguku. Sama sekali tidak. Aku akan kesal kalau Segawa yang mengatakannya, tapi bukan kasus kalau kuanggap itu Shiu yang berbicara. Ternyata itu tidak tergantung hanya dari kata-kata saja, melainkan dari orangnya juga.
Tidak, maksudku, mereka berdua itu orang yang sama.
◆ Schwein: Lalu ..., sebaiknya kau jangan terlalu dekat dengan Ako. Kasihan dia kalau hingga ada gosip gila yang menyebar.
◆ Rusian: Jangan bilang kalau kau kasihan kalau dia punya gosip yang berkaitan denganku .... Yah, memang benar kasihan, sih.
◆ Schwein: Benar, 'kan?
Itu sungguh tidak baik untuk Ako. Ini memang kenyataan yang kejam bagi seorang otaku terbuka.
Dan sehabis jeda sejenak, Shiu kembali bersikap mirip Segawa yang biasa.
◆ Schwein: .... bekerjsama saya mendukung saja kalau kau benar-benar ingin menjalin hubungan konkret dengan Ako.
◆ Rusian: Tidak!
Tegasku menyatakannya dalam kesimpangsiuran tadi.
◆ Rusian: Hal semacam mengajak seorang gadis yang dikenal melalui internet supaya mau menjadi pacar itu tidak akan kulakukan.
◆ Schwein: Padahal dari sudut pandang yang melihat, hari ini kau mirip mirip raja gombal di medsos, tahu?
◆ Rusian: Jangan bilang begituuuuu!
◆ Schwein: Wkwkwk.
Shiu tertawa, seolah yang dikatakannya tadi tidaklah serius, tapi keadaan mentalku kini sudah nyaris membuatku muntah.
Raja gombal.
Julukan paling hina.
Julukan bagi sampah.
Julukan yang kubenci.
Mereka yang dijuluki raja gombal itu punya satu misi. Mereka akan mencari perempuan yang ada di dalam gim, merayu mereka, menyanjung mereka, dan memaksa mereka supaya mau bertemu di duta.
Mereka akan seefisien mungkin dalam merayu, sesegera mungkin merayu targetnya.
Mereka ialah eksistensi paling dibenci dalam dunia gim daring.
Aku bukanlah mereka, saya bukan seorang perayu!
◆ Schwein: Terserahlah. Pastikan kau sepakat dengan Ako dalam menentukan mirip apa jarak yang harus kalian jaga dikala bersama.
◆ Rusian: Oke.
◆ Schwein: Kalau begitu, saya keluar dulu, kawan.
◆ Rusian: .... jadi kau juga tetap bersikap begitu?
◆ Schwein: Cerewet.
Setelah memelototiku, Shiu pun menghilang.
Tetap saja, memang perlu adanya jarak antara diriku dan Ako, 'kan?
Saat berpisah tadi itu terperinci bukanlah suasana yang dihadirkan antara sesama teman.
"Tapi ...."
Keinginan untuk tidak mengungkapkan apa pun dan tetap menjaga status ini tersebut niscaya akan terasa.
Sejauh ini saya tidak ada kasus dengan Ako. Kami pun mirip kenalan lama dikala bertemu tadi.
Bukankah sebaiknya jarak tersebut tidak perlu ditegaskan lewat ucapan, mengingat itu bukanlah kewajibanku?
Soalnya, tahu sendiri, Ako yang kutemui ini begitu manis.
Wajah Tamaki-san kemudian muncul dalam pikiranku, menampakkan ekspresi malu di hadapanku.
"—tidak!"
Yang mirip itulah yang dipikirkan oleh mereka!
Yang mendorong kaum lelaki untuk merayu!
Dan membuatku menyatakan cinta pada seorang hode!
Sambil tergesa keluar dari gim, kumatikan komputer kemudian merebahkan diri ke kasur.
Gim dan duta itu berbeda, gim dan duta itu berbeda— saya berusaha tidur dengan membawa pemikiran itu, tapi yang terlintas hanyalah wajah Tamaki-san yang mengintipku layaknya seekor kucing manja.
Meski sudah menggelengkan kepala supaya pikiran itu lenyap, yang ada justru dia semakin melekat layaknya Ako sendiri.
Rusian, Rusian, Rusian ....
Catatan terjemahan:
1. Judul kepingan merupakan pelesetan dari judul sebuah gim yakni Shin Megami Tensei: Imagine (真・女神転生IMAGINE).
2. Umaibou ialah nama kudapan berupa stik yang berbahan dasar jagung.
Sumber http://ifunnovel.blogspot.com/
Penerjemah :
Editor : Cucundoweh
Setiap sebulan sekali diadakanlah apel untuk seluruh murid di tempatku bersekolah, yakni Sekolah Menengan Atas prefektur Maegasaki.
Sambil menunggu dimulainya program di dalam gedung olahraga, kusapa sahabat yang berbaris di sampingku ini.
"Sekilas info. Diriku alhasil mendapat seorang istri."
"Wah, tahun ini sudah yang keberapa kali, Nishimura?"
Jawab sahabat sekelasku dengan ekspresi jengkel.
Nishimura ialah namaku di duta.
Tidak, maksudku, itu memang namaku, tidak perlu ditambah di duta segala.
Bukankah telah berkembang menjadi kebiasaan kalau menambahkan kata di duta untuk hal-hal berkenaan dengan dunia konkret bagi orang-orang yang sudah terlalu membenamkan diri di internet?
"Dengarkan dulu dan kau akan terkejut. Dia ini yang pertama."
"Sudahlah, bohongmu itu kelihatan jelas. Kamu berganti istri setiap tiga bulan sekali."
Aku berusaha mengatakannya dengan sangat serius, namun sekeras itu disangkal.
Hmm, bagaimana kalau menunggu sebentar sebelum menjawabnya?
Tidak harus blakblakan mirip itu juga, 'kan?
"Memangnya kau tidak punya tanggapan lain? Yah, seperti, Kamu benar-benar sudah menikah?! contohnya."
"Tidak."
"Padahal saya bisa saja terkena serangan jantung kalau kau bilang sudah punya pacar."
"Aku justru bisa lebih kaget lagi kalau dua puluh tahun mendatang kau menghubungiku dan bilang akan menikah."
"Itu tidak bisa kubantah, tapi bukankah ada cara yang lebih baik untuk mengatakannya?!"
Lalu teman-teman sekelas yang lain ikut bergabung mengiringi komentar yang sangat mengerikan tadi.
Salah satu dari mereka mengerutkan keningnya dengan tatapan bingung.
"Memangnya yang dimaksud istri tadi siapa?"
"Istri yang sedang dibahas itu hanyalah sosok aksara yang mereka sukai."
"Ya, ya, itu soal waifu."
"Ih, menjijikan."
"Hentikan! Rasanya sakit sekali dikala kau mengatakannya dengan wajah datar begitu!"
Kupegangi kepalaku dan bertindak berlebihan seolah terkena damage.
Meski begitu, gerakan terluka tadi hanyalah akting. Tidak benar-benar separah itu.
Ini ialah ..., yah, sebuah variasi dari asam garamnya kehidupan.
Rata-rata orang di setiap kelas dalam suatu sekolah niscaya punya yang namanya karakter. Iya, 'kan?
Atlet dari klub olahraga, anak grup musik yang tahu banyak perihal musik, tipe ketua kelas dengan nilai bagus, berandalan yang agak vulgar, semacam itulah.
Tapi nilaiku rata-rata di antara rata-rata, saya kepingan dari Klub Pulang ke Rumah dengan bermain gim daring sebagai hobi. Seorang anak Sekolah Menengan Atas biasa tanpa satu elemen penting pun untuk bersosialisasi dengan riajuu.
Kupikir saya akan berusaha keras dalam membuat aksara untuk bertahan di kelas, dan alhasil—
"Nishimura, kau ini memang otaku, ya ...."
"Terserah. Aku menikmati hidup dengan caraku sendiri."
"Ya, sudah, lain kali perkenalkan saya pada waifu-mu tadi."
"Yang penting dia harus mencari cara dulu untuk keluar dari monitor."
Ya, saya ini otaku yang terbuka.
Biarpun demikian, tidak disangka ini cukup menyenangkan. Otaku ialah aksara vital, jadi saya bergaul di kelas tanpa perlu menahan diri.
Betul, misalnya,
"Oh, iya, Nishimura, kudengar pelawak Jumbo Satou melaksanakan siaran pribadi secara daring. Apa itu benar?"
"Ah, ya, itu benar. Kemarin juga begitu"
"Ah, masa? Acaranya bagus, tidak?"
"Kamu niscaya paham kalau menontonnya sendiri, yang terperinci itu membosankan."
"Benar, 'kan?! Sudah kuduga!"
Kelihatannya untuk topik mirip ini, keberadaanku tidak akan tergantikan.
Khususnya sebagai otaku yang terbuka untuk memenuhi kebutuhan kalau ingin membahas topik itu, bicaralah dengan orang ini.
Individu yang mau mendapatkan pembahasan aneh, seseorang yang sanggup menawarkan rasa nyaman terhadap hal tersebut.
Dalam percakapan perihal siaran pribadi melalui internet, teman-teman sekelasku ikut menambahkan, merasa lega, mungkin lantaran saya bisa begitu saja menjawab, "Aku menontonnya," pada mereka.
"Orang itu hanya bisa mengomentari dirinya sendiri, ya?"
"Betul, betul, tanggapan yang dia berikan selalu sama. Itu jumbo! salah satunya."
"Pasti ada banyak komentar di sana."
"Tapi anehnya, hal tersebut kadang bisa membuat ramai meski yang dia lakukan hanya itu-itu saja."
Dan sahabat sekelasku yang lain pun ikut masuk ke dalam percakapan. Mereka niscaya menyaksikan sendiri siaran langsungnya.
Namun supaya tidak dicap sebagai otaku lantaran ikut membahas hal semacam ini, mereka sengaja mengarahkan pembicaraan melalui diriku.
Lagi pula, selama berbicara denganku sambil menyatakan semua hal yang aneh, mereka akan dimaklumi.
Dengan alasan, mengikuti arah pembicaraanku lantaran saya sendiri tidak punya topik lain untuk dibahas.
"Siapa yang peduli dengan pelawak yang hanya bagus dalam hal menyindir. Ah, saya ingin punya pacar."
"Jangan bahas hal yang sensitif."
"Kalau waifu juga masuk hitungan, saya punya satu."
"Jangan bahas hal yang sensitif, Nishimura"
Tentu saja, topik normal juga ikut bercampur mirip ini.
Tidak perlu menyembunyikan diri dan ada banyak topik dalam subkultur. Bahkan kalau diriku tidak bisa mengikuti pembahasan riajuu, tidak masalah, inilah karakterku.
Secara pribadi, kupikir diriku telah tetapkan tempat yang cukup bagus untukku sendiri.
Satu-satunya kasus adalah— mungkin pandangan gadis-gadis terhadapku.
"Menjijikkan ...."
Dan bunyi itu terdengar dari arah samping belakangku.
"Terus saja mereka membahas hal-hal hina. Otaku memang menjijikkan. Jangan dekat-dekat. Aku serius!"
Aku kemudian menoleh. Itu mereka, para gadis di kelasku — melihatku dengan tatapan dingin.
Peran seorang otaku terbuka diiringi dengan sebutan sporadis menjijikkan dan menjengkelkan yang sudah bisa ditebak. Ini agak menyebalkan, tapi begitulah sikap gadis-gadis SMA.
Gadis itu berjulukan Segawa siapalah kalau saya tidak salah.
"Memangnya ada apa, Segawa? Jangan hantam rata ke semua otaku dan menganggap mereka menjijikkan. Di dunia ini ada juga otaku yang berpengetahuan luas contohnya dalam hal anggur atau bunga. Kamu sudah melecehkan mereka."
Mata Segawa semakin memicing sehabis saya menjawabnya tanpa formalitas.
"Tepatnya, kau yang menjijikkan, Nishimura"
"Itu tidak bisa kubantah, jadi hentikan!"
"Ah, Nishimura, betapa menyedihkan. Kebenarannya sungguh menyakitkan, ya?"
"Kita tahu kalau dia memang menjijikkan, tapi kau tidak perlu sejelas itu menunjukkannya, 'kan?"
"Kalian justru lebih kejam!"
Yah, beginilah adanya, saya tidak akan pernah mendapatkan pacar atau apa pun itu.
Jujur saja, saya sudah menyerah. Yang kubutuhkan hanyalah gim-gimku.
"Tetap saja, andai dia menjaga ucapannya, Segawa bisa terlihat lebih manis."
"Kamu belum dengar, ya? Maeda yang duduk di sampingnya ternyata sudah menyatakan cinta padanya, dan seketika itu pula dihabisi."
"Astaga. Heroik sekali."
"Padahal dia sendiri cukup aneh. Oh, iya, Segawa itu tipemu, 'kan, Nishimura? Lihat, wajahnya lumayan, dia juga mungil, belum lagi dengan gaya rambut twintail-nya."
Bisikan teman-teman sekelas mendorongku untuk mengalihkan pandangan pada gadis tadi.
"Eng, kalau tsundere tidak masalah, tapi dia hanya tsun saja, sih .... Waduh ...."
Tatapanku bertemu dengan sepasang mata yang dipenuhi dengan niat membunuh yang nyata.
"... kau cari mati, ya?"
"Ampun!"
"To-tolong ampuni Nishimura! Satu-satunya kejahatannya ialah rasa cintanya terhadap twintail! "
"Menjijikkan sekali .... bisakah kau jangan menghirup udara yang sama denganku?"
"Aduh, sakitnya!"
Tidak perlu hingga sekejam itu, 'kan?!
Tubuhku kemudian tersentak dan pundakku terdorong oleh seorang gadis dari kelas sebelah.
"Kyaa ...."
"Ah, maaf. Kamu tidak apa-apa?"
"Ah, tidak, saya ...."
Gadis itu mundur seolah takut kemudian bolak-balik menggelengkan kepala. Wajahnya tidak begitu bisa terlihat lantaran dia menunduk dan tertutupi poni yang panjang, tapi tampaknya dia benar-benar takut.
Apakah otaku semenakutkan itu?
Kurasa begitu, maaf lantaran saya berada di dekatmu.
Yah, mirip itulah pandangan mereka di masyarakat umum.
"Apel akan segera dimulai. Semua harap tenang."
Ucap malas seorang guru yang bertugas dari depan kelas. Seorang guru perempuan berumur dua puluhan yang masih lajang. Aku tidak akan berkomentar mengenai kurangnya semangat dia meskipun masih muda, tapi dia — Saitou-sensei — ialah seorang guru Bahasa Jepang yang sangat biasa.
Diiringi dengan jawaban, "Baik," yang terdengar cuek, kelas pun mulai menenang.
{Selamat pagi, teman-teman. Saya Goshouin, ketua OSIS kalian. Sekarang akan kita mulai apel sekolah.}
Suara tenang ketua OSIS bergema dan apel pagi pun dimulai. Sambil fokus menatap sang ketua OSIS yang kabarnya terpilih lantaran kecantikan dan sikap percaya dirinya itu, saya pun sedikit menghela napas.
Sungguh, nasibku tidak pernah baik kalau bekerjasama dengan gadis di kehidupan nyata.
Sungguh, kenyataannya tidak pernah sama sekali.
Namun tetap saja ....
Fakta bahwa saya mempunyai seorang istri itu benar, sungguhan dan nyata.
††† ††† †††
Sambil dengan tenang melihat garis ukuran life point yang melayang di atas nama karakterku — [Rusian] — berkurang, kuoperasikan kibor dengan cukup santai.
Kudengar erangan monster saling bersahut-satuan dari headphone di telingaku.
Karakter yang kukendalikan — [Rusian] — berlari menembus ke dalamnya sebuah dungeon dengan segenap tenaga.
Tidak hanya satu. Ada cukup banyak monster yang mengejar hingga memenuhi layar.
"Aah, sial .... Menjengkelkan sekali."
Salah satu monster berhenti dan meninggalkanku dari jangkauan deteksinya sembari saya terus berlari.
Aku pun berbalik sehabis berputar-putar di sekitar gerombolan musuh, sayangnya proses itu memangkas lebih banyak life point-ku — garisnya berkurang lagi.
Biasanya gaya bermain ini hampir tidak memerlukan banyak usaha dan saya tidak akan pernah berbuat kesalahan di situasi begini.
Namun semenjak awal ini sudah menjadi rentetan kesalahan. Hal yang bagus kalau bisa kembali ke sekutuku dengan life point setidaknya tersisa delapan puluh persen, tapi kini justru sudah lenyap separuh. Aku niscaya kurang berkonsentrasi.
Dan saya tahu penyebabnya.
Itu lantaran percakapan di antara para anggota guild -ku yang membanjiri jendela dialog di kepingan bawah layar.
Semua gara-gara itu. Ini bukan salahku. Bukan saya yang harus disalahkan.
◆ Ako: Lalu saya mengajak Rusian untuk ikut denganku ke tempat kami pertama kali bertemu dan menyatakan perasaanku di sana.
◆ Apricot: Akhirnya. Aku selalu ingin tau kapan hal itu akan terjadi, tapi tidak pernah kusangka kalau yang menyatakannya duluan ialah kamu, Ako.
◆ Schwein: Sampai butuh waktu selama ini, ya? Astaga, dia pengecut sekali, wkwkwk.
◆ Ako: Tapi Rusian sempat menolakku ....
◆ Apricot: Serius? Maksudmu, dia sempat bilang, tidak, padamu, Ako? Apa mentalnya sedang terganggu?
◆ Schwein: Huh, orang sepertiku ini tidak akan pernah berbuat begitu kalau di posisinya, wkwkwk. Kenapa bisa ada orang sebodoh itu, wkwkwk?
◆ Ako: Kesedihan mendalam di luar imajinasi terliarku telah mendera diriku ....
"Orang-orang ini ...."
Mungkin sebaiknya kuhabisi mereka yang berkata seenak jidatnya itu bersama dengan rombongan musuh ini.
Aku kemudian berlari dalam kecepatan penuh diiringi pikiran buruk ke tempat sekutuku. Bukan untuk membunuh monster, melainkan untuk menghentikan dialog tersebut.
◆ Ako: Tapi Rusian kemudian berkata, "Tidak perlu menyia-nyiakan uang untuk hal mirip itu," sewaktu saya bersiap melaksanakan enchant pada sebuah cincin. Dan sehabis mengatakannya, dia pun menawarkan cincin berharga sekitar dua puluh juta yang mempunyai imbas peningkatan di setiap statistik ketahanan.
"Uoowaaaaah, cepaaaaaaat!"
Aku berlari sekuat tenaga mendekati sekutuku sebelum gadis itu mengungkapkan lebih banyak hal lagi.
Karakterku dulunya ialah pengguna pedang besar namun kini kebalikannya, pengguna perisai besar, dan mulai berperan sebagai akseptor serangan musuh.
◆ Rusian: Ayo semuanya, mangsa sudah di depan mata!
Serangan bertubi-tubi mengarah padaku selagi saya bertahan. Life point yang berangsur pulih pun pribadi terkikis, dari yang garis ukurannya berwarna hijau kini menjadi kuning.
◆ Schwein: Si penggerutu itu biarpun terus mengomel tapi masih mau mengurusi semuanya, ya, wkwkwk.
◆ Apricot: Lelaki tsundere memang unik.
◆ Rusian: Jangan mengobrol dikala ada yang membawa rombongan monster pada kalian! Ayo urus mereka, Shiu!
Oi, saya yang babak belur di sini, tahu?! Aku bisa mati, tahu?!
◆ Schwein: Jangan ceramahi aku, dasar suami penggerutu, wkwkwk.
Pesan itu muncul dan rekanku dengan pedang besarnya, Shiu — tepatnya, Schwein — mulai menghujani musuh dengan serangan.
◆ Rusian: Bagaimana dengan semua musuh yang kubawakan padamu ini, kampret?
◆ Schwein: Pikirmu serangga-serangga kecil ini bisa membunuh Schwein yang hebat, hah?
Kenapa dia berlagak sombong begitu, padahal dia sendiri tidak akan bisa bertahan dari separuh rombongan ini.
◆ Ako: Selamat datang, Rusian.
Dan waifu-ku, Ako sang Cleric dengan bahagia hati menyapaku.
Tidak, hei, kau ialah healer. Itu bukanlah profesi yang punya waktu bersantai dan mengetik dialog dikala bertempur.
◆ Rusian: Sudahlah, heal saja! Heal, Ako!
Susah payah saya mengurangi jumlah musuh disertai rasa kesal pada rekan-rekanku yang begitu santai.
Meski begitu, garis ukuran yang melayang di atas karakterku ini terus terkikis dengan cepat.
Penanda bahwa life point kurang dari separuh, warnanya berubah dari kuning menjadi merah.
"Oi, oi, oi, heal, ayo, heal!"
Tanda kritisnya kehidupan muncul pada aksara Rusian yang kukendalikan. Kondisinya sudah di ujung tanduk.
◆ Ako: Maaf, Rusian, akan segera kulakukan. Tunggu sebentar!
"Banyak skill yang bisa kau gunakan ketimbang menghabiskan waktu untuk mengetik obrolan!"
Beberapa detik berlalu selagi saya lanjut menggerutu. Kemudian imbas cahaya hijau berkelap-kelip di layar.
Skill penyembuhan bekerja dengan baik.
—tepat di tengah gerombolan musuh.
◆ Rusian: Kamu ini sedang apa?!
◆ Ako: Ma-maaf, Rusian!
Kalau begitu kendalikan karakternya ketimbang mengetik mirip tadi!
Tepat ketika saya pasrah akan kematian, sebuah gelembung dialog muncul di aksara laki-laki berjubah yang berdiri di belakang Ako.
◆ Apricot: Ha-ha-ha, tidak perlu khawatir. Saksikanlah, kekuatan tongkat yang diperkuat seharga 150 ribu yen ditambah magic booster sekali pakai berharga tiga ratus yen yang gratis satu kalau membeli satu set berisi sepuluh!
◆ Rusian: Kenapa menggunakan item berbayar yang jelas-jelas mengeksplotasi penggunanya?!
Itu sangat boros! Lebih baik hentikan!
Meski pikiran mirip itu terlintas, sihirnya terlanjur diaktifkan tanpa sempat dihentikan.
Sebuah ledakan dengan imbas khusus yang unik dari item berbayar, lebih mengesankan daripada yang biasa, ditambah pula imbas bunyi yang menakjubkan. Jumlah damage yang tidak masuk budi menutupi layar.
◆ Ako: Luar biasa, Master. Monster-monsternya hingga berserakan!
◆ Apricot: Ha-ha-ha, inilah kekuatan dari tongkat legendaris!
Atau kekuatan uang — sebuah legenda memalukan.
Tapi dengan item berbayar yang menambah kekuatan pada tongkat berbayar yang sebelumnya sudah punya daya serang tinggi, meteorit yang menghantam area tadi telah meluluhlantakkan seisi gerombolan monster tersebut.
◆ Apricot: Fu-fu-fu, Dalam game ini tidak ada yang lebih menyenangkan selain menghabisi lawan dalam sekali serang.
◆ Rusian: Wah, kau bisa menghabisi monster-monster di sini dalam sekali serang?
Mengetahui seberapa banyak serangan untuk membunuh musuh — terlepas dari sisi keberuntungan — ialah salah satu faktor dalam memaksimalkan efisiensi perburuan monster, terlebih kalau itu hanya butuh satu serangan.
Tapi hal tersebut bukanlah sesuatu yang harus dikejar dalam sebuah area perburuan di suatu tingkat kesulitan.
Apricot-shi, master dari guild -ku — Alley Cats — ialah pengguna barang berbayar kelas berat, bahkan melebihi orang-orang yang ada di guild kelas berat sekali pun.
Jujur saja, hatiku perih hanya dengan menyaksikannya. Memang bukan uangku yang berkurang, tapi masih terasa sakit seolah saya sendiri yang kehilangan.
◆ Apricot: Tentu saja. Item berbayar tadi bukan hanya untuk dipamerkan. Camkan ini, masing-masing meteorit tadi setara dengan tiga puluh batang umaibou.
◆ Rusian: Tiga puluh batang. Satu batangnya seharga sepuluh yen ....
◆ Schwein: Makara rentetan serangan tadi lebih berharga daripada Rusian? Wkwkwk.
◆ Rusian: Aku tidak semurah itu, tahu?!
Seberkas cahaya hijau menyelimuti karakterku selagi kami berbicara.
Efek sihir penyembuh yang telah lama ditunggu. Garis ukuran life point-ku kembali berwarna hijau.
◆ Ako: Maaf. Barusan jadi tertunda lantaran saya mengobrol.
Karakter perempuan berbusana putih yang menundukkan kepalanya berulang kali itu ialah istriku, Ako.
Syukurlah saya tidak hingga mati. Meski begitu, dia masih belum banyak berkembang. Padahal sudah hampir setahun semenjak dirinya mulai bermain.
◆ Rusian: Yang penting jangan asyik mengobrol sewaktu berburu, ya?
◆ Schwein: Amat sangat disayangkan kalau yang mati ialah diriku, tapi kalau Rusian, siapa yang peduli?
◆ Apricot: Bukankah sebagai suami yang baik, seharusnya kau lebih pemaaf? Lain kali berikanlah dia keleluasaan.
Karakter Ako dengan bahagia menepuk tangannya lantaran kata-kata tak bertanggung jawab dari kedua orang tadi.
◆ Ako: Aku mengerti. Kalau begitu, jangan terlalu serius, Rusian!
◆ Rusian : Jangan dianggap remeh! Heal dengan cekatan!
Waduh, serius, ya ampun.
Ini akan bisa lebih kalem kalau healer-nya agak mumpuni.
◆ Schwein: Hei, Rusian, bukankah ucapanmu tadi sudah kelewatan terhadap istri sendiri?
◆ Apricot: Betul, itu bisa dianggap KDRT.
◆ Rusian: Yang tersiksa itu aku! Lagi pula, KDRT itu hanya bekerjasama dengan dilema rumah tangga di duta saja!
Aku bahkan mulai mengomel sambil marah-marah! Mereka terlalu baik pada gadis itu hanya lantaran kami sudah menikah!
◆ Rusian: Omong-omong, sebentar lagi akan kugiring beberapa musuh kemari. Ako, kau tidak perlu memaksakan diri. Usahakan saja supaya saya tetap hidup.
◆ Ako: Baiiik. Aku akan berusaha semampuku.
Jawab Ako dengan bahagia hati.
Tepat sebelum diriku pergi, sebuah bunyi *pikon♪* terdengar diiringi dengan jendela dialog yang terbuka.
◆ Ako: Terima kasih, Rusian.
Lalu dilanjutkan dengan kalimat lain.
◆ Ako: Aku mencintaimu.
Singkatnya, saya tidak bisa menolak.
Sebenarnya saya tidak sanggup untuk kembali menikah lantaran trauma akhir melamar seorang gadis gadungan, namun dia berusaha keras menepis semua alasanku dan menjadikanku seorang pecundang.
Akhirnya saya punya istri di dalam gim.
††† ††† †††
◆ Rusian: Ah, lelah sekali ....
◆ Apricot: Rusian, apa EXP-mu naik?
◆ Rusian: Yah, kurasa begitu.
Kami bahu-membahu kembali ke kota dan kini berkumpul di sebuah kafe yang sudah kami anggap sebagai tempat rapat.
Mebel dengan kayu ukir berkualitas tinggi dan BGM yang damai. Ini ialah salah satu tempat favoritku yang punya suasana menyenangkan.
Seolah merupakan hal wajar, Ako duduk tepat di samping karakterku — Rusian — yang sebelumnya telah duduk di salah satu dingklik kafe tersebut.
◆ Ako: Kerja bagus. Aku sangat menyesal telah membiarkanmu terbunuh berulang kali, Rusian.
Karakter Ako memperlihatkan gelembung dialog selagi kepalanya mengangguk-angguk.
Yang tertulis pada gelembung tadi ialah kata-kata Ako. Tentu saja, gelembung yang muncul membuat setiap orang melihat kata-kata yang sama.
◆ Apricot: Hari ini memang lebih berbahaya dari biasanya, ya?
◆ Ako: Ya-yah ....
Sebuah imbas bunyi lembut *pikon♪* berdering sehabis mengeluarkan kata-kataku. Jendela gres terbuka di layar game pada dikala bersamaan.
Rupanya dialog modus bisikan dari Ako.
Bisikan, wis, tell, ialah istilah bagi orang-orang terhadap jendela percakapan pribadi antara dua pemain yang tidak bisa dilihat orang lain. Berbeda dengan mengobrol menggunakan gelembung percakapan, di sini tidak perlu cemas orang lain akan mengetahuinya.
Ako sering mengirim pesan dialog bisikan bahkan dikala kami sedang bersama orang lain.
◆ Ako: Yah, saya ingin mengobrol lebih banyak denganmu, Rusian, jadi ....
"Lagi-lagi dia melakukannya ...."
Kawan baikku, Ako, yang sudah kukenal selama hampir setahun dalam gim.
Dia ialah istriku.
Bisa saja kusebutkan kasus apa saja yang muncul atas hal tersebut, hanya saja, dia memang istriku.
Kira-kira sudah setahun semenjak pertemuan pertama kami. Kami berkenalan sewaktu saya menawarkan beberapa saran sederhana kepada Ako yang benar-benar tampak mirip pemula. Yah, hal mirip cara log out dan semacamnya. Pemula yang tidak tahu bagaimana mengakhiri gim bekerjsama cukup umum. Tidak selangka itu.
Namun gadis ini — sang pemula sungguhan — melekat padaku layaknya anak ayam yang menganggap hal pertama yang dilihatnya ialah sosok orang tua.
Tepat sehabis agresi bunuh diri pada Nekohime itu, saya meninggalkan guild lamaku dan bermain sebagai seorang solo player yang merana. Lalu entah bagaimana kini tanpa sadar saya menjadi sosok penjaga Ako. Segalanya menjelma mirip ini.
◆ Rusian: Ako, kita sudah menikah, jadi kau tidak perlu berbisik, 'kan? Kita tidak harus merahasiakannya, katakan saja pribadi di depan umum.
Setelah membalasnya melalui bisikan, saya kemudian mendapatkan jawaban Ako selang beberapa saat.
◆ Ako: Sekarang saya ... berbicara pribadi ... ke dalam ... hatimu ....
◆ Rusian: Oooi, Ako?!
◆ Ako: ... ini tidak sama ... mirip mengobrol dengan ... anggota guild lain .... Perhatikan istrimu .... Istrimu .... Istrimu ....
◆ Rusian: Perhatikan aku!
Yah, dia terbawa pikirannya sendiri. Tapi faktanya, saya tidak pernah bosan dengannya.
Baik ketika dia sedang punya masalah, menemukan sesuatu yang menarik, tertarik akan sesuatu atau punya hal untuk dibicarakan, dia akan menceritakannya kepadaku. Itulah tipe aksara perempuan miliknya.
Bukan perempuan dalam arti harfiah, namun hanya sekadar aksara perempuan.
Aku tidak tahu mirip apa individu yang memainkannya.
Terus terang, saya yakin kalau itu bisa saja seorang lelaki.
Sebaliknya, saya yakin tidak ada gadis sungguhan dalam sebuah gim daring.
Tidak, saya sadar mereka ada di suatu tempat dalam dunia gim daring yang luas ini, tahu? Mungkin saja ada satu di sekitarku. Iya, 'kan? Tentu saja, ada kemungkinan kecil kalau Ako memang seorang gadis. Iya, 'kan? Tapi saya tidak ambil pusing. dalam gim, saya ialah Rusian dan Ako ialah Ako. Bukan seorang perempuan, melainkan aksara perempuan.
Gim dan duta ialah hal berbeda. Sama sekali tidak berhubungan. Itulah sebabnya ada aksara laki-laki dan aksara perempuan di sana, bukanlah laki-laki dan perempuan dalam arti sebenarnya. Begitulah dalam benakku.
Ini yang terbaik untuk kami berdua, sekaligus untuk kesehatan mental kami.
—Lagi pula, tidak mungkin saya akan serius menyatakan perasaanku pada seseorang yang ternyata di dalamnya ialah lelaki.
◆ Schwein: Tetap saja, Rusian, perkembanganmu akan melambat kalau melawan beberapa musuh saja sudah nyaris mati, wkwkwk.
Begitulah, Shiu menyatakannya dengan gembira sekembalinya kami dari menghitung item yang sudah dikumpulkan.
Dia selalu saja menyombongkan dirinya atau semacam itu, walau ternyata dia ialah sosok tekun yang bisa menangani pembagian item sehabis kami selesai berburu. Sisi seriusnya yang sesekali muncul itu kadang menggemaskan.
◆ Rusian: Dasar lisan besar, bagaimana kalau kau gantikan posisiku?
◆ Schwein: Eh, kau serius? Kamu serius bilang begitu? Lihatlah nanti dan pelajari, akan kupancing mereka semua di kesempatan berikutnya.
Ujar Schwein sembari melaksanakan gerakan penuh semangat.
Ako pun dengan antusias bertepuk tangan.
◆ Ako: Sang penahan serangan sudah serius! Sekarang kita bisa menang!
◆ Schwein : Tidak, saya tetap menggunakan pedang.
◆ Rusian : Ako, apa kau serius menyampaikan itu?
Ya. Tidak mungkin ada seorang gadis berkata mirip tadi.
Intinya, gim daring dan kenyataan itu berbeda. Aku tidak begitu ambil pusing.
"Yah, sudah kuperkirakan."
Kuterima kepingan jarahan dari perburuan kali ini sambil menghela napas.
Terus saja mirip ini. LA memang tidak cukup bersahabat bagi para pemula. EXP akan terus berkurang akhir penalti kematian. Kami mengalahkan semua monster hari ini, namun penalti final hayat merampas semua EXP yang kuperoleh. Yang kudapatkan hanyalah uangnya saja.
Bukannya saya terlalu peduli dengan yang diriku dapatkan, lantaran tujuanku ialah bermain dengan semua orang.
◆ Apricot: Astaga, kalian berdua terus saja melekat hari ini.
Master berbicara dengan pandangan yang mengarah ke aksara kami.
◆ Rusian: Menempel? Bukankah biasanya juga begitu?
◆ Apricot: Jika itu sudah biasa, berarti ini semakin menandakan rasa saling mengasihi kalian. Benar, bukan? Sudah hampir setahun semenjak kita semua saling mengenal, tapi kalian berdua selalu seakrab ini. Bisa-bisa jadi sungguhan.
Master mengangguk di layar. Hentikan, ini akan terasa memalukan kalau mulai berbicara soal cinta dalam gim yang mempunyai sistem pernikahan.
◆ Rusian: Ini tidak mirip itu. Aku serius.
◆ Schwein: Kenapa kau jadi malu-malu begitu? Huh, dasar riajuu sialan.
Selesai dengan pembagian emasnya, Schwein mengucapkan itu sambil mengangkat pedangnya.
Dia sedang apa? Entah kenapa sistem ijab kabul dalam gim bisa mendapat perlakuan mirip itu.
◆ Rusian: Kamu ini bicara apa? Yang mirip itu tidak lebih sekadar pencapaian dalam kehidupan gim daring.
◆ Schwein: Benar juga ..., eh, tunggu dulu. Aku nyaris menjadi mirip mereka. Soalnya ada yang menyatakan perasaannya padaku beberapa hari lalu.
◆ Apricot: Oh, terdengar menarik.
◆ Rusian: Serius?! Shiu, jangan-jangan kau memang seorang lelaki tampan?!
Aku jadi iri. Dia memperoleh nasib yang jauh lebih baik daripada diriku.
Sial, lelaki ganteng sebaiknya mati saja—
◆ Ako: Argh, Shiu-chan, sebaiknya kau mati saja.
◆ Rusian: Eh?
◆ Schwein: A-Ako?
Tidak mirip biasanya, Ako yang di sampingku ini tampak emosi.
Bahkan dia melanjutkan perkataannya tanpa menghiraukan kebingungan kami.
◆ Ako: Kenapa semua riajuu sialan itu tidak mati saja? Kenapa mereka masih berada di gim ini kalau sudah mendapat pernyataan cinta? Mereka harus segera enyah dari gim ini. Ada di sekitar mereka saja sudah membuatku depresi. Argh, tidak bisakah orang-orang itu punah saja dari muka bumi? Mereka tidak ada gunanya bagi dunia, fufufufufufufufu.
◆ Rusian: Ako, tenang, tenanglah!
◆ Schwein: Aku tidak mengiyakannya, saya menolaknya! Aku tidak peduli dengan hal-hal berbau romansa!
◆ Ako: Fuhi fuhi fuhihihihi.
◆ Rusian: Sadarlah!
Aku membujuk Ako untuk menenangkan diri.
Ya, benar, istriku terkadang bersikap aneh.
◆ Rusian: Sama sepertimu, saya juga membenci para riajuu, tapi jangan hingga tertuju ke rekan sendiri.
◆ Ako: I-iya, saya minta maaf.
Ako sedikit menundukkan kepalanya.
◆ Schwein: Aku juga begitu, kok, wkwkwk.
◆ Apricot: Aku paham sekali maksudmu.
Kami hingga pada kesepahaman yang luar biasa.
Kenapa kami semua malah bersatu lantaran cemburu terhadap mereka yang riajuu? Arah dan pandangan guild ini sudah menyimpang.
Tapi justru lantaran itu kami bisa akrab. Mereka semua orang yang baik. Mungkin kami hanyalah sebuah guild yang berisi empat anggota, tapi berkat merekalah saya bisa menikmati game ini.
◆ Apricot: Kesimpulannya, di antara kita, Ako dan Rusian-lah yang paling dekat, bukan?
◆ Ako: Tidak mirip itu juga. Pada awalnya itu sangat kacau. Dengarkan saya dulu!
Ako pribadi bereaksi.
Karakternya berbalik menghadapku kemudian mengeluarkan sebuah pesan dialog sambil mendekapkan kedua tangannya di dada, seolah ingin menarik perhatianku.
◆ Ako: Rusian menolak pernyataan cintaku berkali-kali. Sampai-sampai umurku terkikis akhir stres!
◆ Rusian: Tapi alhasil kuterima juga, 'kan?
◆ Ako: Ini perihal proses, bukan tujuannya!
Oh, rupanya istriku pintar bicara.
Tapi saya sudah punya cara sendiri kalau hal tersebut terus dibahas.
◆ Rusian: Baiklah, saya mengerti. Kalau begitu, kita ulangi saja dan mulai kembali ke awal status hubungan kita.
◆ Ako: Aku tidak serius, maaf, jangan ceraikan aku. Kumohon, jangan campakkan aku!
Ako mengalah dalam sekejap.
Meski begitu, saya suka cara dirinya menampakkan kepribadian aslinya.
◆ Schwein: Ya, inilah masalahnya.
Gelembung dialog Shiu muncul seakan ingin melindungi Ako.
◆ Schwein: Rusian, kau bilang kalau kau sempat menolak lamaran Ako? Kamu serius? Aku sadar kalau saya bukanlah orang yang pantas berkata mirip ini, tapi yang masuk akal ialah kau tidak akan bisa mendapatkan gadis ini kecuali penghasilanmu berkisar milyaran. Paham?
◆ Ako: A-aku tidak sehebat itu ....
Ako pun meringkuk di balik gelembung besar lantaran malu.
Kenapa dia malah malu-malu? Lagi pula tidak ada yang memujinya. Justru dia diperlakukan mirip aksara perempuan mata duitan.
◆ Apricot: Aku juga penasaran. Apa yang menghalangimu, Rusian? Bukankah selama ini kalian selalu dekat?
Master ikut bergabung dalam tanya jawab ini.
Jujur saja, saya lebih suka tidak menceritakannya.
Tapi rasanya tidak sopan kalau tidak menjawab dikala ditanya. Aku kemudian mengetik di kiborku.
◆ Rusian: Aku tidak membenci Ako, sistem ijab kabul dalam gim ini maupun hal semacamnya. Maksudku, ini hanya sebuah gim, paham, sebuah gim. Ini bukanlah kehidupan konkret atau semacamnya.
Karena itu saya sempat menolaknya.
Aku tidak membantah kalau saya juga memikirkan Ako yang bekerjsama hanya ingin memperdalam hubungan kami lewat lamaran tersebut, tapi tetap saja, saya jadi ragu kalau itu berkaitan dengan pernikahan. Yah, contohnya yang menyangkut Nekohime-san dikala itu.
◆ Schwein: Apa maksudmu berbeda dari kehidupan nyata? Bukan berarti kau mungkin akan menikah juga di duta, setidaknya kau akan mendapatkan pengalaman itu di sini, Rusian.
◆ Rusian: Bagaimana kalau itu menyangkut batas-batas yang tidak boleh kau langgar?!
Ada hal yang bisa dikatakan, dan ada pula yang tidak!
Aku juga punya sisi sensitif, tahu?!
Dan seakan ingin menahan argumenku, pesan dialog dari Ako muncul di layar.
◆ Ako: Oh, iya, ternyata itu. Aku mendengar ini dari Rusian, dan rupanya dulu dia pernah melamar seorang pria.
◆ Rusian: Ap—
◆ Schwein: Wah, wkwkwk.
◆ Apricot: Yang benar?!
Waduh, Ako?! Kamu sungguh mau menceritakannya?! Semudah itu?!
Kamu akan mengungkap malu suamimu begitu saja, hah?!
◆ Schwein: Tidak kusangka kalau dia homo, wkwkwk. Jangan khawatir, saya tidak akan berpikiran sempit hingga mengucilkanmu lantaran hal tersebut, wkwkwk.
◆ Apricot: Aku pun berpikir demikian. Tidak masalah, Rusian, kau tidak perlu resah. Kita ialah rekan. Ah, tunggu, jaga jarakmu, kalau tidak, akan kukeluarkan kau dari guild.
◆ Rusian: Mana hati nurani kalian?!
Shiu dan Master berbicara dengan penuh tawa hingga memenuhi layar.
Ah, sial, ini menyebalkan. Mereka menerimanya begitu saja hingga membuatku merasa tidak nyaman!
◆ Rusian: Bukan begitu. Hanya saja, yah, beginilah.
◆ Schwein: Begini?
◆ Rusian: Hmm, yah, itu.
◆ Apricot: itu?
◆ Rusian: Itu bukan hal penting.
◆ Schwein: Kami tidak akan tertawa. Ceritakan saja.
◆ Apricot: Semua akan baik-baik saja, tidak perlu cemas. Percayalah pada master guild -mu
◆ Ako: Tidak apa-apa, Rusian, semuanya akan mendengarkan.
Master, Shiu dan Ako, masing-masing mendesakku.
Ah, saya tidak ingin menceritakannya. Aku tidak mau, tapi apa boleh buat. Iya, 'kan?
◆ Rusian : Yah, itu hanya ..., dulu saya memang pernah melamar seorang hode kemudian ditolak mentah-mentah. Begitu ....
◆ Schwein: Wkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwk.
◆ Apricot: Wkwkwk.
◆ Rusian: Sudah kuduga kalian akan tertawa!
Dan saya pun ditertawai hingga membuat diriku cukup tertekan segera sehabis mengetik hal tersebut.
Aaargh, seharusnya saya memang tidak usah menceritakannya!
◆ Schwein: Ini di luar perkiraanku. Perutku benar-benar jadi mulas. Wkwkwk, sulit mengetik sambil tertawa begini, wkwkwk.
◆ Apricot: Ini pertama kalinya saya memuntahkan kopi di duta. Kamu hebat, Rusian. Tidak kusangka kau menyembunyikan sesuatu semenakjubkan ini.
◆ Rusian : Makara kalian anggap ini lucu?!
◆ Schwein: Makara kau benar-benar melamar seorang hode? Ini sudah lebih parah dari segala kekhilafan remaja, tahu?
◆ Apricot: Sebuah kenangan masa muda, ya?
◆ Rusian: Kumohon, lupakan itu!
◆ Schwein: Mana bisa?
◆ Apricot: Aku terlanjur mengambil tangkapan layarnya.
Kalian memang busuk!
Kembalikan perasaan hangat dan nyaman yang kurasakan sewaktu memikirkan kebaikan kalian!
◆ Schwein: Akan kusimpan gambar ini dengan judul [7.13 Insiden Lamaran Rusian Hode].
◆ Rusian: Oi, itu bukan insiden yang terjadi hari ini! Cepat hapus!
Kampret, kenapa malah terdengar mirip saya hode -nya?!
Tetap saja, matinya kebenaran itu terasa menyakitkan.
Seleraku sama normalnya dengan mereka, jadi ketika menyangkut ijab kabul ataupun asmara, penting bagiku kalau pihak lawanku itu berbeda gender. Sulit rasanya membisikkan kata-kata cinta kepada seseorang yang mungkin bekerjsama ialah lelaki.
Tapi tetap saja, saya sepakat untuk menikah dengan Ako berdasarkan obsesiku terhadap anggapan kalau gim dan duta itu berbeda.
Syok yang kualami sehabis serius melamar seorang hode dua tahun kemudian begitu membekas hingga membuatku pribadi meninggalkan guild dan menentukan solo play selama hampir setahun.
Ada satu kebenaran yang memacuku untuk mendapatkan kembali tekad di tengah semua itu.
"Itu ialah ... prinsip siapa yang peduli asalkan dia manis!"
Kukepalkan tinjuku di depan layar.
Seperti itulah agungnya sebuah kebenaran itu.
Bahkan kalau pihak lain ialah lelaki di duta kemudian berakting sebagai perempuan dalam gim, siapa yang peduli asalkan dia manis? Akan kunikmati kemanisannya itu hanya dalam gim. Bahkan kalau itu berasal dari seorang hode.
Ya, saya tidak akan terpedaya. Diriku telah tercerahkan oleh kebenaran ini di dalam gim!
—yah, lantaran alasan itulah saya pun berkompromi dalam hati. Gim dan duta itu berbeda. Sepenuhnya tidak terkait. Itulah prinsipku sekarang.
Tidak adil kalau saya menggunakan logika, Hode, ya? Jelas saya tidak mau menikahimu, iya, 'kan? Ako ialah Ako, jadi meski dia lelaki di duta, kenapa saya harus melihatnya sebagai lelaki?
Pada alhasil saya bisa mengatasi rintangan ini.
Di samping itu,
◆ Ako: Rusian, kau marah, ya? Apa seharusnya saya tidak menceritakan hal ini?
*pikon♪* Obrolan modus bisikan dari Ako pun muncul.
◆ Rusian: Ah, jangan khawatir. Sebenarnya saya sudah siap untuk diolok-olok.
◆ Ako: Terima kasih, Rusian.
Sambil menunggu sebentar sehabis pesan dialog itu terpampang,
◆ Rusian: Aku mencintaimu.
Tepat ketika kata-kata itu ditampilkan, beberapa ikon hati melayang dari Ako.
Maksudku, lihatlah, kemanisannya saja sudah cukup. Iya, 'kan?!
"... te-tenang, tenanglah, diriku. Kamu sudah pernah mengalami ini. Kamu akan menyesalinya kalau terlalu terbawa perasaan ....!"
Tarik napas, hembuskan, tarik lagi, hembuskan.
Tarik napas dalam-dalam kemudian tenangkan diri.
Gadis berambut hitam dengan jubah putih itu sedang duduk di samping karakterku. Ini hanya avatar, tidak lebih dari sebuah bentuk representasi dalam gim. Tidak sehat kalau jantungmu dikala di duta berdetak lebih cepat lantaran hal tersebut.
◆ Apricot: Begitu. Rupanya itu yang membuatmu sempat ragu, ya?
Dengan sikap yang tenang lantaran mungkin sudah puas tertawa, Master menyampaikan itu sambil mengangguk.
Aku tidak begitu ambil pusing. Siapa yang peduli dengan duta? Jujur saja, saya memang tidak terlalu peduli perihal itu.
Maksudku, tentu kurasa akan lebih baik kalau orang yang memainkannya ialah perempuan sungguhan. Kalau memang dia bukanlah lelaki, akan kuanggap Ako ialah seorang gadis yang baik. Kalau memang dia bukanlah lelaki, ini akan menjadi perasaan menyenangkan lantaran ada gadis yang menyukaiku, bahkan kalau itu hanya di dalam gim. Kalau memang dia bukanlah lelaki— tapi niscaya bukan itu. Pikir realistisnya saja. Apa memang ada gadis yang menggunakan, "Fuhihihihi," sebagai tawanya?
Bahkan kalau ada kemungkinan satu banding sejuta bahwa dia ialah perempuan, apa mungkin kami berdua seumuran?
Lalu kubayangkan gadis-gadis di kelasku bermain gim daring .... Ya, itu mustahil.
Ah, dilihat dari sisi mana pun, itu mustahil.
◆ Ako: Tapi saya dianggap sebagai perempuan, 'kan?
Sanggah Ako yang mungkin membaca suasana di sini.
Hei, apa maksudnya dengan dianggap tadi?
◆ Ako: Aku memang seorang Cleric di LA, tapi dalam kehidupan nyata, saya semacam gadis kutu buku.
◆ Schwein: Oi, tunggu. Memberitahukan hal itu di percakapan terbuka bisa melanggar hal paling tabu dalam gim daring.
Tegur Shiu.
Informasi mengenai duta, apalagi mengingat dia seorang perempuan, terperinci akan menjadi salah satu tindakannya yang paling tidak bisa diterima.
◆ Ako: Begitukah?
◆ Rusian: Benar. Sebaiknya jangan kau ulangi lagi.
Aku ikut menasihati Ako yang kini menatap kosong.
Syukurlah kafe tempat kami berada kini bertempat di wilayah sepi meski letaknya ada di kota.
◆ Apricot: Siapa peduli kalau itu tabu? Aku gres saja akan mengungkap kalau diriku ini seorang gadis Sekolah Menengan Atas di duta.
Ujar Master sambil tertawa mendengus.
Gadis Sekolah Menengan Atas di kehidupan nyata— Master ternyata seorang murid SMA.
Pengguna barang berbayar kelas berat yang konyol ini, yang sepenuhnya menggunakan perlengkapan berbayar, yang melaksanakan power up dengan banyak sekali item berbayar selama pertempuran dan si pemboros item pemulih berbayar sewaktu nyaris mati itu ialah seorang gadis SMA?
◆ Rusian: Master, itu tidak mungkin.
Karena sulit memercayai betapa mengerikannya hal itu, saya melontarkan jawaban jujur.
◆ Apricot: Tidak kusangka akan ditanggapi mirip ini, padahal saya telah mengumpulkan keberanian hingga melanggar hal yang tabu. Namun entah kenapa ini terasa bagus.
◆ Schwein: Master, itu mustahil.
◆ Apricot: Kamu juga, Schwein?
◆ Ako: Master, itu sungguh tidak mungkin.
◆ Schwein: Semuanya tidak memercayaimu, tahu?
Pemakaian barang berbayar seekstrim itu tidak mungkin berasal seseorang yang biasa. Gadis Sekolah Menengan Atas macam apa yang dia maksud tadi? Jangan konyol.
Pikirnya seorang perempuan yang bisa seenaknya menghabiskan lebih banyak uang ketimbang lelaki, yang biasanya bisa merogoh uang sebesar itu akan membuat diriku yang murid Sekolah Menengan Atas ini iri?
◆ Apricot: Biarpun begitu, saya mengerti. Aku paham kekhawatiranmu, Rusian.
◆ Rusian: Tidak, saya tidak menyampaikan apa-apa?
◆ Apricot: Ya, ya, saya sadar semua orang akan berpikiran begitu.
Dari tadi tidak ada yang membahas itu.
Sambil dengan santainya mengabaikan pendapatku, Master kemudian melanjutkan,
◆ Apricot: Baiklah! Mari kita adakan!
Kemudian kata-kata berukuran besar muncul di atas kepala Master.
[Kopi darat ke-1 Guild Alley Cats ... Telah Diputuskan ...?]
Dengan ekspresi hampa, kubaca kata-kata tersebut.
Omong-omong, ada kembang api yang meletus berbarengan kemunculannya. Padahal kami sedang di dalam ruangan.
◆ Apricot: Mari tepuk tangan!
◆ Rusian: Master, pesan dialog yang besar dan kembang api tadi itu item berbayar, 'kan?
◆ Apricot: Mari tepuk tangan!
*prok prok prok* Semua orang mulai melakukannya tanpa sadar.
Eh, tunggu, kopi darat?
Kopi darat itu ... maksudnya bertemu kenalan daring secara luring, atau dengan kata lain, bertemu di duta?
Kenapa bisa mengarah ke situ? Apa itu serius?
◆ Apricot: Menurutku kita harus mengadakan program untuk memperingati satu tahun berdirinya guild kita. Bagaimana kalau kita memanfaatkan kesempatan ini dengan mengadakan kopi darat pertama?
◆ Schwein: Yah, walau dimintai tanggapan— tetap saja ini sudah diputuskan. Iya, 'kan?
Master kemudian berbicara sehabis Shiu menyela pesan obrolannya.
◆ Apricot: Begitulah!
◆ Schwein: Wah, apa ini sebuah kediktatoran?!
Master ialah Master, memang mirip itu adanya.
Tetap saja, tetapkan secara sepihak masih bisa dibenarkan, tapi ....
◆ Schwein: Hmm .... Omong-omong, apa semuanya ikut?
Shiu mengatakannya dengan sedikit gusar.
Suasana hatinya tergambar terperinci lewat kata-katanya dalam dialog tadi.
◆ Ako: Kopi darat, maksudmu, bertemu dengan semuanya?
Entah kenapa Ako tampak ragu. Kecurigaanku selama ini terwakili lewat kata-kata barusan. Sosok orisinil di balik sebuah aksara akan terungkap kalau saling berkomunikasi langsung. Iya, 'kan?
Meski begitu, saya sendiri belum cukup siap untuk ini.
Soalnya, yah, saya tidak peduli apa Ako bekerjsama lelaki atau perempuan. Gim dan duta itu berbeda. Bagiku itu sebuah prinsip mutlak. Karena alasan itulah saya menikahinya.
Namun itu tergantung hasrat diriku yang ingin mengetahui kebenarannya atau tidak. Iya, 'kan?
Andai saya harus memastikan bahwa istriku memang seorang hode dan kebenaran di balik itu ialah hal terpenting ..., maka tingkat kesulitannya mungkin terlalu tinggi untuk diriku yang masih remaja ini.
◆ Rusian: Bukankah kita semua tinggal di tempat yang berbeda? Akan sulit kalau mau mengumpulkan orang-orang, 'kan?
Ragu-ragu saya menentangnya dengan kesan pesimis.
Guild ini jarang membahas perihal duta. Sebisa mungkin kami menghindari dilema duta — terutama yang berkaitan dengan jenis kelamin. Aku sendiri hampir tidak pernah menyinggungnya, dan saya juga tidak ingat kalau Ako, Shiu maupun Master berusaha untuk mendekati topik itu.
Akan tetapi, Master berkata,
◆ Apricot: Fufufu, jangan remehkan diriku. Aku sudah memperkirakannya berdasarkan reaksi kalian terkait dengan perubahan cuaca atau topik di televisi lokal. Pertama, kalian semua terperinci berada di wilayah Kantou.
Ucapnya dengan tegas.
Ya, benar, saya memang tinggal di wilayah Kantou.
Benar, dialog kami semua mungkin saling terhubung setiap kali cuaca sedang hujan ataupun ketika terjadi gempa bumi dan semacamnya.
◆ Schwein: Hei, saya tidak akan mau ke tempat semacam Akihabara meski kau paksa.
◆ Rusian: Betul. Sulit kalau kau mengadakan kopi darat di Tokyo.
◆ Apricot: Aku tahu. Ini sesuai perkiraanku kalau kalian semua masih murid sekolah.
Hmm, jadi itu sudah diperkirakan juga, ya? Yah, mungkin saya telah menyebutkan hal-hal mirip waktu login-ku yang tidak teratur lantaran ahad depannya ada ujian dadakan.
◆ Rusian: Tidak kusangka kau begitu memperhatikannya, Master .... Rasanya agak menakutkan.
◆ Apricot: Itu masuk akal bagi seorang master guild. Jangan khawatir, dengan wewenangku sebagai master, kuperintahkan untuk mengadakan pertemuan di stasiun yang paling dekat dengan tempatku.
◆ Ako: Kamu otoriter, Master!
◆ Apricot: Terserah mau bilang apa. Kita akan mengadakannya ahad ini! Datanglah ke Stasiun Maegasaki pada hari itu kalau kalian mau.
"Dekat sekali!"
Tanpa sadar saya mengucapkan itu di depan monitor.
Mengejutkan. Itu juga stasiun yang paling dekat dari rumahku. Aku bisa hingga ke sana dengan bersepeda.
Tapi saya ragu akan ada orang selain Master dan saya yang mau berkumpul di stasiun sesepi itu — yang mungkin terasa lebih tenang. Setidaknya dia bisa saja akan mentraktirku makan.
Kuketik kiborku dengan suasana hati yang entah kenapa mulai terangkat.
Segera sehabis menekan tombol Enter, muncul gelembung di atas aksara Ako, Shiu dan diriku secara bersamaan.
◆ Rusian: Pasti itu dekat rumahmu, Master. Aku bisa ke sana.
◆ Schwein: Aku tidak keberatan. Tapi tetap saja itu tidak pernah berjalan lancar.
◆ Ako : Aku sepakat saja. Tapi apa kau yakin kalau diadakan di tempat itu?
.... eh?
◆ Rusian: Eh?
◆ Schwein: Eh?
◆ Ako: Menyeramkan.
Sekali lagi, tiga pesan dialog kami muncul di waktu bersamaan.
◆ Apricot: Baiklah, semuanya setuju. Senang mendengarnya.
◆ Schwein: Eh, tunggu .... Berarti semuanya di sini tinggal berdekatan?
◆ Schwein: Tidak kusangka ....
Ini bukan lelucon, 'kan?
Aku pribadi terbengong, tampak keheranan.
Serius? Bisa saja kita pernah saling berpapasan di stasiun atau semacamnya?
Internet itu ternyata sempit, ya?
◆ Apricot: Baiklah, lantaran sudah setuju, pastikan kalian datang, ya?!
◆ Ako: Ba-baik. Aku ialah seorang laki-laki yang memegang kata-katanya. Aku akan bertanggung jawab atas apa yang diriku ucapkan!
Kata-kata itu muncul pada gelembung yang terpampang di atas Ako.
◆ Rusian: Eh, yang barusan itu ....
◆ Ako: Tidak, itu hanya kiasan saja!
Aku mendengar sesuatu yang berbahaya. Sesuatu yang benar-benar berbahaya.
Ah, saya jadi tidak mau pergi.
◆ Apricot: Istrimu akan datang, jadi sang suami juga akan ikut, bukan?
◆ Rusian : A-ah ..., baiklah.
Tidak mau. Aku benar-benar tidak mau. Aku amat sangat tidak mau. Tapi itu sudah tidak bisa ditarik lagi. Aku hanya perlu meneguhkan tekadku.
◆ Apricot: Tentu saja saya juga akan datang, jadi jumlahnya sudah tiga orang. Lalu bagaimana denganmu, Schwein?
◆ Schwein: Tidak, saya ..., argh ..., apa itu harus? Apa kita memang harus melakukannya?
◆ Apricot: Kamu tidak usah terlalu merepotkannya, Schwein. Kalau mau, datanglah. Kalaupun tidak mau, kami tidak akan menjelekkanmu. Tapi tidak ada ruginya pula kalau kau ikut, bukan?
◆ Schwein: Eng ..., sial. Baiklah.
Bahu Shiu pribadi terturun sewaktu dirinya mengangguk.
Yah, seharusnya dia baik-baik saja kalau masih punya ketenangan untuk menggerakkan karakternya. Barangkali begitu
◆ Apricot: Dan mempertimbangkan kesibukan kalian sebagai murid sekolah, kita akan berkumpul pukul 12 siang hari Minggu ini. Biar saya yang menentukan tempat mengobrol setelahnya. Fufufu, saya sangat menantikan ini.
◆ Rusian: Oke ....
Kami membalas kata-kata ceria Master tersebut dibarengi perasaan sedih.
Kami akan bertemu?
Kami akan benar-benar bertemu?
Apa saya benar-benar harus bertemu — dengan istriku?
††† ††† †††
Akhir pekan pun tiba.
Hari kopi darat pertama untuk guild Alley Cats.
Aku tidak tahu cara menata rambutku dengan benar layaknya murid Sekolah Menengan Atas yang pintar bergaul dikala berdiri di depan cermin sebelum menuju ke tempat pertemuan.
Entah apa ini lantaran peduli terhadap kesan mereka atau lantaran rasa gugup hingga membuatku tiba lebih awal dari jadwal sehabis beberapa menit bersepeda.
"Baiklah, terserah apa yang akan terjadi nanti. Yang penting ..., saya sudah hingga ke sini."
Lalu kukirim pesan ke semua orang dengan ponsel-ku.
[Aku sudah sampai. Hubungi saya kalau kalian sudah di tempat.]
Setelahnya, kupandangi lingkungan sekelilingku. Ini ialah stasiun kecil, tapi tetap saja, ada beberapa orang yang tampak sedang menunggu layaknya hari Minggu pada umumnya.
Apa laki-laki mencolok di sana? Atau laki-laki dengan jas? Atau mungkin lelaki dengan seorang gadis itu? Atau bisa saja gadis berambut twintail di sana.
Dan jawaban tiba disertai bunyi *pikon♪*.
Sepertinya yang lain sudah dekat. Rupanya mereka juga sudah sampai.
Be-begitu. Makara mereka sudah di sini. Di dekat sini.
Apa pada alhasil kami memang harus bertemu? Rekan-rekan yang bertarung di sisiku selama setahun ini?
Begitu pula istriku.
Bukan, istriku — yang mungkin seorang lelaki.
Tapi, bukankah situasi ini terlalu aneh? Kenapa saya malah takut bertemu istriku — yang mungkin seorang lelaki — untuk pertama kalinya?
Aku ingin menelepon, tapi malah jadi gugup. Ah, yang penting kabari saja yang lainnya.
[Aku menggunakan kemeja putih dengan celana jin, sepatuku cokelat muda. Aku ada di depan stasiun dekat patung .... Selesai]
Aku mengirim pesan itu diiringi detak jantung yang kencang.
Balasan tiba tidak lama setelahnya. Dari ketiga orang pada dikala bersamaan.
Aku gundah menentukan pesan siapa yang harus kulihat terlebih dulu. Akhirnya kuputuskan lebih baik menentukan istriku saja, Ako.
Pesan Ako berbunyi, [Aku mengenakan mantel hitam dengan kemeja putih, rok—]
Terasa sensasi seseorang menepuk punggungku sewaktu saya hendak menggulir layar ponsel untuk membaca kelanjutannya.
Dengan diiringi bunyi lembut,
"Eng ..., Rusian?"
"Eh ..., wuaaah ...."
Suaranya bening bagaikan dering lonceng.
Seorang gadis. Itu bunyi seorang gadis.
E-eeeh, ada gadis di guild -ku?! Siapa?!
Dan yang barusan itu, sial, rasanya benar-benar memalukan dipanggil dengan nama aksara gimku!
Bisa mati saya kalau ada sahabat sekelas yang melihat dan mendengarku dipanggil dengan nama kebarat-baratan tadi!
"I-iya, saya Rusian ...."
Dengan kaku saya berbalik diiringi rasa gelisah.
"Se-selamat siang."
Berdiri di sana, seorang gadis yang memandangku dengan agak ketakutan.
Rambutnya hitam sepanjang bahu, dan meski wajahnya tersembunyi lantaran poninya yang panjang, saya bisa melihat cerminan diriku melalui matanya yang besar dan gemetar lantaran kegelisahan. Dia terlihat lebih cocok membaca buku di suatu perpustakaan daripada bermain gim ataupun pergi keluar di hari libur begini.
Dirinya mengenakan mantel hitam dengan blus putih dipadu rok berwarna putih.
"Eng ..., a-aku Ako"
Ucap gadis itu dengan terbata.
Ako, ah, jadi dia Ako. Aku selalu bertanya apa memang guild kami punya anggota perempuan, namun tidak disangka itu Ako. Sungguh mengejutkan, rupanya ini istriku.
—tunggu, bukan itu!
Ako memang istriku, 'kan?
"Ako? Ako?! Eeeh?!"
Ako? Dia? Perempuan ini?!
Tanpa sadar saya menilik pesan yang tadi.
[Aku mengenakan mantel hitam dengan kemeja putih, rok putih, dan sudah hingga juga.]
O-oh.
Jika tidak ada om-om yang tiba kemari dengan berpakaian mirip waria, maka gadis ini memang Ako.
".... ka-kamu benar-benar Ako?"
"I-iya."
Se-serius? Dia benar-benar seorang gadis di kehidupan nyata?!
Dan, wuaaah, kalau dilihat lebih dekat sekarang, dia punya wajah manis yang tersembunyi dari balik poninya itu. Bagian-bagian pada wajahnya tampak menarik terlepas dari tubuhnya yang ramping. Caranya menatapku dengan sedikit ketakutan, membuatnya terlihat begitu imut mirip hewan kecil yang perlu dilindungi.
Gadis ini, istriku?
Orang yang tertawa bersamaku dikala membahas hal-hal terbelakang dan saling bertukar lawakan konyol di tiap harinya?
Orang yang pergi berburu monster denganku dan terkadang, malah diburu oleh mereka?
Orang yang pernah kumarahi, orang yang juga pernah murka padaku, orang yang kumanjakan, orang yang menangis dikala kuabaikan?
Dan orang yang selalu memberi tahu bahwa dirinya mencintaiku — itu ialah Ako?
Gadis ini?
"Ti-tidak-tidak-tidak, tenang, tenanglah, diriku"
Gumamku belakang layar sembari mengalihkan pandangan menjauhi Ako yang sedang menengadah ke arahku.
Jangan, tetaplah tenang, diriku.
Dia memang istrimu, tapi itu hanya dalam gim, ini hanyalah pertemuan pertama kalian. Benar, dia gadis yang pertama kali kau temui. Sekarang bersikaplah sopan dan berusahalan menanggapinya mirip seorang pria.
"eng, bahagia bertemu denganmu, Ako-san, aku—"
"Jadi ini Rusian .... Rusian-nya hidup!"
Kata-kata gadis itu membenamkan ucapanku.
Hi-hidup?!
"Apa maksudmu hidup?! Terdengarnya mirip saya ini biasanya mati!"
"!"
Gadis itu gemetar lantaran jawaban spontanku.
Ah, saya mengacaukannya — atau begitulah pikirku sejenak sebelum gadis itu menenang.
"Itu, yah, biasanya itu lewat monitor, jadi ... rasanya mirip Rusian setengah beku."
"Kenapa saya malah terdengar mirip sherbet setengah beku?!"
"Aku juga suka es krim yang agak meleleh"
"Kenapa jadi mengarah ke sana? Ah, pusing!"
Kenapa saya malah berdebat dengan gadis yang gres saja kutemui?!
Ah, ini Ako! Tidak ada lagi yang bisa mengabaikan kata-kataku dengan sebegitu luar biasanya!
Mungkin orang lain pun akan percaya. Tubuh Ako mulai lepas dari ketegangan dan mulai tersenyum kecil.
"Wah, ini Rusian! Ini benar-benar Rusian!"
"Tolong jangan sebut nama itu berkali-kali, sungguh, saya mohon padamu."
Bunuh saja diriku, saya tidak tahan dengan rasa malu lantaran nama aksara gim daring-ku berulang kali disebut di depan stasiun ini.
Aku gres saja memikirkannya, namun kalau ada sahabat sekelasku melihat ini—
"Ru-Rusian ...?"
"Iiih?!"
Sebuah bunyi terdengar dari sebelahku. Suara yang cukup dekat di telinga.
Aku menoleh dan melihat seorang gadis berambut twintail dengan ekspresi yang benar-benar tercengang.
"Se-Segawa?"
"Nishimura ..., 'kan?"
Ini sahabat sekelasku, Segawa.
Segawa yang tanpa ragu mengataiku menjijikkan atau menjengkelkan.
Tamat sudah. Kenapa harus dia yang menyaksikan hal ini?
"A-ah ..., aaaah ...."
Suara gila tergagap keluar dari tenggorokanku sewaktu mencoba mencari kata-kata yang tepat.
Wuaaah, saya ketahuan dipanggil dengan nama karakterku di tempat ramai iniii!
Siaaaaaaal!
Te-tenaaang, tenanglah, diriku!
Carilah alasan. Supaya esok hari tetap bisa menjalani kehidupanmu di kelas!
"...?"
"Ah ..., eh?"
Ako yang berdiri di sampingku tiba-tiba melihat ke arah Segawa.
"Kamu kenal dia?"
Tidak mirip sebelumnya, tatapannya kini mirip pelototan yang menyeramkan.
"E-eng, saya kenal, tapi ...."
Segawa kehilangan ketenangan sewaktu pandangannya beralih ke Ako.
Yah, saya paham perasaannya. Dia akan terganggu kalau diajak bicara oleh seorang gadis dalam situasi ini.
Eh, tunggu. Biarpun begitu, ini ialah waktu yang tepat, 'kan?!
"Ti-tidak, tidak, dia hanya sahabat sekelas. Se-sepertinya kau menemukanku di tempat yang memalukan, Segawa. Jangan beri tahu siapa-siapa di kelas, ya? Ha-hahaha"
Aku berbicara seolah membuat dalih terhadap Ako di sisiku.
Beralasan mirip itu, sejujurnya, ini sangat mirip mirip citra seorang lelaki yang bersama pacar manjanya.
Benarkah? Sungguh? Apa saya terlihat mirip itu?
"O-o-o-oh, begitu. Baiklah."
Segawa gelagapan tanpa memperhatikan kegelisahanku dan entah kenapa, dia mengangguk dengan canggung.
"Jadi kau juga punya yang mirip itu, ya? As-astaga, jangan hingga gadis ini tertular minat anehmu, ya, a-ahahahaha."
"Be-benar juga, hahahahaha."
Dia tertawa, tegang layaknya sebuah papan. Aku pun demikian.
Entah kenapa, kami jadi saling tertawa kaku.
"Ya, sudah, saya pergi dulu ...."
"I-iya. Sampai jumpa."
Segawa mundur dengan tersendat-sendat. Hore, kembali juga. Dan tolong lupakan semuanya.
Kupandangi kepergian Segawa yang penuh niat itu hingga seseorang menepuk bahunya dari belakang.
"Eh?"
Segawa berhenti dan menoleh. Jelas dalam penglihatanku, seorang murid Sekolah Menengan Atas yang tidak asing bagiku mengenakan seragam sekolah kami.
"Ah, anu ...."
Kupikir gadis tersebut ialah kenalan Segawa, tapi tampaknya dia juga tampak kebingungan.
Siapa dia? Aku yakin pernah melihatnya di suatu tempat.
Awalnya saya menerka kalau dia sahabat sekelasku, tapi ternyata bukan. Pitanya tidak berwarna merah yang dikhususkan untuk murid kelas satu mirip kami, melainkan berwaena biru untuk murid kelas dua.
".... Ketua OSIS."
Ucap Ako dengan tatapan gelisahnya.
Ah, benar, itu dia. Tentu saja saya pernah melihatnya, dia ialah ketua OSIS. Kami melihatnya dikala apel tempo hari.
"Ya-ya, Ketua. Apa ada masalah?"
Jelas dengan kakunya Segawa bertanya pada senior kami. Ketua OSIS sendiri entah kenapa menampakkan seringai yang aneh.
"Salah, bukan itu."
Dia gelengkan kepalanya dengan pelan.
Sambil mencengkeram pundak Segawa kemudian mendorongnya ke arah kami, dengan tegas dia berbicara.
"Kini saya bukan ketua OSIS. Aku seorang master guild. Hmm, tampaknya semua sudah berkumpul."
"Hah?"
"A-apa?"
"Eh ...."
Sambil memandang kami bertiga yang memiringkan kepala, sang ketua OSIS pun tersenyum.
"Kurasa ini kali pertama kita bertemu langsung, bukan? Aku ialah master guild Alley cats, Apricot."
Ti-tidak mungkin.
Rasanya seolah bunyi hati setiap orang di sini selaras dengan kata-kata tersebut.
"Jadi yang di sana itu Rusian dan yang melekat padanya itu Ako, ya?"
"Ah, iya."
"Master, selamat siang."
Aku hanya bisa mengangguk hampa sementara Ako menyapanya dengan nada yang lebih hangat.
Kurasakan adanya nuansa perselisihan dikala melihat kedua orang ini.
"Eh, tunggu, Ketua, katamu tadi semua orang sudah berkumpul ...?"
Itu berdasarkan dari apa yang kulihat.
Dengan pundak dicengkeram ketua OSIS — Master, Segawa terdiam dan tampak memucat sewaktu saya menatapnya.
"Eh, kau ... Shiu?"
Tanyaku sembari tercengang.
"Ah, rupanya kau Shiu-chan?"
Ujar Ako lega.
"Apa, jadi kau belum memberi tahu mereka, Schwein?"
Ucap Master sambil terkekeh.
"Ja-jangan panggil saya dengan nama itu!"
Dan Segawa — Schwein — menutupi kepalanya sambil meringkuk.
"Tidak mungkin ...."
"Harusnya saya yang bilang begitu!"
Mengabaikan Segawa yang memelototiku dalam keputusasaan, Master berbicara dengan nada biasa yang dipenuhi keyakinan.
"Sekarang, mari kita mulai kopi darat bersejarah guild Alley Cats yang pertama."
††† ††† †††
Dipandu oleh Master, kami pun memasuki sebuah ruangan pribadi yang rupanya telah dia pesan di sebuah restoran.
Restoran ini tampak glamor dari luar. Jelas memperlihatkan bahwa tempat ini tidaklah murah, dan kepingan dalamnya juga ikut mewakili hal tersebut selaras dengan desain yang mencerminkan kenyamanan dan selera tinggi pemiliknya. Entah kenapa saya menjadi gugup, semoga saja uangku cukup.
Tapi itu kasus lain. Ada sesuatu yang lebih penting.
Mula-mula, ini seharusnya menjadi kopi darat yang menjijikkan antara empat orang lelaki — dan kenyataan yang ada di hadapanku kini ialah tiga orang gadis. Masing-masing dari mereka tampak manis, bahkan bisa dibilang cantik. Jika orang luar melihat hal ini, mereka mungkin saja akan merasa iri.
Jika diminta pendapat, jujur saja, ini canggung. Amat sangat canggung.
Pertama, ada Segawa yang duduk menyilang di hadapanku pada sisi seberang meja. Dan dia benar-benar memelototiku. Segawa yang biasanya menyebutku otaku ataupun menjijikkan. Aku yakin suasana hatinya sedang tidak baik sama halnya denganku.
Selanjutnya, ada ketua OSIS yang gres saja memesan dengan tata kramanya yang khas. Kami terbiasa menengadah dikala melihat dia sedang berdiri di atas podium termasuk dari sudut yang sekarang. Kesan tenang dan teratur itu tercermin dari gaya bicaranya, seseorang berkepala dingin, si bagus yang keren. Aku sulit untuk tenang dikala dia berada di dekatku.
Dan yang terpenting, ada seorang gadis yang duduk di sampingku, berpegangan erat mirip halnya dalam game — Ako.
"...."
"...?"
Perlahan kulepaskan sedikit gandengannya itu dari tubuhku kemudian memisahkan diri, dan dia memperpendek jarakku dengannya seolah itu sudah biasa.
Dia membalas dengan senyum ceria ke arahku dikala saya meliriknya.
Ah, ini Ako. Kumpulan kasih sayang yang tidak terkendali ini ialah Ako.
Ini Ako, tapi .... Aku tahu, ini Ako, tapi ....
Ini aneh. Maksudku, ini memang aneh, 'kan?
Soalnya, Ako ini manis. Dia memang Ako, tapi manis.
Rambutnya yang halus dan posturnya yang mungil. Sosok rampingnya itu membuat dia tampak cocok sebagai pengunjung tetap suatu perpustakaan, tapi ketika melihat senyum yang dia tujukan padaku itu, rasanya tampak menggemaskan.
Aku merasa pernah melihatnya di suatu tempat, tapi tidak ingat di mana persisnya. Aku ragu bisa semudah itu melupakan gadis semanis ini.
"Hei, hei, Rusian"
Aku terus memandanginya, dan entah kenapa Ako menoleh padaku dengan gembira kemudian mendekatkan tangannya ke arahku.
"A-ada apa?"
"Eng ...."
Tangan itu memegangku, menyentuh bahuku, dadaku, pipiku ..., tung-tunggu, sedang apa dia?
"Wah, Rusian, kau benar-benar hidup, ya?"
"Maksudnya apa?!"
Dan itulah kata-kata yang alhasil dia ucapkan.
Memangnya mirip apa saya ini di pikirannya?
"Jangan berkata seolah hal gila kalau saya ini hidup."
Sambil menahan kepala Ako yang mulai mendekat, saya pun mendorongnya ke belakang.
"Kyaaa—"
Ako terdorong berbarengan rengekan itu.
Ah, gawat, sikapku tadi terlalu akrab. Aku memperlakukannya demikian lantaran Ako menjadi Ako yang biasa kukenal, padahal ini pertama kalinya kami bertemu. Dia terperinci akan menolak untuk disentuh.
"Ma-maaf, kau tidak apa-apa?"
Apalagi sikapnya yang terlihat mirip tipe anak pendiam, tindakan tadi niscaya sudah di luar batas. Bukankah itu bisa membuat dia membenciku sekarang?
Ako mengabaikan kecemasanku tersebut.
"Hehehe .... Kamu memang Rusian."
Dan entah kenapa dia tersenyum senang.
Ini ialah kebiasaanku yang sama mirip dalam gim. Tidak peduli berapa kali saya memperlakukannya dengan buruk, dia akan terkekeh dan mendekat untuk dimanjakan layaknya kucing yang terlampau jinak. Namun kini dia ada di sini dalam tubuh aslinya, bukan sebagai avatar sebuah gim.
Meski Ako bertingkah mirip di dalam gim, reaksiku sama sekali berbeda dari biasanya. Jantungku mulai berdetak lebih cepat dan— tunggu, tidak, tidak, tidak. Bermesraan dengan seorang gadis yang gres saja ditemui seolah itu hal wajar, saya ini sedang apa?
Aku sungguh merasa bersalah, seolah telah memanfaatkan hubungan kami di dalam gim.
"Kenapa kau menolaknya dengan rasa bahagia begitu? Seharusnya kau itu diasingkan di sini."
Ucap Segawa dengan bunyi jengkel selagi mendesah.
Apa dia harus berkata mirip itu? Aku sadar kalau diriku ini aneh.
"Hei."
"A-apa?"
Meski Segawa meringkuk sesaat, mirip takut dengan tatapanku, dia tetap melihatku tanpa mengalihkan pandangannya.
Dia memang menyebalkan. Mengatai orang sebagai otaku dan semacamnya, tapi dia sendiri seorang penggila gim daring — meski sementara ini saya tidak akan mengungkapnya. Apa susahnya bersikap sedikit lebih lembut?
"... ada apa?"
Tanya Segawa tanpa menghiraukan pandangan Ako yang tertuju pada dialog kami.
"Tidak apa-apa ...."
Dengan bunyi pelan.
"Minumannya sudah datang. Pertama-tama .... Ya, mari kita mulai dengan perkenalan diri."
Setelah sebelumnya terlibat percakapan dengan pegawai restoran, ketua OSIS membagikan gelas kepada kami selagi dia berbicara.
Dengan pandangan tertuju ke segelas jus di depanku ini, saya menghela napas.
Perkenalan diri, ya?
Terdengar konyol mengingat hubungan kami selama setahun berjalan, tapi tetap saja ini ialah pertemuan pertama kami.
Master meletakkan gelasnya disertai dentingan kecil, kemudian berdiri dari kursinya dalam gerakan lembut dan bertata krama.
"Aku ialah master guild Alley Cats, Apricot. Profesiku ialah adalah Law Wizard dan saya yakin kalian sudah tahu betapa percaya dirinya saya terhadap kekuatan seranganku. Namaku Goshouin Kyou, murid kelas dua Sekolah Menengan Atas Maegasaki sekaligus merangkap sebagai ketua OSIS. Hari ini saya tiba pribadi dari sekolah, jadi maaf soal seragamku."
Sebuah nada penuh kepercayaan diri. Kepribadian orang ini tidak berubah, ya?
"Hari ini akan menjadi pertama kalinya kita bertemu langsung. Namun di sisi lain, kita ialah rekan dekat. Kenapa tidak kita nikmati saja hubungan menyenangkan sekaligus rumit ini dengan sebaik-baiknya?"
Dengan pidato yang akan cocok kalau dipaparkan di atas panggung itu, ketua sedikit membungkuk sebelum duduk di kursinya.
Tepuk tangan yang ringan berbunyi.
"Baik, selanjutnya."
Shiu mengalihkan pandangan dikala melihat tatapan Master mengarah padanya. Mata itu kemudian berpaling padaku— waduh, seram, dia benar-benar melotot. Ini bukan berarti saya punya salah atau semacam itu.
"Silakan, Schwein, kini giliranmu."
"Huh ...."
Segawa terhuyung-huyung. Kesan bahwa dirinya malu lantaran dipanggil Schwein telah melampaui batas yang bisa ditahannya.
"Aku .... Aku Segawa Akane, Sekolah Menengan Atas Maegasaki, kelas satu."
Ucapnya dengan bunyi pelan yang tidak mirip biasanya. Apa ... dia gugup?
"Dan, eng ...."
Gumaman itu tidak mirip dirinya.
Ekspresi yang muncul memperlihatkan betapa merah wajahnya.
Saat melihat ke arahnya, saya sadar bahwa dia ialah tipe gadis yang dikagumi oleh para otaku. Rambut cokelatnya sepanjang bahu, posturnya mungil, baik dari tinggi tubuh ataupun yang lain, ditambah, penampilannya yang manis.
Tentu akan sulit untuk menyampaikan gim daring sebagai hobi selagi berpenampilan demikian, namun tetap saja, keluhan brutalnya perihal para otaku yang menjijikkan ialah kasus lain.
Entah mirip apa caranya meredam ketegangan Segawa, tapi,
"Ya, saya mengerti perasaanmu, Schwein, masuk akal kalau merasa malu dipanggil Schwein di hadapan orang lain."
"Eng ..., eng, Master?"
Master mendadak bicara sambil mengangguk seolah berempati dengannya.
Dia kemudian melanjutkan dengan emosi yang dalam.
"Lagi pula, Schwein ialah bahasa Jerman untuk babi. Halo, namaku Babi, salam kenal, niscaya memalukan bagi seorang gadis untuk menyampaikan hal semacam itu."
"Be— eh, apa?"
Segawa — Schwein — si babi tercengang dengan lisan ternganga.
Setelah jeda beberapa detik, wajahnya memerah sembari dia bertanya kepada Master.
"Apa, eh, tidak mungkin. Itu serius? Babi? Schwein?"
"Begitulah .... Apa jangan-jangan kau menggunakan nama itu tanpa tahu artinya?"
"Tentu saja saya tidak tahu! Siapa pula yang mau menamai dirinya mirip itu?! Bukankah sudah terperinci saya menggunakannya lantaran terdengar keren?!"
"Shiu-chan .... Aku turut berduka cita ...."
Dia mungkin sudah tahu, tapi Ako menundukkan pandangannya dengan ekspresi sedih.
"Tunggu, Master, kenapa kau tidak memberitahuku?!"
Tampaknya ini benar-benar di luar dugaannya hingga Segawa alhasil memanggil Master dengan cara yang biasanya.
Ah, kelihatannya energi gadis itu telah kembali.
"Aku sempat memikirkannya, namun kucoba menahan diri mengingat kalau mengungkapnya akan sangat memalukan lantaran kau menentukan nama itu mungkin tanpa mencari artinya terlebih dahulu. Yah, bahkan di luar ekspektasiku kalau itu akan terungkap di tempat mirip ini ...."
"Waah, sudah, hentikan!"
Segawa mengayunkan tangannya dengan gelagapan.
Master pun tersenyum bahagia sembari mengabaikannya.
"Ayo, Schwein, haha, segera lanjutkan perkenalanmu."
"Jangan selantang itu ucapkan, Haha, yang seharusnya berada dalam tanda kurung! Apa kau selalu mirip itu membacanya kalau di depan monitor?!"
"Shiu-chan, kau tidak perlu merendah begitu. Tidak ada yang keberatan dengan sikap normalmu. Makara kenapa tidak kau katakan, Akulah Schwein yang hebat!, mirip biasanya?"
"Jangan bilang keras-keraaaaas!"
Segawa hancur, dihabisi oleh komentar Ako.
A-apa dia baik-baik saja? Yang barusan itu terlalu berlebihan.
"Ku ku ku .... Jangan pribadi berkecil hati, Schwein. Inilah saat-saat di mana biasanya semua wkwkwk mulai berterbangan."
"Kalau dipikir lagi, bagaimana orang-orang biasanya mengeja wkwkwk?"
Apa dia sungguh membahas soal wkwkwk itu?
Betul. Tidak ada yang benar-benar membacanya ataupun tahu mirip apa mengeja goresan pena itu meski sudah sering digunakan.
"Itu akronim dari wedang jahe kalengan."
Jawab Master seolah dirinya tahu segala hal. Tidak, itu sudah terperinci salah.
"Bukan itu artinya, 'kan? Bukankah itu memperlihatkan kesan sedang tertawa terbahak?"
"Wah, Rusian memang hebat."
Ako bertepuk tangan.
Harus mirip apa sikapku terhadap kebanggaan itu? Lagi pula, apa ada jawaban yang benar?
"Duh, ya ampun, kenapa kalian semua mengabaikanku?!"
Dibarengi menggebrak meja, Schwein kemudian menarik napas dalam-dalam.
"Fiuh ..., hah ..., aah, saya Schwein. Aku bermain sebagai Sword Dancer di LA. Jika mulai ada yang memanggilku babi, akan kutebas menjadi dua. Terlebih, kalian menambahkan wk lagi pada wkwkwk hingga jadi lebih panjang, tapi justru tidak bisa diartikan secara harfiah. Aku tidak akan membenarkan hal lain. Itu saja!"
Segawa menyampaikan semua yang perlu dia katakan, kemudian duduk.
Entah kenapa tepuk tangan yang lebih ceria tertuju kepada dirinya. Mungkin lantaran sudah nrimo merelakan insiden ini, ekspresinya menjadi lebih tenang meski masih terlihat masam.
"Satu hal lagi, saya sendiri membacanya wuakaka."
"Tidak ada yang bertanya soal itu"
"Oh, maaf kalau begitu."
Senyuman yang sempat sekilas ditujukan pada Segawa tadi terasa lembut.
Apa dia sengaja melakukannya supaya gadis itu kembali bersikap mirip biasanya? Jika memang mirip itu, hebat, master guild kami memang bisa diandalkan.
"Baik, berikutnya, Rusian."
"Siap."
Setelah dipersilakan, saya pribadi berdiri.
Dan Ako yang melekat di lenganku, mengikutinya.
"Eng ..., Ako."
"Iya?"
Ako menatapku seolah tidak ada yang aneh.
Dia menggemaskan bagaikan kucing yang terlampau jinak, tapi kami tidak boleh begini.
"Aku sedang memperkenalkan diri, jadi duduklah"
"Baiiik."
Seperti biasanya, dia masih bisa dibujuk dengan alasan. Ako dengan patuh duduk.
"Kenapa kalian malah bermesraan?"
"Tidak, itu bukan keinginanku."
Tunggu, bukan waktunya mencari-cari alasan.
Aku menarik napas dalam-dalam dan menatap masing-masing dari mereka.
"Aku Rusi ..., Rusian. Di LA, aku, eng ..., eng ..., saya bermain sebagai Armor Knight .... Fiuh, memperkenalkan diri dengan nama aksara gim itu terasa memalukan."
Bukannya saya menyampaikan sesuatu yang penting, tapi rasa malu membuat kata-kataku tersedak.
"Kamu ini bicara apa? Keberadaanmu itu sendiri memang sudah memalukan, tahu?"
"Berisik."
Segawa menyela. Seperti biasanya— tidak, gres beberapa dikala tadi, kata-kata itu bisa membuatku kesal.
Aku heran kenapa diriku tidak sedikitpun merasa ingin membalasnya sekarang. Hanya ada rasa nyaman yang biasanya tiba dikala saya berdebat dengan Shiu di dalam gim.
"Pertama-tama, hal perihal babi tadi lebih memalukan— maaf, saya tidak akan mengungkitnya lagi. Eng ..., saya bersekolah di Sekolah Menengan Atas yang sama dengan ketua— eh, maaf, Master. Haruskah saya bersikap formal sesuai posisi kita ...? Baiklah. Eng ..., saya masih kelas satu. Namaku Nishimura Hideki. Ikut bergabung dalam Klub Pulang ke Rumah dan tidak punya talenta khusus untuk dipertunjukkan. Hobiku, yah ..., gim daring. Salam kenal, semuanya."
Terdengar tepuk tangan yang ringan.
Bagaimana menjelaskannya, ya ..., ini mirip itu, paham, tidak? Setahun kami bersama bukan sekadar isapan jempol. Entah kenapa saya bisa tahu yang Master dan Segawa ingin katakan hanya lewat tatapan mereka sewaktu perkenalanku tadi.
"Lalu, yang terakhir, Ako."
"Iyaaa"
Ako berdiri berbarengan ucapan, "Yak," yang pelan.
Karena dia berdiri tepat di sampingku, kaki rampingnya yang tertutupi rok itu terpampang di depan wajahku.
Entah kenapa jantungku mulai berdetak lebih cepat, berbeda sewaktu perkenalan diri tadi.
Selanjutnya, aroma harum nan manis yang menyerbak mengguncang pikiranku.
Ini bukan waktunya mempersoalkan itu, tapi nyatanya dia ialah seorang gadis. Iya, 'kan?
"Eng ..., saya Ako. Seorang Cleric di LA. Aku tidak pintar memainkan gim dan selalu menjadikan kasus bagi orang lain .... Aku sangat menyesal."
"Tidak apa-apa, tidak masalah," kata Shiu.
Yah, tentu saja praktis mengatakannya, lantaran hidupnya jarang mendapat ancaman gara-gara kemampuan gadis itu!
"Aku bersekolah di Sekolah Menengan Atas Maegasaki mirip yang lainnya, saya anak kelas satu."
"Eh, jadi kita satu angkatan?"
"Ya, kita satu angkatan."
Dan ternyata kita semua satu sekolah? Internet itu memang terlalu sempit, ya?
"Maaf, saya tidak tahu. Walau seangkatan, tapi saya tidak kenal gadis dari kelas lain."
"Hehehe, saya juga."
Baiklah. Baru beberapa bulan semenjak penerimaan murid baru, saya tidak mempunyai kenalan dari kelas lain lantaran tidak bergabung pada klub mana pun. Ako terlihat mirip tipe penyendiri, jadi dia mungkin bukan jenis orang yang bisa praktis akrab.
Ako melanjutkan tanpa terlalu memerhatikan hal tersebut.
"Nama lengkapku Tamaki Ako. Panggil saja saya Ako mirip biasanya."
"Eh, jadi itu nama aslimu?"
"Iya .... apa ada yang aneh?"
Jelas aneh, lah.
"Bukan begitu, ini semua soal penulisan di media digital, jadi yang mirip itu .... yah, terserahlah, bukan masalah."
"Hahaha, itu memang terasa mirip Ako."
Segawa memperlihatkan wajah cemberut seakan merasa bahwa metode penamaan Ako terperinci merupakan pandangan gres buruk selagi Master tertawa dengan nada santai.
Hal tersebut terjadi dalam suasana hangat dan lembut.
"Aku tidak bergabung dalam klub mana pun. Aku juga tidak punya sahabat di sekolah."
"?!"
Semuanya menegang seakan dunia membeku.
E-eng ..., Ako? Apa kau bilang tadi?
"Aku jarang keluar rumah, jadi setiap kali berangkat sekolah, semua orang jadi khawatir terhadapku."
"O-oh ...."
Bahkan Segawa pun tampak tidak bisa membalas ucapan gadis itu.
Aku memandang ke arah Segawa dan Master dengan impian supaya bisa mendapat saran mengenai yang harus kulakukan, tapi wajah mereka benar-benar terkejut sehabis Ako mengungkapkan hal semenyedihkan itu sambil tersenyum. Apa bekerjsama motivasi dia menceritakan hal itu barusan?
"Ja-jangan khawatir! Meski saya ketua OSIS, tapi saya juga tidak punya teman!"
Itukah cara dia berempati atas hal tersebut?
Entah angin apa yang membuat dia menentukan kata-kata itu, tapi Master mengucapkannya sambil mengangguk tegas.
Tidak, tidak, kami tidak menginginkan pembahasan yang semenyedihkan ini sekarang!
"A-Ako, bukankah kami ini temanmu?"
Segawa kemudian ikut mengiyakan dengan ekspresi datar sehabis perkembangan situasi yang kacau.
"Betul! Kini kau punya lebih banyak teman!"
"Semangat, Ako-chan!"
"Sudahlah, hentikan!"
Ako terkikik melihat kelakuan dan ucapan konyol kami.
"Ya, itu sebabnya .... saya sungguh bahagia mempunyai sahabat mengobrol mirip ini"
Kata-kata itu terdengar sedikit bergetar.
Aku juga bisa mencicipi kaki dan pundak Ako agak gemetaran sewaktu di sebelahnya.
Kopi darat ini membuatnya gugup .... dia sempat mengatakannya sewatu di LA, 'kan?
"Semuanya, mohon bantuannya dari sekarang."
Ako kembali duduk dengan diiringi tepuk tangan.
Pemandangan para anggota serikat yang saling bersahutan berbicara terwakili oleh Ako, Segawa dan ketua OSIS ini tampak terperinci di hadapanku.
Dan akhirnya, kopi darat kami pun dimulai.
††† ††† †††
"Yang kumaksud ialah menghabiskan uang untuk memperkuat zirahku itu sama saja dengan ikut melemahkan diriku."
Ujar Shiu dengan gembira sambil mengaduk cangkir kopinya dengan sendok.
"Maksudku, bukankah sudah terperinci lebih efektif menggunakan dana tersebut untuk memperkuat senjataku? Efisiensi dalam perburuan itu terfokus pada daya tempur, segalanya hanya ada pada daya tempur. Lalu menggelontorkan dana yang berharga tersebut untuk penguatan zirah? Itu tidak lain hanya kepuasan diri semata. Hanya orang terbelakang yang mau melakukannya."
"Tidak, sudut pandang itu terlalu subyektif."
Bantahku pada gadis yang meyuarakan opininya dengan menggebu-gebu di seberang mejaku ini.
"Aku paham maksudmu kalau daya tempur itu penting. Tapi ada tempat yang niscaya tidak akan bisa kau jadikan lahan berburu tanpa mempersiapkan pertahanan hingga di tingkat tertentu, dan kau harus melakukannya kalau sungguh menginginkan efisiensi. Lihatlah faktanya. Kamu tidak bisa berburu di Laboratorium Scion menggunakan perlengkapanmu, 'kan? Padahal ada banyak Sword Dancer selevelmu yang bisa dengan praktis berburu di sana."
Terus kukejar ratifikasi Shiu dengan menatap matanya.
Tapi gadis itu justru dengan kalem mengangkat pundak dan berdesah.
"Itu artinya kau membutuhkannya sebagai persyaratan saja, 'kan? Yah, bisa dibilang mirip tidak ada gunanya memperkuat zirah melebihi kebutuhan."
"Intinya tidak hanya hingga di situ kalau bicara soal zirah. Terlebih, tidaklah praktis dalam prosesnya. Mula-mula, kalau kau bicara perihal persyaratan, bukankah itu berlaku juga untuk senjata? Efisiensimu nyaris tidak akan berubah meski kau mengganti senjata yang lebih hebat padahal seharusnya itu sudah cukup. Harga untuk efisiensi tersebut sudah tidak wajar."
"Jangan meremehkan pentingnya senjata. Orang sepertimu yang hanya menentukan tempat berburu berisikan monster yang mati dalam sekali atau dua kali serang saja akan terus mendiami tempat membosankan itu."
"Apa katamu, Si Hebat?"
"Kubilang jangan memanggilku begitu!"
"Sudah, sudah, tahan dirilah, kalian berdua."
Dari sisi berlawanan, Master menyela ke dalam percekcokan kami yang tidak kunjung henti.
"Dengar, ada cara yang lebih sederhana dan praktis dipahami untuk mengatasi kasus itu dengan sempurna. Biar kujelaskan. Bayangkan bila kalian bisa mengisi kekurangan kalian itu dengan menggunakan uang tunai. Kalian akan tahu bagaimana serangan dan pertahanan kalian akan sangat berpengaruh dengan cara ini."
"Bisa tidak, pemikiran itu kau simpan untuk dirimu sendiri, wahai pengguna barang berbayar kelas berat? Kami sedang melaksanakan dialog pemain biasa di sini."
"Topik. Seputar menindas Master."
Master pun seakan terbelah menjadi dua.
"Tunggu, saya juga punya pendapat!"
Yang berikutnya menyela ialah Ako.
"Aku percaya kalau uang itu penting untuk penampilan. Tidak kasus sekuat apa perlengkapan kita, yang perlu dilakukan ialah membiarkan orang lain mengalahkan semua musuh. Makara kurasa itu bukan hal besar."
"Sudah, jangan asal bicara."
"Cari gara-gara, ya?"
"Hiiik?!"
Ako mundur ketakutan, dipelototi oleh Shiu dan diriku.
Penampilan apanya? Dasar bodoh. Jika punya waktu untuk memikirkan pakaian, kemudian kenapa tidak dipakai supaya bisa lebih lama bertahan atau lebih banyak melaksanakan penyembuhan?
"Ako-san, apa kau paham kalau profesi penyembuh itu harus tetap hidup hingga akhir?"
"Eh, tapi Rusian mati sebelum saya berbuat apa-apa ...."
"Biar kuberi tahu, perlengkapanku sudah sangat tepat sebagai penahan serangan utama, kau paham?!"
Seperti itukah cara dia memandang diriku selama ini?!
Aku menenggak semua jusku.
Dia sama sekali tidak mengerti, kalaupun harus membelanjakan uang, pastinya itu untuk zirah, astaga.
"Dengar, ya, yang niscaya kau akan mati tanpa zirah yang bagus. Ternyata healer kita sangat payah."
"Ya, saya tidak bisa membantahnya."
"Itu sudah jelas. Tidak ada celah untukmu membantah."
"Waduh, waduh, saya tidak bisa mendengar apa-apa!"
Dimulai dengan diskusi mengenai gim beserta permasalahannya tadi, percakapan kami pun bergonta-ganti topik sesukanya.
Misalnya, hingga ke dongeng lama.
"Heal milik Ako dikala itu benar-benar membunuh, ya? Tidak kusangka dia mengabaikan Rusian yang hampir mati dan justru merapal beberapa heal ke pihak musuh."
"Terlebih, yang dia rapal ialah musuh yang sudah hampir kuhabisi."
Itu terjadi beberapa hari lalu. Rasanya dikala itu saya sudah tidak sanggup lagi meneruskannya.
"So-soalnya dikala itu kukira harus merapal pada yang garis ukurannya mengikis."
Master menepukkan tangan sewaktu Ako menggumamkan alasan tersebut.
"Ah, saya mengerti. Roh cahaya-lah yang patut dipersalahkan."
"Roh cahaya?"
Ah, saya ingat, yang itu!
"Oh, semua berawal dari dikala itu, ya? Ako tidak tahu bagaimana cara menggunakan skill dan salah satu NPC memberitahunya untuk meminjam kekuatan dari roh cahaya, jadi dia terus berdoa kepada para Roh di setiap obrolan!"
"?!"
Ako mengibaskan tangannya seolah ingin mengusir sesuatu ketika kami membahas kepingan dari kenangan lama.
"Bu-bukan begitu! Maksudku, orang gereja itu bicara mengenai cara mereka menyembuhkan luka dengan meminjam kekuatan Roh Cahaya!"
"Lebih baik itu tidak usah dipercaya ...."
Atau contohnya lagi, untuk topik duta yang sama sekali tidak kami singgung sebelumnya.
"Sebenarnya saya tidak sedewasa itu, dana daring-ku pun awalnya diberikan oleh orang tuaku. Mereka terlalu protektif meski cenderung mengabaikanku, kalian tahu, mereka menyampaikan hal-hal konyol yang sudah tidak cocok untuk zaman sekarang, mirip harus bijak dalam menentukan teman. Itu tidak akan terjadi andai saya tidak diperbolehkan menggunakan uang dalam gim yang bisa kumainkan di rumah."
"Oh, rupanya kau seorang gadis terhormat dari keluarga baik-baik, ya, Master?"
"Kesan yang terasa darimu memang begitu, ditambah, kau juga sangat cantik."
Sambil menyipitkan matanya, Master menyeringai pada Ako yang menyampaikan hal tadi.
"Tidak juga."
"Sungguh rendah hati ...."
Ren-rendah hati? Rasanya itu patut dipertanyakan.
"Diriku tidak cukup layak dikatakan demikian. Meskipun kaya, saya bisa berkembang melalui pinjaman awal yang kusebutkan tadi, dan keluargaku hanya mempunyai beberapa perusahaan dan sekolah saja."
Eh, dia tidak menyangkal di kepingan bagus sebelumnya.
Aku memang tidak menemukan celah untuk membantah ucapannya tadi, tapi terperinci tidak ada kerendahan hati di dalamnya.
"Hmm, beberapa sekolah .... Jangan-jangan itu ...."
"Itu termasuk Sekolah Menengan Atas Maegasaki. Itulah salah satu alasan saya bersekolah di sana."
"Tidak mungkin. Itu luar biasa! Berarti bisa jadi kau putri pemilik sekolah!"
"Aku memang putri pemilik sekolah."
"Wah, mengagumkan. Kedengarannya seolah kau punya kuasa untuk meningkatkan nilai pelajaran atau semacamnya. Aku jadi iri."
"Meningkatkan? Ini bukan statistik. Otakmu itu sudah terlalu karam ke dalam gim daring, ya?"
Ujar Shiu dengan nada jengkel. Berisik, saya yakin kalau dia berpikir mirip itu.
Kualihkan pandanganku sambil mendesah dan disana terdapat Ako yang tersenyum diiringi kegelapan pada matanya.
"Waah .... Orang kaya dengan masa depan cerah dan terjamin harusnya mati saja ...."
Eng .... A-Ako-san?
"Ako, Ako?!"
"Tenanglah, Ako, itu ialah Master! Jangan-jangan tanda-tanda itu terjadi juga di sini?!"
Sadar, sadarlah. Kugoncang pundak Ako.
Sambil terombang-ambing, kesadaran Ako pun kembali sehabis sekitar sepuluh goncangan.
"Maaf, saya terlalu banyak bicara."
"Kata-katamu tadi sudah berlebihan .... Lagi pula, bukankah kau harus menjaga setiap ucapan dan sikap layaknya putri pemilik sekolah yang merangkap ketua OSIS?"
"Yah, saya tidak bisa menyangkalnya"
Ucap Master dibarengi senyum masam.
"Aku tidak begitu pintar menerangkan perihal kepribadianku di awal percakapan hingga yang lain merasa nyaman, terlebih mengenai beberapa persyaratan untuk bisa menjadi temanku. Namun jangan khawatir, mataku terbuka sehabis bermain gim daring dan bekerjasama pribadi ke dunia maya. Aku pun alhasil mendapat persetujuan dari orang tuaku supaya bisa berteman dengan siapa saja sehabis berdebat panjang"
"Ooh."
Semuanya saling bersahutan kagum.
Ada yang menemukan kebenaran dalam internet — teladan sukses dari hal tersebut?
Ya, betul, syukurlah, sungguh.
"Sayangnya itu sudah terlambat."
Tiba-tiba semua menjadi senyap.
"Mas-Master?"
".... huh. Meski tanpa sahabat di sisiku sekalipun, saya tetap akan berjuang seorang diri."
"Master, mari berjuang bersama menghadapi pergaulan!"
"Bagus, Ako, kita ialah rekan seperjuangan."
Tangan Ako dan Master saling menggenggam erat, melintasi batasan tahun angkatan.
"Hanya melihat ini perutku jadi sakit."
"Aku jauh-jauh kemari bukan untuk melihat program jabat tangan ...."
Baik Shiu dan saya sama-sama menyeka air mata.
Dan membahas perihal topik duta itu ternyata jauh lebih menyenangkan meskipun kami tidak pernah melaksanakan ini sebelumnya. Begitu menyenangkan hingga membuatku heran kenapa tidak semenjak dulu saja.
Biarpun begitu, kesempatan mirip ini tidak akan tiba andai kami tidak mengadakan kopi darat. Yah, kalau niat awalnya baik, segalanya niscaya akan baik.
Sesuatu terlintas di benak kami sewaktu membahas perihal duta.
"Kalau tidak salah, tempo hari saya mendengar gosip tentangmu, Segawa ... eh, Shiu."
"Hah? Apa?"
"Sebuah gosip yang harus kau klarifikasi. Bukan begitu, Si Hebat?
Aku mendengar dongeng perihal Maeda atau siapalah itu dikala apel tempo hari. Aku ingat kalau Shiu sendiri sempat membahasnya.
"Ha-haah? Kenapa itu malah jadi gosip? Makanya bagiku semua anak lelaki itu—"
"Padahal kau sempat menyombongkannya sewaktu dalam gim, 'kan? Aku masih ingat, tahu?"
"Itu ... ya itu."
Dan ini ya ini, begitu?
Aku tidak begitu peduli — meski saya tidak yakin yang lain juga berpikir begitu.
"Begitu rupanya. Makara Schwein ialah salah satu dari orang sukses yang berbeda dari kita, begitu? Aku sangat paham sekarang. Baiklah, saya perlu seseorang untuk meninju sebuah tembok rata!"
Jari-jari master berderak.
Seolah menanggapi, Ako berpose dengan kedua tangannya diangkat ke atas.
"Agen peninju tembok rata siap melayani Anda! Kami akan meninju tembok rata apa pun di sekitar Anda! "
"Dia kutolak! Sudah kubilang kalau saya menolaknya, 'kan?"
Shiu bergegas mengakhiri panasnya situasi sewaktu Ako mengepalkan tangannya.
"Kamu menolaknya begitu saja apa lantaran tidak tertarik pada hal-hal semacam itu, Shiu? Atau mungkin kau sudah punya orang yang disukai?"
Entah kenapa kuajukan pertanyaan seputar privasi tersebut yang membuatku bimbang apa saya sudah melampaui batas. Biasanya saya tidak pernah bisa mengajukan pertanyaan itu, tapi entah kenapa hal ini bisa terlontar begitu saja.
"Tidak, itu ..., hmm ...."
Dan pihak yang ditanyai — Shiu — tampak mulai memikirkan jawaban dengan memperlihatkan kegelisahannya.
Segawa tidak begitu modis. Posturnya pendek, atau tepatnya, seluruh tubuhnya mungil. Dia mungkin tidak feminin. Twintail-nya bisa dianggap kekanakan ataupun menggemaskan tergantung sudut pandang yang melihatnya, dan mungkin saja ada yang berpikir sebaliknya.
Meski begitu, paling tidak paras yang dimiliknya lebih menonjolkan dirinya. Secara obyektif, saya lebih menganggapnya manis.
Dan ini bukan berarti sisi dirinya yang lain tidaklah penting — atau begitulah menurutku.
"Soalnya kalau niatku memang ingin berpacaran, maka saya harus selalu meluangkan waktu untuk hal itu, 'kan?"
Ujar Shiu dengan tenang sehabis sedikit merenung.
"Yah, benar juga. Kamu butuh waktu untuk berduaan dengan pacarmu."
"Benar, 'kan? Dan itu berarti, saya hanya punya sedikit waktu untuk gim daring. Iya, 'kan?"
"Yang benar?!"
Gadis itu justru menambahkan sesuatu yang tidak perlu!
"Itu sungguh akan mengurangi waktu untuk bermain gim daring, ya?"
Dan entah kenapa, Ako dengan terperinci menampakkan sikap setujunya.
"Benar!"
Segawa pun melanjutkan sehabis mendapat seorang simpatisan.
"Soalnya kalian akan benar-benar menentangnya, 'kan?"
"Aku niscaya akan menentangnya!"
"Menolak merupakan pilihan yang sangat tepat."
Ako dan Master pribadi ikut sepakat tanpa sempat mempertimbangkannya.
"Kalian ini serius, tidak, sih ...."
Padahal saya sendiri ingin punya pacar. Sekumpulan orang ini sudah berlebihan dalam menyikapi hal tersebut.
Shiu memelototiku sehabis saya terang-terangan mengutarakan keherananku.
"Apa? Masalah buatmu?"
".... tidak. Aku merasa lebih bahagia dirimu yang ini ketimbang sewaktu di sekolah."
"Itu terperinci bukan pujian, 'kan?"
Berbeda dengan kata-kata kasarnya tadi, Shiu kini tertawa pelan.
Aku tidak pernah bisa mengobrol mirip ini ataupun membicarakan hal-hal barusan dengan seorang Segawa, tapi ini menjadi praktis ketika lawan bicaranya ialah Shiu.
Kata-kata yang biasanya menyebalkan kini jadi tidak terasa menusuk.
Entah kenapa saya justru merasa senang.
Dan andai pemikiranku ini benar, Shiu juga terlihat menikmatinya.
"Kalau begitu, coba ubah pemikiran tadi! Bagaimana kalau kau juga mencari pasangan mirip yang kulakukan dalam gim, Shiu-chan? Kalian bisa bersama tanpa kehilangan waktu bermain gim. Benar, 'kan?"
Ucap Ako sambil mengandeng tanganku.
Tidak. Aku dan Ako menikah hanya di dalam gim, dan itu sungguh tidak ada kaitannya dengan pernyataan cinta di duta. Sedikit pun tidak ada.
"Eng ..., seorang pacar yang bisa bermain gim daring bersama, ya .... Tidak. Itu mustahil. Yang ada malah terdengar menjijikkan."
"Hei."
Jangan menyampaikan itu sambil melihatku! Seharusnya dia berkaca dulu, 'kan?
Dan begitulah, kami membicarakan segala hal. Kami pun tetap bertahan di ruangan pribadi itu dari siang hingga malam tanpa berpindah ke tempat lain. Kopi darat ini sendiri ternyata menyenangkan tanpa ada hal yang membosankan.
††† ††† †††
Saat mentari sudah terbenam, kami meninggalkan restoran dan kembali ke stasiun meski rasanya enggan untuk berpisah.
"Seandainya ada lebih banyak waktu, saya ingin kita bisa makan malam bersama. Maaf, izin yang kudapatkan dari keluargaku tidak bisa lebih dari ini."
"Tidak apa-apa, saya juga bisa dimarahi kalau tidak kembali dikala makan malam."
Shiu pribadi mengangguk pada Master yang sedang menundukkan kepala. Bukankah posisi mereka kini terbalik?
"Yang tadi seru sekali. Lain kali ..., lain kali, ayo lakukan ini lagi."
Sebagai orang yang terakhir meninggalkan restoran, Ako dengan murung menyampaikan, tampak mirip masih enggan pergi.
"Tidak perlu. Meski kau bilang begitu, kita sendiri satu sekolah, jadi kita bisa melakukannya kapan saja, 'kan?"
"Oh ..., begitu! Betul!"
Aku sama sekali tidak kepikiran! ialah ekspresi dari mata Ako yang berkilauan.
Begitulah, Master mengangguk seolah memberikan hal tersebut.
"Baik, bagaimana kalau kita tetapkan ini sebagai program mingguan?"
"Aku tidak sanggup kalau kita melakukannya setiap minggu. Rasanya mirip sisi gelap yang kupunya akan terbawa dalam kehidupan sehari-hari kalau terus mengikuti sikap kalian."
"Kata-katamu itu terlalu berlebihan. Apalagi hingga menyebut sisi gelap."
"Ups, gawat, itu berbahaya. Otaku itu menjijikkan, menjijikkan, menjijikkan, menjijikkan."
Apa itu? Semacam mantra?
Terasa menyenangkan hingga akhir, bahkan sesampainya kami di stasiun.
Seakan ingin meredakan ketegangan ketika semuanya saling memandang wajah masing-masing, udara hangat yang lembut berembus seolah akan menyelimuti kami selamanya.
Kami menunggu dikala yang tepat untuk berpisah sewaktu berada di kerumunan orang-orang yang berdempetan melewati gerbang tiket— tanpa sadar mulutku terbuka.
"Entah bagaimana mengatakannya, tapi saya minta maaf."
Kata-kata yang kulontarkan ialah ajakan maaf.
"Kenapa kau meminta maaf, Rusian?"
Ako menatapku penasaran.
Istriku mendekat hingga ke jangkauan tanganku, lebih dekat ketimbang jarak yang bisa dianggap sahabat tanpa khawatir sama sekali.
Benar, dia juga kepingan dari alasannya.
"Begini, sejujurnya, saya sempat menerka kalau kalian semua anak lelaki."
"Oh, begitu?"
Master kemudian memperlihatkan senyuman lembut yang jarang diperlihatkannya, kemudian perlahan mengangguk.
"Padahal saya sudah pernah berkata bahwa saya ialah gadis Sekolah Menengan Atas sungguhan di duta, tapi rupanya kalian sedikit pun tidak memercayainya."
"Ya, jelas, lah!"
Siapa juga yang bisa pribadi percaya hal itu?!
"Saat awal tadi penampilanmu sudah meyakinkan."
"Sebagian besar itu gara-gara kamu."
Shiu juga mengejutkan.
Tidak kusangka dia selalu menggunakan sifat besar kepala dan kelelakiannya.
"Ditambah, kupikir rasanya akan jadi canggung sehabis kita berkumpul begini."
"Apa saya bisa ikut mengobrol mengingat hanya saya saja lelaki di sini? Apa saya pergi saja, ya? mirip itukah yang kau pikirkan?"
Master tersenyum.
"Ya. Awalnya saya benar-benar gugup. Tapi ... ternyata menyenangkan."
Sembari mengingat betapa menyenangkannya separuh hari ini, saya sedikit melirik ke langit senja yang mulai menggelap.
"Yah, kupikir apa pun yang terjadi dalam gim seharusnya tetap dipendam di sana, begitu pula dengan yang ada terjadi duta, itu dua hal yang sungguh berbeda. Sebaiknya jangan menggabungkan keduanya, dan sebisa mungkin memisahkan hal tersebut. Maksudku, orang yang bagus di dalam gim bisa menjadi buruk dikala di duta, atau yang bagus di duta bisa menjadi dikala dalam gim. Cerita mirip itu seringkali kudengar."
Itu memang sering terjadi.
Beberapa dari mereka berpikir secara rasional sewaktu di duta namun apa pun bisa terjadi dikala di dalam gim, atau mereka yang praktis memuji sesamanya ketika dalam gim justru menjelma bajingan sehabis bertemu muka secara langsung. Ada terlalu banyak macamnya untuk dihitung.
"Tapi sehabis bertemu sungguhan mirip ini, saya merasa sangat menikmatinya. Dalam pikiranku, Wah, rekan-rekanku memang yang terbaik, baik di gim maupun di duta."
Setelah perlahan berbalik, saya kemudian membungkuk ke hadapan rekan-rekan di sekitarku.
"Itu sebabnya— maaf lantaran sempat tidak memercayai kalian. Dan juga, terima kasih."
Shiu tiba-tiba tertawa mendengar kata-kata seriusku.
"Menjijikkan! Hina pula!"
"Bukankah itu sudah kelewatan?!"
Yang dia lontarkan barusan merusak suasanya yang sudah kubangun.
"Tidak. Reaksiku padamu akan tetap sama entah itu dikala di duta ataupun dalam gim."
"Maksudku, tentu, bisa jadi memang begitu, tapi tetap saja!"
Sial, seharusnya saya tidak perlu meminta maaf tadi.
"Bhh ... fufufu, wuahahahaha."
"Master, tawamu terlalu berlebihan!"
Dia juga tidak ada bedanya.
"Ti-tidak, tidak. Aku tidak akan menyalahkanmu. Saat pertama kali melihatmu, Rusian, saya juga sempat meragukanmu, bertanya-tanya apa kau tipe lelaki yang menatap mesum ke sembarang gadis. Kita impas."
Ucap Master tampak seolah sedang menahan tawa.
Memangnya saya ini dianggap apa? Astaga.
"... tapi."
Shiu kemudian menarik kerahku ke hadapannya kemudian berbicara dengan pandangan apatis yang membuatku merinding.
"Kalau hingga kau mencoba bersikap dekat padaku di sekolah, saya tidak akan segan-segan padamu. Ingat itu. Paham?"
"Jadi kau tetap bersikap mirip itu di sekolah .... Ba-baik."
"Bagus."
Sambil berpaling dariku, Shiu mengubah ekspresinya menjadi senyuman.
Nya-nyaris sekali. Wajahnya tadi terlalu dekat. Dia sungguh manis ketika dilihat dari jarak sedekat tadi. Maksudku wajahnya.
Pikiranku yang dilanda kebingungan lantaran berada sangat dekat dengan senyum seorang gadis, ditarik mundur oleh sebuah sentakan.
"Wuah."
Lalu, sesuatu yang lembut mendekap belakang punggungku.
Hangat, lembut, dan sangat harum.
"Huh!"
Suara cemberut itu terdengar tepat di atasku.
E-eng ..., Ako-san?
Dia sedang apa? Atau tepatnya, kenapa melotot ke arah Shiu?
"Ah, Ako?"
"... huh!"
"Tidak, saya tidak akan merebut suamimu, jadi tidak perlu mengancam mirip itu."
Aku tidak butuh dia, Shiu mengalihkan pandangannya ke arah Master sehabis mengisyaratkan hal itu.
"Sungguh?"
"Tentu."
Setelah saling tersenyum masam, keduanya berjalan menuju gerbang tiket bersama.
"Sampai jumpa lain waktu. Kalian boleh memanggilku Master kalau bertemu di sekolah!"
"Tidak, saya tetap akan memanggilmu ketua OSIS! Baiklah, dah!"
Mereka mengucapkan selamat tinggal kemudian berlanjut ke stasiun.
Keduanya lenyap dari pandangan kami sebelum alhasil Ako melepaskanku. Selagi diriku merasa lega lantaran terlepas dari ketidaknyamanan tubuhku yang setengah membungkuk, rasanya sedikit disayangkan berpisah dari sensasi yang dihadirkan Ako.
—jadi, eng ..., Ako-san. Kenapa dia memandangiku?
Aku balas memandanginya kemudian Ako berbicara dengan bunyi pelan,
"Rusian, apa kau sungguh menerka saya ialah lelaki?"
"... maaf, jujur saja, saya bahkan menerka kalau kau ialah om-om."
"Kok bisa?!"
Ako berteriak disertai amarah terkejam dari yang pernah ditunjukkannya sepanjang hari ini sehabis kuutarakan pendapat jujurku. Teriakannya itu tidaklah begitu keras mirip halnya penampilan tenang yang dikesankannya, namun kekuatan dari teriakan tersebut tetap membuatku termundur.
"Sudah kubilang kalau saya seorang gadis, 'kan?! Kenapa kau tidak percaya?!"
"Itu, yah ..., itu terlintas begitu saja dan saya tidak terlalu memedulikannya."
"Sekarang pun kau tidak memedulikannya, 'kan?!"
"Ma-maaf."
Ta-tapi, asal tahu saja, kupikir ada beberapa hal di mana saya tidak bisa disalahkan lantaran berpikir demikian.
Tidak ada seorang pun yang akan begitu saja menganggap istri mereka ialah seorang gadis manis, terlebih, saya juga mempunyai trauma lama. Ini lebih cocok bagi kesehatan mentalku dengan menganggapnya lelaki. Iya, 'kan?
Meski begitu, Ako tidak memperlihatkan tanda-tanda akan tenang dan justru mengajak berdebat.
"Pertama, Rusian, kenapa kau sepakat menikah kalau kau menganggapku lelaki?"
"Itu, yah ..., kupikir begitu juga tidak apa-apa."
"E-eeeh?!"
"Tidak, tidak, tidak dalam pengertian semacam itu!"
Jelasku pada Ako yang kebingungan dengan mata terbelalak.
"Aku sungguh berpikir kalau duta dan gim itu terpisah. Itu sebabnya, meksi kau ialah lelaki di luar gim, kupikir bukan kasus bagiku lantaran kau tetaplah Ako di dalam gim."
Hanya inilah yang kupikirkan dikala mengatakannya, tapi tampaknya itu tidak begitu memberi dampak.
Ako mungkin akan menganggapku aneh— atau begitulah pikirku.
"Apa itu ... lantaran kau mengasihi diriku"?
"... yah, begitulah."
Apa dia perlu menanyakan hal itu?
Sadar lantaran wajahku memerah, saya mengalihkan pandangan dari Ako dan mengangguk.
Wah, ini sangat memalukan. Kenapa saya dipermalukan di tempat mirip ini?
"Kalau begitu, Rusian, apa maksudmu itu ialah jatuh cinta pada diriku tanpa memandang asalku, usiaku, wajahku, ataupun jenis kelaminku? Hanya diriku?"
"I-iya, benar."
Itinya memang begitu.
Ako menatapku tajam sehabis mendengar jawabanku yang malu-malu — kemudian memperlihatkan senyum lega yang mengembang.
"Rusian, saya juga!"
"O-oh?!"
Ako kemudian menggenggam erat kedua tanganku dan berulang kali mengayunkannya dari atas ke bawah.
Tangan Ako benar-benar hangat ... dan lembut.
Kehangatan itu menyebar melalui tanganku seakan ingin mencairkan kebekuannya, menyelimuti keduanya.
"Aku ingin bersamamu, Rusian, lantaran kau ialah dirimu. Meski dirimu bukan lelaki sebayaku yang tinggal di sekitarku, meski kau benar-benar berbeda dari bayanganku, saya niscaya akan tetap mencintaimu! Sungguh, percayalah padaku."
"Te-terima kasih, Ako."
Ako menyampaikan hal itu sambil berlinang air mata, tampaknya dia benar-benar senang.
Eh, harus mirip apa saya menanggapinya?
Ako akan mencintaiku meski saya berbeda dari Rusian yang ada dalam pikirannya .... Apa itu berarti saya tidak jauh berbeda dengan diriku yang ada di bayangannya?
Bahkan kalau saya berbeda, dia akan tetap mencintaiku—
"Bukan, bukan mirip itu. Tenanglah dulu. Gim dan duta itu berbeda, gim dan duta itu berbeda, gim dan duta itu berbeda ...."
"...? Rusian?"
Pelan-pelan kulepaskan genggaman Ako dan berkata, "Tidak apa-apa," padanya.
Rasanya memalukan, apalagi kini orang-orang memandangi kami lantaran kehebohan sebelumnya.
"Sudah malam. Ayo pulang."
"Tapi saya masih ...."
"Aku harus segera pulang. Ayo."
Ako mengeluh tidak puas, namun alhasil mengangguk patuh.
"Rusian, hingga ketemu besok ..., eh, bukan, nanti! Hari ini saya akan berusaha supaya tidak menjadi beban!"
"I-iya. Berhati-hatilah dalam perjalanan pulang."
"Iya. Kalau begitu, :melambai:!"
"Melambai yang itu tidak usah diucapkan keras-keras kalau di duta!"
Ako kemudian pergi ke stasiun, tangannya melambai tanpa henti.
Lagi-lagi melambai, saya ingin tau apa dari sisi lain kami terlihat mirip sepasang kekasih. Kurasakan beberapa tatapan tertuju pada kami disertai cekikikan.
Diriku dan Ako tidaklah mirip itu. Ini pertama kami kalinya kami bertemu.
Dan terlepas dari itu, rasanya seolah kami memang sudah dekat—
Dalam hatiku bertanya, ada apa dengan kegelisahan yang menggelitik ini?
Jika digambarkan, ya, ini mirip saya menginjak sebuah ranjau darat yang sangat besar.
"A-aku harus cepat pulang. Betul, waktunya pergi"
Aku segera bergegas seakan mengalihkan mataku dari suatu hal.
††† ††† †††
◆ Schwein: Hahaha, permainan Ako malah lebih buruk dari biasanya, wkwkwk.
◆ Ako: Padahal saya sudah berusaha keras ....
◆ Apricot: Ada kalanya usaha kita tidak membuahkan hasil. Jangan terlalu dipikirkan, Ako.
◆ Schwein: Aku juga tidak begitu peduli, wkwkwk. Tidak kasus bagiku, wkwkwk.
◆ Rusian : Ya, begitulah, jangan khawatir. Paling-paling dampaknya ialah EXP-ku yang terus merosot lantaran penalti kematian.
◆ Ako : Maafkan aku, Rusian.
◆ Rusian : ... hanya bercanda, jangan dimasukkan ke hati.
Malam selepas program kopi darat, kami berkumpul dan berburu mirip biasa, tapi permainan Ako terperinci lebih buruk dari biasanya. Aku merasa iba pada karakterku yang harus menderita karenanya.
Meski begitu, ini masih berada dalam batas tingkat kesalahan Ako yang biasanya, walau itu tidak lagi menghibur. Lagi pula, dikala saya memikirkan Ako Tamaki-san yang menangis dari balik monitor, rasanya saya bisa memaafkannya.
Terlepas dari diriku yang sering membenarkan diri lewat ucapan kalau gim dan duta itu berbeda, saya malah cenderung ingin menyenangkan diri sendiri.
Setelah menuntaskan perburuan, kami pun kembali ke kota, duduk di dingklik yang biasa, ditemani Ako yang selalu di sebelahku.
◆ Ako: Kerja bagus, Rusian.
◆ Rusian: Eng ..., sama-sama.
Itu memang rutinitas kami yang biasanya, tapi jantungku jadi berdegup lebih kencang ketika mengingat gadis yang duduk di sebelahku hari ini.
Tenang, tenanglah, yang itu Ako versi duta dan yang ini istriku, Ako.
Tapi sedikit mengejutkan lantaran kami bisa bermain mirip tidak ada yang berubah.
Setelah benar-benar bertemu dan saling mengenal secara pribadi, mengetahui kalau usia dan angkatan kami ternyata sama, kusadari kalau kami mungkin tidak sanggup terus menganggap satu sama lain sebagai rekan, istri ataupun suami.
Kami menjaga ruang yang nyaman ini lantaran tidak saling mengenal di duta. Dengan bertemu dan tahu bahwa tempat tinggal kami tidak berjauhan, emosi seseorang bisa cukup untuk mengubah segalanya— itulah yang kucemaskan.
Lalu sebuah gelembung muncul di atas aksara Master.
◆ Apricot: Baik, sudah waktunya saya pergi. Ada urusan yang harus kukerjakan besok pagi.
◆ Schwein: Maksudmu urusan sekolah? Eh ..., ups.
◆ Apricot: Tepat sekali.
Master mengangguk tanpa terlihat keberatan terhadap topik duta yang tidak sengaja disinggung Shiu.
◆ Apricot: Walau orang-orang menganggap kalau saya tidak terlalu sibuk sebagai ketua OSIS, tapi ada kalanya saya memang sibuk. Kalian boleh memanggilku Master kapan pun kalian bertemu denganku di sekolah.
◆ Schwein: Memangnya saya tidak punya malu apa?!
◆ Rusian: Hei, Shiu, sifat aslimu alhasil keluar!
◆ Schwein: O-orang sehebat diriku ini tidak mungkin berbuat konyol! Ha-hal yang bodoh!
◆ Rusian: Tenang! Ucapanmu mulai meracau!
◆ Apricot: Hahaha, terima kasih atas komedi pengantar tidurnya. Baiklah, lain waktu kita bertemu lagi.
Menyampaikan yang harus dia katakan, Master pun tetapkan sambungannya tanpa basa-basi.
Orang itu benar-benar tidak berubah. Ketenangannya sungguh luar biasa.
◆ Ako: Aku mau mandi dulu kemudian tidur.
Kata-kata dari Ako tersebut membuatku mengkhayalkan sosok Tamaki-san yang sedang mandi — pikiran itu muncul sesaat sebelum saya mengembalikan kesadaranku.
Duta dan gim itu berbeda, duta dan gim itu berbeda.
◆ Rusian: Terima kasih untuk hari ini.
◆ Schwein: Pastikan kau membilas semua lumpur dari tubuhmu.
◆ Rusian: Dia bukan babi sepertimu, Schwein-san.
◆ Schwein: Jangan sebut si Hebat ini sebagai babi! Argh, menyebalkan!
◆ Rusian: Sikapmu jadi kacau.
◆ Schwein: Se-semuanya jadi sulit sehabis kau tahu wajahku!
Yah, terserahlah.
Aku jadi tidak bisa berhenti menyeringai setiap kali membayangkan wajahnya ketika berbicara dengan angkuh.
◆ Ako: Baiklah, selamat malam.
◆ Rusian: Oke.
Seusai melihat kepergian Ako yang menghilang sambil melambaikan tangan, Shiu tiba-tiba angkat bicara.
◆ Schwein: Ah, dengar ini. Seperti yang kubilang, kalau kau mencoba dekat denganku hanya lantaran kini kita lebih saling mengenal, saya akan benar-benar membunuhmu, paham?
◆ Rusian: Aku sangat paham. Aku tidak akan memberi tahu siapa-siapa, dan sikapku terhadapmu juga tidak akan kuubah.
◆ Schwein: Sungguh? Aku pegang janjimu, ya?
Ucap Segawa dengan rasa cemas, atau mungkin tidak puas.
Cara bicaranya benar-benar kacau sekarang.
Apa-apaan itu? Apa dia punya sedikit kepercayaan terhadapku?
◆ Rusian: Gim dan duta itu berbeda. Hanya lantaran saya dekat dengan Shiu di dalam gim, bukan berarti saya akan dekat dengan Segawa di duta.
◆ Schwein: Oh? Baguslah kalau begitu.
◆ Rusian: Ya, jangan khawatir.
Setelah membuat Rusian membungkuk berlebihan, Segawa membuat Shiu mengangkat pundak dan sebuah pesan dialog muncul,
◆ Schwein: Kenapa kau berkata sok kalem begitu, mirip paham segalanya saja? Menjijikkan!
◆ Rusian : Terserah!
Bagaimana menjelaskannya, ya? Kata-kata agresif tadi memang ciri khas dari Segawa.
Tapi tetap saja, itu, yah, tidak menggangguku. Sama sekali tidak. Aku akan kesal kalau Segawa yang mengatakannya, tapi bukan kasus kalau kuanggap itu Shiu yang berbicara. Ternyata itu tidak tergantung hanya dari kata-kata saja, melainkan dari orangnya juga.
Tidak, maksudku, mereka berdua itu orang yang sama.
◆ Schwein: Lalu ..., sebaiknya kau jangan terlalu dekat dengan Ako. Kasihan dia kalau hingga ada gosip gila yang menyebar.
◆ Rusian: Jangan bilang kalau kau kasihan kalau dia punya gosip yang berkaitan denganku .... Yah, memang benar kasihan, sih.
◆ Schwein: Benar, 'kan?
Itu sungguh tidak baik untuk Ako. Ini memang kenyataan yang kejam bagi seorang otaku terbuka.
Dan sehabis jeda sejenak, Shiu kembali bersikap mirip Segawa yang biasa.
◆ Schwein: .... bekerjsama saya mendukung saja kalau kau benar-benar ingin menjalin hubungan konkret dengan Ako.
◆ Rusian: Tidak!
Tegasku menyatakannya dalam kesimpangsiuran tadi.
◆ Rusian: Hal semacam mengajak seorang gadis yang dikenal melalui internet supaya mau menjadi pacar itu tidak akan kulakukan.
◆ Schwein: Padahal dari sudut pandang yang melihat, hari ini kau mirip mirip raja gombal di medsos, tahu?
◆ Rusian: Jangan bilang begituuuuu!
◆ Schwein: Wkwkwk.
Shiu tertawa, seolah yang dikatakannya tadi tidaklah serius, tapi keadaan mentalku kini sudah nyaris membuatku muntah.
Raja gombal.
Julukan paling hina.
Julukan bagi sampah.
Julukan yang kubenci.
Mereka yang dijuluki raja gombal itu punya satu misi. Mereka akan mencari perempuan yang ada di dalam gim, merayu mereka, menyanjung mereka, dan memaksa mereka supaya mau bertemu di duta.
Mereka akan seefisien mungkin dalam merayu, sesegera mungkin merayu targetnya.
Mereka ialah eksistensi paling dibenci dalam dunia gim daring.
Aku bukanlah mereka, saya bukan seorang perayu!
◆ Schwein: Terserahlah. Pastikan kau sepakat dengan Ako dalam menentukan mirip apa jarak yang harus kalian jaga dikala bersama.
◆ Rusian: Oke.
◆ Schwein: Kalau begitu, saya keluar dulu, kawan.
◆ Rusian: .... jadi kau juga tetap bersikap begitu?
◆ Schwein: Cerewet.
Setelah memelototiku, Shiu pun menghilang.
Tetap saja, memang perlu adanya jarak antara diriku dan Ako, 'kan?
Saat berpisah tadi itu terperinci bukanlah suasana yang dihadirkan antara sesama teman.
"Tapi ...."
Keinginan untuk tidak mengungkapkan apa pun dan tetap menjaga status ini tersebut niscaya akan terasa.
Sejauh ini saya tidak ada kasus dengan Ako. Kami pun mirip kenalan lama dikala bertemu tadi.
Bukankah sebaiknya jarak tersebut tidak perlu ditegaskan lewat ucapan, mengingat itu bukanlah kewajibanku?
Soalnya, tahu sendiri, Ako yang kutemui ini begitu manis.
Wajah Tamaki-san kemudian muncul dalam pikiranku, menampakkan ekspresi malu di hadapanku.
"—tidak!"
Yang mirip itulah yang dipikirkan oleh mereka!
Yang mendorong kaum lelaki untuk merayu!
Dan membuatku menyatakan cinta pada seorang hode!
Sambil tergesa keluar dari gim, kumatikan komputer kemudian merebahkan diri ke kasur.
Gim dan duta itu berbeda, gim dan duta itu berbeda— saya berusaha tidur dengan membawa pemikiran itu, tapi yang terlintas hanyalah wajah Tamaki-san yang mengintipku layaknya seekor kucing manja.
Meski sudah menggelengkan kepala supaya pikiran itu lenyap, yang ada justru dia semakin melekat layaknya Ako sendiri.
Rusian, Rusian, Rusian ....
Catatan terjemahan:
1. Judul kepingan merupakan pelesetan dari judul sebuah gim yakni Shin Megami Tensei: Imagine (真・女神転生IMAGINE).
2. Umaibou ialah nama kudapan berupa stik yang berbahan dasar jagung.
Sumber http://ifunnovel.blogspot.com/