Lima Mahasiswa Itb Berhasil Membuat Inkubator Portabel Penanganan Bencana
Lima mahasiswa ITB meraih penghargaan Poster Terbaik Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Karya Cipta (PKM-KC 4) Pekan Ilmiah Nasional (Pimnas) Agustus lalu. Mereka berhasil membuat inkubator portabel. Foto/Istimewa
BANDUNG - Bencana yang terjadi tanpa diduga terkadang membuat kita lupa bahwa korban membutuhkan penanganan khusus, termasuk bayi atau anak-anak di anak-anak lima tahun (balita). Karena kondisi fisik mereka masih lemah, diharapkan peralatan khusus semoga kesehatan mereka tetap terjaga.
Melihat kondisi itu, lima mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) tergerak untuk membuat inkubator jinjing atau portabel bagi bayi ketika terjadi bencana. Ini menjadi solusi bagi korban tragedi apabila rumah sakit atau kemudahan kesehatan lainnya juga terdampak. Menariknya, inkubator tersebut gampang dibawa ke mana pun, karena bentuknya menyerupai tas ransel. Bayi pun sanggup digendong dalam inkubator ketika keadaan darurat atau bencana. Alat ini juga dilengkapi penghangat dan penyaring udara dengan sumber energi dari parafin.
Adalah Amanda Putri Chumairoh, mahasiswa jurusan Teknik Fisika, Amin Yahya (Teknik Fisika), Ismail Faruqi (Teknik Fisika), Isra Ramadhani (Teknik Kimia), dan Dzatia Muti (Desain Produk), tim yang berhasil membuat inkubator jinjing ini. Berkat karya itu, mereka berhasil mendapat penghargaan kategori Poster Terbaik Program Kreativitas Mahasiswa – Bidang Karya Cipta (PKM-KC 4) Pekan Ilmiah Nasional (Pimnas) pada Agustus lalu.
“Pada inkubator jinjing ini, kami menambahkan material fiber semoga desain lebih kokoh serta sanggup tahan terhadap benturan. Juga kami terdapat material glow in the dark, fluorescence di bab luarnya, sehingga ketika dipakai tim SAR dalam kondisi gelap, posisinya terlihat,” kata Amanda kepada KORAN SINDO.
Inkubator jinjing ini juga dilengkapi filter yang sanggup menjaga bayi dari partikel, bakteri, dan virus. Untuk pemanas, timnya memakai parafin memakai rantai karbon C30-C33 semoga suhu titik leleh 37 derajat celsius, sesuai kebutuhan bayi. “Di pasaran tidak ada yang menjual material sesuai spesifikasi kami sehingga semua kami bikin sendiri. Kami memanfaatkan material yang ada,” beber dia.
Menurut dia, proses pengerjaan inkubator jinjing sampai satu tahun lamanya. Termasuk di dalamnya proses perencanaan sampai penyusunan proposal. Namun untuk proses membuat inkubator jinjing, timnya setidaknya menghabiskan waktu lima bulan.
Dalam pembuatan alat tersebut, timnya mendapat dana dari Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) sebesar Rp8,5 juta. Untuk mendapat dana itu, mereka harus membuat ajuan ke Kemenristek Dikti. Setelah mendapat dana, timnya gres sanggup merealisasikan ide pembuatan inkubator jinjing.
“Kami melihat, banyak tragedi yang terjadi di negeri ini. Tapi sayangnya, penyelamatan terhadap balita terkadang dilakukan seadanya. Dari situ, kami terinspirasi membuat inkubator, tapi sanggup dibawa ke mana pun,” kata dia.
Menurut Dzatia Muti, untuk menghasilkan produk jadi yang siap pakai, timnya melalui banyak sekali halangan dan tantangan. Salah satunya dalam proses uji coba alasannya ialah targetnya bayi. Namun, produk tersebut balasannya berhasil diuji coba ketika terjadi tragedi di Garut. Selain itu, bayi berusia 0-4 bulan harus digendong secara horizontal, sehingga perlu adaptasi lebih lanjut. Kesulitan lainnya ketika mendapat alat-alat. “Misalnya pompa udara yang sesuai. Pompa yang diinginkan tidak terlalu berat, udara tidak kebanyakan dan juga tidak terlalu minim,” kata dia.
Tim balasannya sanggup melalui semua itu sampai menghasilkan produk siap pakai. Namun, untuk sanggup memproduksi inkubator jinjing secara massal atau dipakai oleh tim SAR, timnya masih harus mendapat lisensi atau sertifikasi dari otoritas terkait.
Melihat kondisi itu, lima mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) tergerak untuk membuat inkubator jinjing atau portabel bagi bayi ketika terjadi bencana. Ini menjadi solusi bagi korban tragedi apabila rumah sakit atau kemudahan kesehatan lainnya juga terdampak. Menariknya, inkubator tersebut gampang dibawa ke mana pun, karena bentuknya menyerupai tas ransel. Bayi pun sanggup digendong dalam inkubator ketika keadaan darurat atau bencana. Alat ini juga dilengkapi penghangat dan penyaring udara dengan sumber energi dari parafin.
Adalah Amanda Putri Chumairoh, mahasiswa jurusan Teknik Fisika, Amin Yahya (Teknik Fisika), Ismail Faruqi (Teknik Fisika), Isra Ramadhani (Teknik Kimia), dan Dzatia Muti (Desain Produk), tim yang berhasil membuat inkubator jinjing ini. Berkat karya itu, mereka berhasil mendapat penghargaan kategori Poster Terbaik Program Kreativitas Mahasiswa – Bidang Karya Cipta (PKM-KC 4) Pekan Ilmiah Nasional (Pimnas) pada Agustus lalu.
“Pada inkubator jinjing ini, kami menambahkan material fiber semoga desain lebih kokoh serta sanggup tahan terhadap benturan. Juga kami terdapat material glow in the dark, fluorescence di bab luarnya, sehingga ketika dipakai tim SAR dalam kondisi gelap, posisinya terlihat,” kata Amanda kepada KORAN SINDO.
Inkubator jinjing ini juga dilengkapi filter yang sanggup menjaga bayi dari partikel, bakteri, dan virus. Untuk pemanas, timnya memakai parafin memakai rantai karbon C30-C33 semoga suhu titik leleh 37 derajat celsius, sesuai kebutuhan bayi. “Di pasaran tidak ada yang menjual material sesuai spesifikasi kami sehingga semua kami bikin sendiri. Kami memanfaatkan material yang ada,” beber dia.
Menurut dia, proses pengerjaan inkubator jinjing sampai satu tahun lamanya. Termasuk di dalamnya proses perencanaan sampai penyusunan proposal. Namun untuk proses membuat inkubator jinjing, timnya setidaknya menghabiskan waktu lima bulan.
Dalam pembuatan alat tersebut, timnya mendapat dana dari Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) sebesar Rp8,5 juta. Untuk mendapat dana itu, mereka harus membuat ajuan ke Kemenristek Dikti. Setelah mendapat dana, timnya gres sanggup merealisasikan ide pembuatan inkubator jinjing.
“Kami melihat, banyak tragedi yang terjadi di negeri ini. Tapi sayangnya, penyelamatan terhadap balita terkadang dilakukan seadanya. Dari situ, kami terinspirasi membuat inkubator, tapi sanggup dibawa ke mana pun,” kata dia.
Menurut Dzatia Muti, untuk menghasilkan produk jadi yang siap pakai, timnya melalui banyak sekali halangan dan tantangan. Salah satunya dalam proses uji coba alasannya ialah targetnya bayi. Namun, produk tersebut balasannya berhasil diuji coba ketika terjadi tragedi di Garut. Selain itu, bayi berusia 0-4 bulan harus digendong secara horizontal, sehingga perlu adaptasi lebih lanjut. Kesulitan lainnya ketika mendapat alat-alat. “Misalnya pompa udara yang sesuai. Pompa yang diinginkan tidak terlalu berat, udara tidak kebanyakan dan juga tidak terlalu minim,” kata dia.
Tim balasannya sanggup melalui semua itu sampai menghasilkan produk siap pakai. Namun, untuk sanggup memproduksi inkubator jinjing secara massal atau dipakai oleh tim SAR, timnya masih harus mendapat lisensi atau sertifikasi dari otoritas terkait.
Sumber informasi : https://daerah.sindonews.com